Rabu, 24 Februari 2016

Yang Tak Diundang


Mama mendapati Alia tengah melamun di kamar. Wajahnya kelihatan sedih. Padahal biasanya setiap pulang sekolah, Alia langsung mengganti pakaian dan makan siang tanpa perlu diingatkan.
“Alia, kenapa wajahnmu murung begitu? Kamu sakit?” Mama menyentuh kening Alia. Alia berusaha tersenyum saat menyadari kehadiran Mama.
“Ah, tidak ada apa-apa, Ma,” jawab Alia singkat.
Mama menarik napas panjang, kemudian berkata lagi.
“Alia, wajahmu tak bisa berbohong. Sekarang ceritakan apa kamu punya masalah di sekolah tadi?”
Alia tidak langsung menjawab. Ia bimbang mengatakan yang sebenarnya. Tetapi, apa salahnya kalau ia cerita?
“Mama tahu Regi, teman sebangkuku, kan? Tiga hari lagi ia merayakan ulang tahun. Semua anak di kelasku diundang. Tapi aku tidak,” ujar Alia sedih.
“Kenapa kamu tidak diundang?”
“Justru itu, Alia tidak tahu. Mungkin ia masih marah karena Alia mendapat nilai tertinggi ulangan bahasa Inggris. Regi, kan, anak yang paling jago bahasa Inggris di kelas.”
“Mama lihat, Regi anak yang baik. Masa cuma gara-gara itu kamu tak diundang? Bisa jadi dia lupa. Kamu nggak coba bertanya padanya?”
“Buat apa? Enggak diundang, kok, malah nanya? Aku enggak mau!” cetus Alia dengan suara meninggi. Mama membelai rambut Alia.
“Ya, sudah. Tak usah dimasukkan ke dalam hati. Berbesar hati saja kalau memang tak diundang. Sekarang kamu ganti baju dulu, terus makan. Mama sudah siapkan menu kesukaanmu,” ujar Mama akhirnya.
Wajah Alia masih memberengut. Tetapi, ia turuti saja nasehat Mama dan beranjak dari tempat tidur. Terasa perutnya semakin keroncongan.
***
Hari ini, Regi kelihatan sibuk dengan persiapan pesta ulang tahunnya. Ia mengingatkan teman-temannya agar datang. Dengar-dengar, pestanya pun diselenggarakan oleh event organizer. Maksudnya, dikerjakan oleh sekelompok orang yang ahli dalam membuat acara. Anak-anak semakin penasaran. Seperti apa, sih, acaranya nanti?
Regi memang anak orang kaya. Semua anak senang bergaul dengannya. Ia sering membagi-bagikan makanan, permen, cokelat, atau buku-buku cerita pada teman-teman. Prestasinya pun pantas diacungi jempol. Ia selalu juara kelas.
Alia hanya mendengarkan kehebohan teman-temannya tanpa semangat. Hati kecilnya bertanya-tanya. Benarkah Regi tidak mengundangnya hanya karena Alia dapat nilai tertinggi ulangan bahasa Inggris tempo hari? Alia masih ingat ekspresi kekecewaan di wajah Regi saat ia hanya mendapat nilai 83. Waktu mengetahui Alia dapat nilai 100, raut tak senang jelas terpancar di diwajahnya. Alia tak menyangka kalau Regi tak sebaik yang ia kenal.
Malam itu, Alia duduk gelisah di depan TV. Tak satu pun acara di TV menarik perhatiannya. Sebentar-sebentar, saluran TV dipindahkannya dengan menggunakan remote. Mama yang tadinya memperhatikan, datang menghampiri.
“Kamu masih memikirkan ulang tahun Regi, ya?”
“Ah, kenapa mesti dipikirin!” ujar Alia asal saja.
Alia bangkit dan beranjak menuju kamar. Ia tak ingin Mama membahas itu lagi. Semakin membuat Alia bersedih. Dari tadi, pikirannya terus melayang membayangkan suasana pesta di rumah Regi. Pasti semua temannya hadir. Tadi siang di sekolah, mereka sudah janjian untuk datang sama-sama.
Di kamar, Alia memandangi kado yang telah ia siapkan seminggu lalu. Alia menyorongkan kepalanya di balik bantal, mencoba menghilangkan rasa sedih di hatinya. Tak lama, akhirnya ia tertidur.
“Alia, ada yang datang, nih,” suara Mama memanggil. Alia tersentak. Ia mengucek-ucek matanya dan berjalan menuju pintu.
“Siapa?”
“Lihat saja sendiri,” Mama pun berlalu.
Alia penasaran, bergegas ke ruang tamu. Di sana, ia melihat Regi. Masih memakai baju pesta. Cantik sekali. Tetapi, raut khawatir tampak dari wajahnya.
“Alia, kamu sakit? Sedih melihatmu tidak datang ke acaraku.”
Alia memandang Regi dengan tatapan tak mengerti. Sejenak ia bingung dengan ucapan Regi itu. Lama ia baru bisa menjawab.
“Maaf, Regi, aku... aku, kan, tak diundang.”
“Tak mungkin! Semuanya aku undang, kok. Apalagi, kamu, kan teman sebangku aku.”
“Aku pikir, kamu masih marah padaku karena aku dapat nilai tertinggi ulangan bahasa Inggris tempo hari. Makanya, aku tak diundang,” ujar Alia.
Mendengar hal itu, Regi terlihat kaget.
“Alia, masa aku marah gara-gara itu? Aku cuma kecewa tidak bisa konsentrasi saat belajar. Waktu itu, aku terlalu memikirkan acara ultahku ini,” jawab Regi. “Maafkan aku ya, Alia. Mungkin aku yang lupa memeriksa semua undangan. Ini aku bawakan sesuatu untukmu.”
Dengan tulus, Regi menyerahkan bingkisan ulang tahun dan kue-kue pada Alia. Raut muka Alia pun berubah jadi sedikit malu.
“Justru aku yang minta maaf karena telah berburuk sangka,” Alia merangkul teman sebangkunya itu.
“O ya, aku telah menyiapkan kado untukmu. Tunggu sebentar, ya.” Alia berlari ke kamarnya.
Di luar, Mama, Papa, dan supir Regi tersenyum melihat tingkah keduanya.


Note: 
Naskah saya ini dimuat di majalah Bobo No. 32/ Th 38/ 2010

0 komentar:

Posting Komentar