Senin, 07 Maret 2016

Pelajaran Buat Momon




Momon menghela napas panjang dengan raut kecewa. Walau Ayah tak mengucapkan sepatah kata pun, ia bisa menebak kalau Ayah tidak memenuhi keinginannya untuk berdarmawisata ke Padang.

Padahal ia ingin sekali melihat Batu Malin Kundang yang terkenal itu, bermain ombak, atau mengunjungi museum Adityawarman. Sebenarnya ia sudah menabung jauh-jauh hari tetapi uang yang terkumpul tidak mencukupi.

Keesokan paginya, Momon dipanggil Ayah.

“Mon, bantu Ayah ke ladang. Kita akan memetik buah kakao,” ujar ayah.

Sebenarnya Momon malas, bukan karena ladang mereka jauh melintasi dua punggung bukit, tapi kecewa karena tidak bisa ikut acara darmawisata.

Tak lama kemudian mereka berjalan beriringan. Di ladang tampak buah-buah kakao menggantung di dahan rimbun. Sebagian sudah siap petik.

“Tugasmu mengumpulkan dan memasukkannya ke dalam karung,” ujar Ayah. Momon mengangguk pelan. Ayah mulai sibuk memilih-milih buah kakao.

Menjelang tengah hari, satu karung sudah terisi penuh. Ketika sampai di satu pohon yang agak tinggi, Ayah melihat beberapa buah kakao berwarna kekuningan di sela-sela dahan. Ayah menjangkau, tetapi tangannya tak sampai. Ayah berusaha meloncat untuk memetiknya.

Momon melihat sesuatu jatuh dari kontong baju Ayah. Selembar uang limapuluh ribu setengah tergulung. Momon terkesiap, ternyata Ayah punya uang!

Ayah bohong! Kemarin beliau bilang tak punya uang.

“Wah, yang ini besar sekali!” ujar Momon menghampiri Ayah dan menimbang-nimbang buah kakao itu. Tetapi, kaki kanannya menginjak uang itu. Ia berdiri di sana beberapa saat.

Momon cepat-cepat jongkok dan memasukkannya ke kantong celana. Jantungnya berdetak lebih cepat.

Menjelang sore ketika mereka mau pulang, Ayah menyadari uangnya tidak ada lagi. Dirogohnya semua kantong.

“Hilang? Berapa?” tanya Momon pura-pura kaget. “Ayah yakin tadi bawa uang?”

“Yakin. Ayah tadi memasukkan limapuluh ribu ke saku baju. Uang itu untuk bayar becak motor mengangkut kakao ini nanti,” wajah Ayah terlihat bingung. “Jangan-jangan jatuh di sekitar sini. Ayo, bantu Ayah mencarinya.”

Mereka mulai mencari di sekitar ladang. Tentu saja uang itu tidak ditemukan. Momon terlihat sibuk mencari kesana-kemari. Akhirnya Ayah menyerah.

“Mon, mau tak mau, dua karung kakao ini terpaksa kita bawa pulang dengan jalan kaki,” ujar Ayah pada akhirnya.

Wajah Momon langsung berubah. Tak terbayangkan ia berjalan melintasi dua punggung bukit di tambah berjalan dua kilo membawa kakao. Tetapi mengingat darmawisata ia pun menyanggupi.

Ayah memanggul satu karung yang lebih besar, ia  membawa karung yang lebih kecil. Setibanya di kaki bukit dekat pinggir jalan desa, tiba-tiba Ayah berhenti.

“Aduh, perut Ayah sakit sekali!” Ayah meringis kesakitan sembari meletakkan karung di rerumputan. Wajahnya pias menahan sakit. Momon pun jadi kalut. Tidak tahu berbuat apa.

“Mon, Ayah tidak bisa mengangkut karung ini. Jadi begini saja, kau angkat karung ini pulang. Ayah tunggu di sini,” perintah Ayah.

“Tetapi, Yah, karung ini, kan, berat? Momon tak sanggung.”

“Kamu angkut tiga kali atau empat kali jalan. Kamu pasti kuat memikulnya, ujar Ayah lagi. Momon terdiam. Itu berarti ia berjalan lebih jauh.

“Yah, biar lebih enteng, kita belah di sini saja. Bijinya saja yang kita bawa pulang,” Momon memberi usul.

“Tidak, di rumah saja!” Ayah bersikeras.

Tak terbayangkan beratnya tugas yang diperintahkan Ayah. Mau tiak mau harus ia lakukan. Ah, tak apa-apalah demi acara darmawisata, pikirnya.

Menjelang magrib, Momon selesai bolak-balik membawa buah kakao pulang. Tangan dan kakinya terasa pegal. Tetapi, Ayah masih merintih menahan sakit. Momon mulai khawatir.

“Ayah sudah minum obat?” tanya Momon.

“Belum. Andai saja uang Ayah tidak hilang, pasti bisa beli obat juga,” ujar Ayah pelan.

Tiba-tiba Momon merasa sangat bersalah. Betapa pentingnya uang itu bagi Ayah. Kenapa ia begitu tega mengambilnya demi acara darmawisata? Lebih baik ia mengaku saja. Tetapi, ia bimbang. Takut Ayah akan marah besar.

 Setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia pun berkata jujur. Itu lebih baik daripada nanti Ayah menanyakan dari mana ia dapat uang ikut darmawisata.

Ayah menatap Momon dengan raut wajah susah dipahami.

“Yah, aku memang salah. Aku siap menerima hukumannya.”

Tiba-tiba Ayah tersenyum. “Ayo, kita pulang. Sebentar lagi magrib. Soal hukuman, kau sudah melaksanakannya. Ayah sudah tahu kalau kau yang menemukan uang Ayah dan mengantonginya.

            Momon gelagapan. Jadi, Ayah sebenarnya tahu dan pura-pura sakit untuk menghukum kecurangan yang ia lakukan?

Tiba-tiba ia jadi malu hati. Sepanjang perjalanan pulang, Momon hanya menundudukkan kepala, tidak berkata sepatah kata pun.

Ketika hampir di rumah, Ayah mengeluarkan uang lima puluh ribu tadi. “Kamu masih ingin pergi berdarmawisata? Anggap saja ini upahmu mengangkat kakao,” ujar Ayah menyodorkan uang itu.

            “Terimakasih, Yah!” ujarnya. “aku berjanji tidak akan berbuat curang lagi.”

            “berjanjilah kepada Tuhan, Nak. Karena Dia tahu setiap perbuatan yang kamu lakukan.”

Momon tersipu malu.


NB
Dimuat di KOMPAS Anak Feb 2011

0 komentar:

Posting Komentar