Jumat, 11 Maret 2016

Risma dan Anabel


Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, Risma membawa segudang harapan. Bu Zuraida orang kaya di kampungnya, menawari pekerjaan di rumah adik bungsunya di Jakarta. Mengenai ongkos keberangkatan, gaji yang bakal ia terima membuat Risma tertarik apalagi setelah mendapat restu dari ibunya, Risma semakin bersemangat karena ia sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di kota metropolitan itu. Tak tanggung-tanggung, Risma diongkosi naik pesawat terbang. Delapan belas tahun usianya hanya dihabiskan di kampung yang sepi membantu orangtua menggarap sawah milik Bu Zuraida dan sesekali membantu wanita itu di rumahnya. Tapi yang paling membuat Risma bersikeras  tak lain adalah ingin berbuat sesuatu untuk keluarga. Ayah yang selama ini menjadi tulang punggung, dua tahun lalu tak bisa lagi diandalkan. Hari-harinya hanya dihabiskan di tempat tidur. Kata dokter Ayah terkena stroke. Tak ada yang bisa mereka perbuat selain pasrah. Semua barang berharga di rumah lenyap satu persatu untuk biaya pengobatan Ayah. Ibu lah yang sekarang banting tulang, menghidupi mereka. Masih untung ketiga adiknya masih bisa sekolah walau pun Risma harus membuang keinginannya masuk SMA jauh-jauh.

            Tapi Risma tak menyesali semua itu. Tak peduli kalau sekarang ini ia harus terpisah jauh dengan keluarga. Lagipula waktu itu Risma yakin, walau belum mengenal sama sekali sosok Bu Henidar, ia percaya, beliau pasti orang baik. Sama halnya dengan Bu Zuraida.

            Tapi harapan memang tak selalu sebangun dengan kenyataan. Sifat Bu Henidar ternyata bertolak belakang dengan kakaknya itu. Perilaku dan gaya hidupnya pun jauh dari yang Risma bayangkan. Sangat modern. Lebih dari itu orangnya ternyata judes dan galak.

            Walau selama ini Risma sudah melakukan pekerjaannya dengan baik, tapi ternyata belum cukup. Wanita itu selalu saja merasa tidak puas. Hampir semua pekerjaannya dicela atau paling tidak dikomentari sinis. Ada saja yang tak berkenan. Masakan yang keasinan, mencuci tak bersih, pakaian yang disetrika tak licin, rumah yang berantakan, sampai-sampai ia mencela kalau Risma berbadan bau. Kalaulah tak ingat orang-orang di kampung, pasti ia sudah meninggalkan wanita itu. Tapi ia berusaha sabar. Bisa jadi itu semua hanya pelampiasan saja. Bukankah banyak perawan tua berperangai seperti itu?

            Entahlah, Risma tak habis pikir mengapa wanita itu belum juga menikah. Segalanya ia punya kecuali suami. Rumah punya, mobil ada dan karirnya pun bagus mengepalai suatu departemen di sebuah bank terkemuka. Wajahnya pun juga masih cantik dan awet muda. Belum tampak jejak-jejak kekalahan melawan usia di wajahnya. Tapi mengapa tak ada laki-laki yang menaruh hati? Apakah ia patah hati? Ah, Risma tak mau berpikir lebih jauh. Apa urusannya?

            Satu hal yang paling tak ia sukai yakni mengurus hewan peliharaan Bu Henidar. Seekor anjing jenis Tsih Tzu berwarna putih keabu-abuan. Bulu-bulunya bikin Risma harus menahan bersin tiap kali mengurusnya. Bagi Bu Henidar, hewan  itu adalah makhluk yang paling ia sayangi. Ia tak segan-segan mengeluarkan jutaan rupiah hanya untuk sebuah kandang seekor anjing lucu bernama Anabel. Makanannya pun tak boleh sembarangan, harus mengandung omega 3 biar bulu-bulunya tetap mengkilap terjaga. Setiap bulan ia pun membawanya ke Happy Pets,  untuk membersihkan dan merapikan bulu dan pemeriksaan kuku. Betapa sejahteranya hewan itu, tak sebanding dengan derajatnya. Sungguh kontras dengan kehidupan Risma. Tiap hari harus bangun pagi, membersihkan rumah, menyiapkan makanan, mencuci, ke pasar dan urusan tetek bengek lainnya dan itu pun ditambah dengan omelan-omelan.

            Suatu pemandangan yang menggelikan bila melihat Bu Henidar menonton tivi di ruang tengah. Anabel selalu di pangkuannya dan menyisir bulu-bulunya dengan slicker comb. Ada rasa cemburu yang tak ia sadari merayap pelan-pelan dalam hatinya. Betapa mesra hubungan mereka. Memang Anabel tak hanya sekedar hewan peliharaan Bu Henidar. Ia memperlakukannya layaknya manusia. Seringkali Risma melihat Bu Henidar mengajaknya anjing itu bercakap-cakap. Dulu ia merasa aneh tapi lama-lama ia menjadi terbiasa.

***
            Tapi hari ini Risma merasa senang, pasalnya Bu Henidar pergi ke luar kota selama tiga hari. Kepergian wanita itu membuat Risma bebas dari rutinitas yang melelahkan. Selama tiga hari ke depan ia akan menikmati hari-harinya untuk bersantai-santai dan memanjakan diri.

            Dengan segelas lemon tea dingin dan setoples biskuit yang bertabur coklat Risma duduk di sofa ruang tengah menatap tivi layar plasma 32 inci. Siang itu suasana begitu sepi. Di pojok ruangan tampak Anabel lagi tidur-tiduran. Tak ada suaranya yang khas. Apakah seekor anjing bisa merasakan kesedihan bila ditinggal tuannya?

            Dipencetnya remote. Tak ada acara yang menarik. Tak lama jarinya berhenti di saluran berita siang. Tatapannya tertuju pada berita-berita kriminal di tivi. Ada berita perampokan bersenjata, penemuan mayat bayi, kebakaran, penangkapan bandar narkoba, kecelakaan lalu lintas. 

            Tak lama, ia tertegun melihat berita selanjutnya. Seorang pembantu rumah tangga tewas disiksa majikan. Hanya dituduh mencuri perhiasan, sang majikan tega menyiksanya? Betapa mengenaskan. Tiba-tiba pikiran buruk melintas dipikirannya. Bagaimana kalau ia yang mengalaminya? Ah, tidak! Ia tak akan mengalami hal itu karena selama ini Bu Henidar hanya suka mengomel saja, tak pernah ia melakukan kekerasan fisik. Lagi pula Risma tidak pernah melakukan macam-macam. Ia tak pernah merusak barang-barang apa lagi mencuri.

            Akhirnya ia mematikan tivi. Lebih baik mengerjakan sesuatu yang membuat  Bu Henidar senang bila ia pulang nanti. Ia segera ke teras dan mengambil selang untuk menyiram tanaman. Tapi perhatiannya  kembali tertuju pada Anabel yang masih saja tak bergerak, tampak lesu. Ia hanya menggeleng melihat tingkah hewan itu.

            Tengah asyik menyiram tanaman ia dikejutkan oleh tukang pos yang sudah berdiri di depan pintu pagar. Setengah berlari Risma menghampirinya. Dadanya berdebar-debar ketika membuka surat dari kampung itu. Tiap kali menerima surat, selalu saja ia begitu. Dalam surat kali ini, keluh kesah ibu kali lebih panjang dari biasanya, tapi intinya kembali minta dikirimi uang untuk pengobatan Ayah.
***
Keesokan harinya, Risma mulai panik melihat perilaku Anabel. Anjing itu sama sekali tak menyentuh makanan yang ia sediakan. Susunya pun tidak diminum. Ia tampak begitu lemah. Tatkala mencium bau aneh, ia melihat ekor Anabel penuh dengan kotoran cair. Risma mundur beberapa langkah, merasa ada yang bergejolak di perutnya. Tapi pikirannya langsung dipenuhi rasa takut. Anabel adalah hewan kesayangan Bu Henidar, bisa jadi miliknya yang paling berharga. Kalau anjing itu mati, pasti ia akan menjadi bulan-bulanan Bu Henidar. Ia nyaris kalut, tak tahu harus bagaimana. Wanita itu masih belum pulang, rencananya besok baru kembali. Tapi untung ia tak kehilangan akal. Dengan cepat ia berlari ke ruang tengah, mengangkat gagang telepon dan memencet tombol. Sejurus kemudian terdengar suara di seberang sana.
            “Ada apa?”
            “Kapan Ibu pulang?”
            “Memang kenapa?” suara Bu Henidar penuh keheranan.
            “Anabel, Bu...”
            “Kenapa si Anabel?”
            “Ia sekarat!” kontan ucapan itu meluncur dari mulutnya. “Saya tak tahu apa yang harus dilakukan. Sebaiknya Ibu pulang.”
Bu Henidar tak ngomong apa-apa lagi. Yang terdengar hanya bunyi telepon ditutup.
***
            Bu Henidar tampak begitu tegang. Dari kaca spion tengah, Risma bisa melihat kecemasan terpancar di wajahnya. Dengan kecepatan tinggi ia mengendarai mobil seakan-akan tak mau kehilangan waktu. Sementara Risma hanya diam di jok belakang sembari menggendong Anabel dalam balutan kain seperti menggendong bayi. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya ia mengomeli Risma yang tak becus mengurus hewan kesayangannya itu. Risma hanya  diam, tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya untuk membela diri.

Di klinik hewan, Anabel langsung digotong menuju tempat pemeriksaan. Mulai mata, hidung, mulut dan detak jantungnya diperiksa oleh dokter hewan. Bu Henidar terus membelainya. Jelas terpancar dari wajahnya rasa takut kehilangan. Tak terasa  setetes air mata mengalir di pelupuk mata Risma. Betapa beruntungnya hewan itu. Nyawanya seakan begitu berharga. Terbayang ia penderitaan Ayah. Seharusnya beliau juga mendapat perawatan yang layak, ditangani oleh dokter ahli. Tapi nyatanya ia  hanya dirawat di rumah dengan ala kadarnya.

            “Untung Ibu segera membawanya ke sini,” ujar dokter yang menangani.
            “Apa yang terjadi, Dok?” tanya Bu Henidar dengan wajah yang diliputi kecemasan.
            “Anjing ini kena Distemper!”
            “Lho, kok bisa? Padahal sudah divaksinasi.”
            “Nah, itu keberuntungan ibu yang ke dua. Kalau tidak, saya khawatir hal yang lebih buruk bisa saja terjadi.”
            Bu Henidar hanya pasrah. Tatkala perhatiannya beralih ke Risma, sorot matanya segera berubah.
            “Kau lihat? Baru kutinggalkan, kau sudah buat masalah. Apa sih yang bisa kau lakukan?”
            Risma hanya diam. Ia kehilangan kata-kata.
***
            Selama empat hari Anabel dirawat, Bu Henidar uring-uringan. Mulutnya tak kunjung diam, ada saja yang jadi bahan omelannya. Tapi untunglah pada hari yang ke lima Anabel sudah bisa dibawa pulang. Akhirnya mereka bisa berkumpul lagi.  Sepanjang sore yang cerah itu ia asyik  menyisir bulu-bulu Anabel dan memasang pita pada bulu yang menjuntai di atas kepalanya. Anjing itu kelihatan lebih sehat, suara guguknya yang khas mulai terdengar. Saat itulah Risma berusaha menemuinya untuk mengutarakan maksud hati.

            “Apa? Kau pikir aku mau meminjamimu kali ini? Enak saja! Pekerjaanmu saja nggak becus.”
            “Tapi saya butuh sekali, Bu, untuk biaya pengobatan ayah saya.”
            “Sudah kubilang, tidak! Utangmu bulan kemarin belum lunas, berani-beraninya pinjam uang lagi.”
            “Tolonglah, Bu. Saya butuh sekali. Kalau Ibu tak percaya, ini surat yang saya terima beberapa hari yang lalu,” Risma terus memelas. Ia tak punya harapan lain selain Bu Henidar.
            “Dasar bebal! Sepersen pun tak akan kupinjamkan!”
            “Saya rela bulan depan tidak digaji.”
            Bu Henidar masih bergeming. Terus saja membelai Anabel di pangkuannya.
            “Apapun akan saya lakukan demi membantu orang tua.”
            “Termasuk memerasku? Kau itu ya, makin lama makin bertingkah. Dikasih hati minta jantung.”
            “Tolonglah, Bu!”
            Risma kehilangan akal melunakkan hati wanita itu. Tapi ia tak akan menyerah. Di tengah keheningan, untuk mencari kata-kata yang tepat membujuk Bu Henidar, Tiba-tiba telepon berdering. Bu Henidar menyuruhnya mengangkat telepon itu.
            “Uni Risma ada?” terdengar suara di seberang sana. Risma tertegun, suara itu sangat dikenalnya, suara Amri, adiknya.
            “Iko Amri, yo?”                                                                           
            “Iyo,Ni! Ayah wak, Ni... Ayah indak ado lai, barusan alah bapulang, pulanglah Uni...” ujar Amri dengan suara bergetar, terbata-bata. Walau pun  singkat, suara di telepon itu membuat Risma terlonjak. Gagang telepon terlepas dari genggamannya. Serta merta tangisnya pecah. Butiran air mata menghambur di sela pipinya.
            “Hei, kau kenapa?” tanya Bu Henidar kaget melihat Risma meraung. Tapi Risma tak menjawab, ia hanya menatap lirih pada Bu Henidar dan anjing yang ada dipangkuannya.
***
            Dua minggu kemudian ketika wanita lajang itu sedang berada di kantornya, ia menerima pesan singkat dari Bu Zuraida. Sepertinya ia paham mengapa Risma tak mau balik lagi ke Jakarta. Pesan itu berbunyi;
            “Menyayangi hewan itu baik, tapi menyayangi sesama jauh lebih baik
            Bu Henidar mengerinyitkan kening, mencoba memahami apa maksud sms itu(*)

***

NB: 
Cerpen ini dimuat di Harian Padang Ekspres, 9 Januari 2011. Foto: gettyimage.com

0 komentar:

Posting Komentar