Selasa, 01 Maret 2016

Dahulu Baralek, Sekarang Pesta

Sepertinya sekarang ini tiada hari Minggu tanpa pesta/ hajatan perkawinan atau yang lazim disebut baralek. Dalam satu ruas jalan atau satu kawasan pemukiman, bisa jadi terdapat satu atau lebih rumah yang menggelar hajatan ini. Belum lagi kawasan lain. Tak percaya? Silakan jalan-jalan keliling kota di hari Minggu. Dengan mudah dilihat adanya tenda-tenda pesta dan umbul-umbul (marawa) yang dipasang sebagai penanda.
Masih ingat nggak, ini siapa yang baralek?


Sebagai makhluk sosial yang berinteraksi, kita terkadang mendapat lebih dari satu undangan pesta perkawinan yang jatuh pada tanggal dan bulan yang sama, entah itu dari sahabat, kerabat, atau relasi. Semakin luas ruang lingkup dan pengaruh seseorang, semakin sering mendapat undangan perkawinan. Rupa-rupanya hari baik bulan baik menggelar pesta perkawinan, berlangsung seluruh Sabtu/Minggu sepanjang tahun, kecuali bulan Ramadhan. Secara guyonan, stok pemuda/pemudi yang mau menikah berlimpah ruah di negeri ini. Secara serius bisa diartikan, menikah merupakan tanggung jawab sosial bagi setiap individu yang memenuhi syarat untuk meneruskan generasi berikutnya demi pelestarian umat manusia. Bukankah dalam agama juga diperintahkan untuk segera menikah bila sudah mampu baik biologis, psikologis, dan finansial?

Lain Bengkulu lain Semarang, lain dahulu lain sekarang. Pesta/ baralek pun turut mengalami perkembangan zaman. Perkembangan ini terjadi akibat bergesernya sudut pandang. Tulisan ini hanya akan membahas perbedaan beberapa elemen yang ada dalam acara baralek di mana dahulu tidak biasa, sekarang menjadi kelaziman, dan sebaliknya, dahulu suatu kelaziman sekarang kalau dipraktekkan mungkin menjadi suatu keanehan.

Dahulu dalam mengundang tetangga, kerabat, handai taulan untuk datang baralek, pihak yang punya hajat menggunakan bahasa lisan, kaum ibu menyodorkan sirih, kaum bapak menyodorkan rokok. Apabila sirih dikunyah dan rokok dihisap oleh yang menerima, berarti mereka dengan senang hati menerima undangan tersebut. Seiring Zaman, budaya nyirih sudah ditinggalkan karena ibu-ibu sekarang lebih senang ngemut permen, dan bapak-papak  tak lagi banyak merokok, maka mengundang pun beralih cara. Sirih berganti permen. Cara lisan berganti tulisan yakni dengan menggunakan kartu undangan.

Kalau dahulu alek diadakan di rumah gadang. Tetangga dan kerabat dekat pun berdatangan membantu mempersiapkan jamuan/ hidangan. Mereka saling bantu memasak, menyiangi bawang, menggiling cabai, memotong sayuran dan lainnya. Terjadi interaksi satu sama lain dalam suasana kekeluargaan. Di sana terlihat mana yang ikhlas mana yang pemalas. Sekarang sudah berubah. Budaya gotong royong  sudah terkikis dengan sikap individualis. Tak mau merepotkan apalagi direpotkan. Baralek di gedung menjadi pilihan. Kalau tidak di hotel, ya, di gedung pertemuan. Kalau diadakan di rumah, jasa katering pun menjadi andalan, lengkap dengan pramusajinya sekalian. Perjamuan tidak lagi dengan secara bajamba, di mana hidangan tersusun di lantai dialasi kain putih panjang, dan makan menggunakan tangan. Sekarang lebih praktis, secara prasmanan atau french dinner. Ambil sendiri, duduk di meja kursi yang telah disediakan dan makan menggunakan sendok dan garpu.

Era rumah gadang memang sudah berlalu. Rumah sekarang memang banyak yang kecil-kecil  sejenis tipe 21 atau 36. Kalau penghuni rumah tipe ini mengadakan hajatan, penempatan pelaminan jadi masalah karena tempat bersanding mempelai jelas makan tempat. Orang pun mengakali dengan men-setting pelaminan di luar ruangan. Dahulu letak pelaminan mesti di dalam rumah dan menghadap pintu depan. Ini punya filosofis tersendiri. Artinya, mempelai pria sebagai pendatang diterima sebagai urang sumando di rumah itu, akan tetapi ia hanya boleh terlibat untuk urusan luar, bukan untuk urusan internal keluarga besar. Pandangan sikapnya sama saat ia bersanding di pelaminan menghadap ke luar.
(foto 2) Pesta perkawinan Anak zaman Sekarang


Tapi sekarang ini, pelaminan di halaman rumah atau di garasi pun menjadi lumrah. Selumrah mengokupasi jalanan untuk mendirikan tenda. Khalayak umum diminta maklum, kalau perlu memutar jalan.

Warna-warna ornamen pelaminan dan pakaian kedua mempelai pun dahulunya hanya didominasi oleh warna-warna tertentu alias ada pakemnya. Berhubung sekarang zaman keterbukaan, terbuka terhadap inovasi dan ekspresi, pilihan warna dan bentuk berdasarkan preferensi bahkan kreasi sendiri. Dahulu, sunting di kepala Anak daro, menggunakan anakan batang pisang yang diikat ketat dengan rambutnya. Pada batang pisang tersebut ditancapkan sunting yang terbuat dari logam. Tak sedikit rambut yang rontok akibat pemasangan ornamen tersebut. Sekarang tinggal bongkar pasang. Gampang.

Tentu tak asyik, kalau pergi kondangan hanya datang, makan dan salaman dengan pengantin, kemudian pulang. Hiburan harus ada. Hiburan yang paling lazim yakni orgen tunggal. Sekarang tidak terlihat lagi alat musik tradisional seperti perangkat talempong, saluang, dan sejenisnya. Dengan orgen tunggal, semua jenis musik bisa dimainkan. Pop, dangdut, melayu, kasidah, dan sebagainya. Selain dari penyanyi yang memang sudah disediakan oleh grup orgen, para undangan pun bisa menyumbang lagu unjuk kebolehan.Kapan lagi bisa pamer suara merdu di depan orang banyak?
Bingung memberikan kado apa? Tak usah repot-repot. Bukan zamannya lagi memberikan kado spesial.
(foto3) Makan Bajamba


Pada zamannya, kado adalah kenang-kenangan untuk kedua mempelai dalam rangka memulai hidup baru. Jadi isinya kebanyakan adalah peralatan rumah tangga. Tapi karena banyak yang nggak kreatif dan selektif dalam memberi, sering dijumpai isi kado  yang sama hingga jadi mubazir.
Sekitar akhir 80-an dan awal 90-an Anda mungkin pernah mendapat kartu undangan pesta perkawinan yang bertuliskan,

“Tanpa mengurangi rasa hormat kedua mempelai, alangkah baiknya tanda kasih yang diberikan tidak dalam bentuk karangan bunga, ataupun berbentuk benda.”

Semenjak itu era kado mulai berakhir. Sekarang cukup dengan uang yang dimasukkan ke dalam amplop, dan setelah mengisi buku tamu, tinggal memasukkannya dalam kotak sumbangan yang telah disediakan. Kotak ini ada yang seperti meja yang ditutup kain, dan ada yang berdesain miniatur rumah adat Minang.  Acara buka kado usai pesta pun berganti menjadi penghitungan hasil saweran dengan atmosfer tak kalah mendebarkan. Kira-kira balik modal nggak ya?

Para undangan pun akan mendapat souvenir kecil sebagi tanda terima kasih. Nah, ini serunya. Souvenir ini bisa bermacam-macam. Bisa kipas, sumpit, keramik kecil, tempelan kulkas, tempat tisu dan sebagainya. Bahkan ada sovenir yang hanya berupa permen dan tusuk gigi. Mungkin maksud yang punya hajatan, agar tamu undangan tak repot-repot mencari tusuk gigi setelah makan-makan.

Satu lagi yang sudah menjadi trend dalam pesta perkawinan zaman sekarang adalah papan karangan bunga. Banyaknya papan karangan bunga menunjukkan siapa yang punya hajat. Semakin banyak koneksi dan relasi, akan semakin banyak papan karangan bunga yang diterima. Pernah lihat, kan, pesta perkawinan papan karangan bunganya meluber memenuhi kiri–kanan jalan? Kalau banyak begitu, pasti tak akan dibaca atau diperhatikan lagi oleh tamu yang datang. Soalnya sudah bingung duluan.  Kalau satu karangan bunga harganya 500 ribu, lima puluh karangan bunga bisa ditaksir senilai 25 juta. Hm, mubazir? Tergantung! Tergantung sudut pandang dan kepentingan.

Ya, begitulah acara baralek yang setiap Minggu selalu saja ada di sudut-sudut kota ini. Supaya Anda tidak salah tuju, sebaiknya pantengin dulu foto pre-wedding pengantin yang berukuran besar yang terpampang di depan pintu masuk, benar tidak orangnya? Sungguh tidak lucu setelah mengisi buku tamu dan menghabiskan hidangan dan mau bersalaman dengan pengantin, baru menyadari ternyata anda salah alamat.


Merayakan pernikahan momen yang penting dalam lintasan sejarah hidup anak manusia. Hajatan digelar untuk pemberitahuan pada khalayak bahwa sepasang insan  telah terikat tali suci perkawinan. Ucapan selamat dan doa restu pun disampaikan, semoga kedua pengantin membentuk keluarga Sakinah Mawadah dan wa Rahmah. Apapun pergeseran-pergeseran yang terjadi semata-mata karena perbedaan sudut pandang manusia  yang mengisi zaman itu. Karena itulah, ada yang bilang, kalau hajatan perkwinan zaman dahulu disebut baralek, sekarang disebut pesta. Prosesi baralek penuh dengan simbol/ makna, sedangkan pesta lebih bersifat pragmatis  yang terkadang hedonis. Ajang pamer segala sesuatu. Ini sesuai dengan ungkapan, silang nan bapangka karajo nan bapokok. Pokoknya mesti pamer, entah itu pakaian, perhiasan, gandengan, status, dan sebagainya.

sumber foto:

0 komentar:

Posting Komentar