Senin, 07 Maret 2016

Sampah Pak Anwar


Lelaki setengah baya itu punya kebiasaan aneh. Tiap malam kerjanya membakar sampah di depan rumah dan selalu dilakukan pada jam-jam menjelang tidur. Pak Anwar, begitu tetangga memanggilnya, sudah melakukan kebiasaan tersebut semenjak ia tinggal di komplek perumahan itu. Tempat ia membakar sampah  terbuat dari drum bekas yang ditaruh begitu saja di halaman rumahnya, bukan tempat permanen  yang terbuat dari beton. Sungguh kontras dengan rumahnya yang mentereng. Bukannya tak mampu, atau pelit mengeluarkan uang retribusi beberapa ribu perbulan, tapi Pak Anwar lebih suka membakar sampah-sampahnya sendiri. Tak peduli gunjingan para tetangga. Tak peduli walau sempat beradu urat leher dengan petugas soal retribusi sampah yang tak pernah ia bayar. Ia juga tak peduli kalau tetangga pernah mengajukan keluhan tiap kali sampah yang ia bakar mengeluarkan asap yang terbang ke mana-mana, atau bau karet atau plastik terbakar.  Baginya membakar sampah adalah keasyikan tersendiri.

            Ya, mungkin terlihat aneh bagi orang lain, tapi tidak bagi Pak Anwar  karena ia baru bisa tidur setelah membakar habis semua sampah-sampahnya. Perasaannya baru bisa tenang kalau ia melakukan ritual tersebut. Pernah kejadian, ia memarahi pembantu yang baru bekerja di rumahnya hanya karena pembantu tersebut menyerahkan sampah pada petugas kebersihan yang tiap hari lewat depan rumah. Atau ketika  drum sampah itu hilang, Pak Anwar ribut seperti kehilangan mobil. Begitu berharganya tempat sampah itu baginya, sampai-sampai mengadukan hal ini pada ketua RT.  

            Memang tak perlu ada alasan untuk sesuatu hal, terutama menyangkut sebuah kebiasaan. Makanya pak Anwar tak perlu menjawab pertanyaan tiap kali ada yang bertanya.  Ia tak pernah mau menjawab, dengan jujur atau pun secara diplomatis. Kalau setiap orang punya kebiasaan buruk, maka kebiasaan buruk Pak Anwar  adalah membakar sampah menjelang malam. Orang lain tak akan pernah mengerti mengapa ia melakukan hal itu.

            Hanya dia yang tahu alasannya. Hanya dia yang bisa merasakan sensasi setiap kali melihat nyala api membakar sampah-sampah, barang-barang tak berguna menjadi  abu. Sensasi itu menenangkan hati dan pikiran. Anehnya, mungkin karena sudah menjadi kebiasaan, asap yang ditimbulkan tak lagi membuat perih matanya, atau membuat sesak napasnya. Sampah-sampah itu seperti kegalauan yang ada di hati. Harus dimusnahkan, tak boleh ada  yang tertinggal. Nyala api yang membakar, kilatan lidah api terlihat begitu indah. Bila semuanya telah terbakar sempurna, nyala itu akan padam. Ia akan mengakhiri prosesi itu dengan khidmat. Menarik napas panjang dan melangkah dengan tenang masuk ke rumah, mencuci muka, tangan dan kaki dan kemudian tidur dengan damai.

            Ini memang sudah jadi kebiasaan akut baginya. Tak ada kegiatan lain yang lebih menenangkan hati selain membakar sampah. Kegiatan lain seperti nonton tivi walau acaranya dari saluran berlangganan, tak membuatnya senang, biarpun tivinya model terakhir sekalipun. Kenikmatan yang ditimbulkan tak sedashyat melihat nyala api melahap sampah yang terbakar. Perlahan tapi pasti api membakar apa saja. Biru, ungu, hijau, kuning, warna  nyala api mengalahkan indahnya pelangi. Ia bisa terpukau. Saking sering ia melakukannya ia jadi hapal setiap benda mengeluarkan nyala berbeda bila dibakar.

            Anaknya paling besar, Santi, yang kuliah di kedokteran itu pernah mempersoalkan kebiasaan aneh papanya. Dia pernah menyarankan untuk pergi ke psikiater, karena kebiasaan itu perlu dicari penyebabnya dan kalau perlu dilakukan langkah terapi. Tentu saja pak Anwar murka,

            “Kau pikir aku sakit jiwa disuruh ke psikiater segala, cuma gara-gara aku suka bakar sampah?”

            “Tapi kebiasaan Papa sungguh tak lazim, Papa tidak sadar gunjingan para tetangga? Belum lagi dampak yang ditimbulkan, asap dan bau yang menganggu pernapasan? Apa sih untungnya melakukan hal itu? Sampah itu bisa saja diserahkan pada petugas kebersihan, tak harus kita yang memusnahkan. Itu namanya kurang kerjaan, Pa!” Santi sudah gregetan melihat kebiasaan buruk papanya. Ia tahu dalam ilmu psikologi ada banyak jenis gangguan jiwa. Salah seorang Mama temannya suka menumpuk barang-barang apkir hingga menyita banyak tempat. Beliau suka ngamuk kalau barang-barang itu disingkirkan. Perasaan sayang untuk dibuang. Tapi gejala psikologis yang diderita Papanya? Apa kaitan beliau dengan sampah? Mengapa Papa seperti orang terhipnotis menyaksikan sampah terbakar? Apanya yang asyik  hingga jadi ketagihan?

            “Aku hanya cari hiburan. Tak lebih. Apa perlu alasan khusus melakukan suatu hal yang aku sukai? Lagi pula yang aku bakar itu sampah, kok. Barang yang tak berguna. Mengapa harus dipertanyakan?”

            “Bakar sampah kok dibilang hiburan? Papa ini makin lama semakin aneh. Kalau Papa mau cari hiburan  kan bisa yang lain. Nonton tivi, baca buku, dengar musik. Lha, ini ketagihan bakar sampah!”

            “Masih untung hanya ketagihan bakar sampah. Kalau ketagihan main perempuan bagaimana?” nada suaranya meninggi seiiring naiknya emosi mendengar ucapan anaknya itu. Tak mau kalah, Santi malah menanggapi,

            “Kalau ketagihan perempuan aku bisa paham. Banyak laki-laki seusia Papa mengalaminya. Tapi yang ini, aku benar-benar tak paham.” 

            “Kau tak akan pernah bisa paham, Nak. Lagi pula tak penting bagimu atau bagi yang lain tahu mengapa Papa suka melakukannya.” Pak Anwar tak mau berdebat dengan anak pertamanya itu. Ia berlalu begitu saja.
***
            Dan belakangan ini kebiasaan buruknya semakin menjadi-jadi. Tidak hanya sampah yang dibakarnya. Koran dan majalah bekas tak pelak jadi sasaran. Semua barang-barang tak berguna ia kumpulkan dan ia bakar. Ia pun lebih butuh waktu berlama-lama dengan kegiatan sintingnya itu. Dan bila semuanya selesai baru ia  beranjak tidur. Istrinya pun mulai menyoalkan karena sering ia dapati suaminya baru berada disampingnya menjelang pukul satu dini hari. Ia baru menyadari tiap kali sehabis melakukan itu, wajah pak Anwar terlihat tenang dan damai. Berbeda dengan raut wajahnya tiap kali pulang kantor yang selalu kusut seperti dilanda masalah yang sangat berat. Tapi ia tak berani bertanya langsung, sebab ia tahu suaminya bukanlah orang yang suka bicara, apalagi mengungkapkan isi hatinya. Dua puluh tahun lebih mereka menikah, ia sudah hapal sifat dan perilaku Pak Anwar.
***
            Ketika itu Pak Anwar baru saja tertidur, dini hari jam 1.30. Istrinya sontak terbangun karena asap tebal mengepung kamar. Hawa panas menyergapnya dari segala arah. Ia terlonjak kaget dan langsung histeris. Dengan cepat diguncang-guncangnya dengan kuat tubuh Pak Anwar yang tertidur lelap. Dari luar rumah ia mendengar orang-orang berteriak,

            “Kebakaran! Kebakaran!”

            Laki-laki itu terbangun. Dengan cepat mereka berusaha keluar menyelamatkan diri. Anggota keluarga lainnya juga terbangun dan berusaha keluar dari rumah dengan wajah ketakutan luar biasa.

            Api dengan cepat membakar langit-langit rumah, pintu, kusen jendela dan bagian-bagian lain. Para tetangga dengan cekatan bahu membahu membantu memadamkan api. Tapi semakin berusaha mereka memadamkan, semakin besar kobaran api. Istri dan anaknya menangis histeris melihat rumah mereka dilalap si jago merah. Namun aneh Pak Anwar hanya berdiam diri di tempat. Matanya nyalang tak berkedip seperti orang yang terpesona. Sirene mobil kebakaran yang meraung-raung tak membuatnya sadar akan sebuah peristiwa yang menimpa rumahnya.

            Lidah api melambai-lambai, berwarna jingga keperakan serta bunyi letupan-letupan kecil menimbulkan sensasi tersendiri baginya. Kilauan cahaya  merubah malam jadi terang. Lidah api membumbung tinggi seperti menjangkau langit. Diantara hiruk pikuk orang yang berjibaku melawan api Pak Anwar bergeming.

            Inilah puncak dari kegalauannya selama ini. Inilah sumber dari kegelisahan yang menderanya. Rumah ini pantas terbakar, karena ia adalah sampah busuk yang membuat hidupnya tidak tenang. Rumah yang ia dapat dari hasil kongkalingkong di kantor. Membuat hidupnya merasa kotor dan penuh dosa. Bukankah neraka juga menggunakan cara yang sama untuk membersihkan semua dosa yang diperbuat manusia?

            Di tengah kemelut kebakaran yang melanda rumahnya, tiba-tiba Pak Anwar bersujud dan mencecahkan kepalanya di tanah. Dengan bibir gemetar ia mengucapkan nama Tuhan yang telah mengambil kembali apa yang bukan haknya.
***

NB
Dimuat di harian Padang Ekspres, 26 September 2010
Foto: gettyimages.com





0 komentar:

Posting Komentar