Senin, 07 Maret 2016

Belati Di Balik Baju


Di tangannya, belati berkarat itu menjadi berkilat. Ketika jari kecilnya menyentuh ujung benda tersebut, terasa tajam menikam, siap merobek apa saja. Dicobanya menoreh  dinding kayu rumahnya. Seketika, torehan dalam pun terbentuk. Belum merasa cukup, ia mengambil kardus dan menusukkannya penuh tenaga. Sekali hentakan, kardus itu pun terbelah rapi.
            Ia menarik napas panjang. Ada raut puas di wajahnya. Tak sia-sia ia mengasah belati itu sepenuh hati.  Ini akan menuntaskan dendamku padamu, keparat! Desisnya.
            Ia menyeka peluh yang berjatuhan di kening. Pengap udara kamar tak sebanding dengan suasana batinnya yang terluka. Diacungkannya belati itu ke udara. Walau hanya bertangan kecil, tapi hasrat yang menguasai dirinya begitu besar.
            Tiba-tiba pintu depan diketuk dengan keras.
            “Odi! Odi! Kamu di mana?” suara perempuan itu terdengar di balik pintu. Dengan cepat ia menyembunyikan belati itu di bawah kasur tipis tempat ia dan ke dua adiknya tidur.  Ia tidak ingin perempuan itu tahu apa yang tengah dilakukannya. Setengah berlari ia ke ruang depan. Seketika pintu terkuak, perempuan yang baru pulang bekerja di tempat konveksi itu pun kontan berteriak.
            “Matamu kenapa lagi? Habis berkelahi?”
            Ia hanya diam dan memalingkan muka.
            “Kamu berkelahi lagi? Ayo, jawab!”   
            Aku tidak berkelahi! Aku habis dipalak! Jeritnya. Tentu hanya di dalam hati. Ia tidak ingin perempuan itu tahu masalah yang sedang ia hadapi. Tak ingin menambah beban pikirannya. Seharian ia banting tulang dengan hasil yang tak mencukupi, tak ingin ia tambah lagi dengan masalah ini. Kasihan dia. Dia tidak perlu tahu.
            Ibunya menarik napas dalam-dalam. Sebelum ia berbalik, lebih dahulu tangan perempuan itu  mencekal lengannya. Langkahnya pun terhenti.
            “Dengarkan Ibu, Nak! Ibu tak suka kau terus berkelahi. Kamu Ibu ijinkan untuk mengamen, bukan untuk berkelahi. Hidup kita sudah susah, jangan kau bikin makin susah!”
            “Aku tidak berkelahi.”
“Kau pasti bohong! Mengapa wajahmu lebam?”
Ia tahu perempuan itu pasti gundah. Akan lebih gundah lagi kalau ia tahu apa yang sebenarnya terjadi.  Makanya ia memutuskan diam saja.
            “Kalau masih saja berkelahi, kau tidak boleh lagi pergi mengamen. Lebih baik di rumah saja menjaga adik-adikmu. Ingat itu!” ujar perempuan itu dengan nada mengancam.
“Ya, aku janji. Ini tak akan terjadi lagi,” Ia berusaha melepaskan tangan ibunya dan masuk ke kamarnya yang sumpek dan pengap.
Ia baringkan tubuhnya di samping ke dua adiknya yang sudah hanyut terlelap, tepat di atas belati yang disembunyikan. Ia berusaha pura-pura tidur menghindari cecar pertanyaan. Tapi siapa yang bisa tidur dengan dada yang bergejolak? Amarah dan dendam di hatinya terus saja membakar, melebihi rasa nyut-nyutan di mata kiri. Tak bisa dibiarkan lagi. Keparat itu harus diberi pelajaran!
***
Tadi siang...
Terik matahari begitu bernafsu menjilati ubun-ubun. Perempatan jalan raya itu tetap gaduh seperti biasa. Hiruk pikuk. Bunyi klakson yang tak henti-henti bagai himne wajib kendaraan yang lalu lalang. Di mana ada keramaian, di sana berkumpul pemburu-pemburu receh. Mereka berputar-putar di sekitar traffic light menyongsong kendaraan yang dihadang lampu merah, berpindah dari satu kendaraan ke kendaraan lain, tak peduli bahaya yang mengancam.
            Yang papa menjual kemiskinannya, yang sakit fisik dan cacat mengandalkan penyakit dan ketakberdayaannya, yang banci menjual kegemulaiannya, yang bermodal kecil menawarkan asongannya. Sementara yang lain mengandalkan suaranya, tak peduli walau samber. Apa pun mereka lakukan agar tak kelaparan nanti malam dan bisa tidur tanpa perut keroncongan.
            Di salah satu sudutnya, seorang bocah kecil, bertubuh kerempeng, tengah mengusir rasa haus yang tadi mendera dengan sekantong plastik minuman dingin yang dijual pedagang es gerobak yang senantiasa nangkring di bawah jembatan layang. Sesekali peluh yang menetes di kening, ia seka dengan punggung tangannya. Haus hilang, lapar tetap bertahan. Sedetik ia pandangi kantong bekas bungkus permen yang berisi receh hasil ngamennya hari ini. Ia mengira isinya lebih dari hari biasa karena tadi ada wanita cantik melempar selembar limapuluh ribu padanya. Hari ini memang agaknya hari baik, makanya ia putuskan untuk membeli dua potong combro kesukaannya di penjual gorengan tak jauh dari tempatnya berdiri. Sisanya bisa ia bawa pulang.
            Tapi sayang, uang di tangannya hanya sebentar bertahan. Tatkala pulang, saat menyusuri labirin di pemukiman yang saling berhimpitan, ia di hadang oleh preman kampung bermuka ceper, berambut gondrong dan bergigi boneng. Walau cungkring tapi berperangai garang, dan tato aneka bentuk menghiasi tubuh bilah papannya. Dan dia pun tidak sendiri, ada beberapa cecenguk lain yang sealiran dan sepaham selalu mengintil ke mana dia pergi. Gerombolan itu lah yang menguras hasil jerih payahnya. Mereka hanya menyisakan lima ribu rupiah saja.
            Sungguh ia menyesali apa yang tadi telah terjadi. Mengapa Tuhan mempertemukan dia dengan si keparat itu? Padahal ia sudah memutar jalan tidak melewati gang yang biasa ia lewati. Tapi nasib sial cepat sekali menghampiri dan membuyarkan keberuntungan yang baru saja direguknya. Si Boneng dan teman-temanya justru berada di jalur yang ia pilih.  Dipalaklah ia untuk sekian kali.
            Keparat itu merasa jembatan layang yang tak jauh dari pemukiman itu masih wilayah kekuasaannya, makanya ia layak dapat bagian. Suka-suka saja ia menetapkan harga. Tapi kenapa kepada bocah-bocah tak berdaya seperti dirinya ia sok kuasa? Mengapa tidak kepada yang lain? Ia selalu berusaha melawan ketidakadilan ini. Akibatnya ia mendapat jatah berupa lebam ini.
            Salah besar kau Boneng, bila menganggap semua bocah adalah sama. Jangan kira aku tunduk begitu saja.
            Pintu kamarnya terkuak lagi. Si Ibu datang membawa segelas teh hangat dan sebaskom kecil air untuk mengompres memar di wajahnya.
            “Sini, Ibu kompres memar di wajahmu,” ujar perempuan itu dengan rasa kasih yang tak terbilang.
            “Tidak usah! Besok juga sembuh sendiri,” elaknya. Tapi si ibu terus saja membasahi sapu tangan dengan air hangat di baskom kecil.  Dilapnya bagian yang melebam di bagian mata kiri. Tak ada lagi kemarahan di wajahnya. 
Ia tak bisa mengelak. Ada kehangatan yang menjalar di dada kecilnya.
            “Kamu dan adik-adikmu sudah makan?”
            “Sudah,” jawabnya singkat. Perempuan itu pun menarik napas dalam-dalam.
            “Maafkan Ibu, seharusnya kamu tak perlu harus mengamen di jalan cuma untuk biaya sekolah tahun depan.”
            “Tak ada yang perlu dimaafkan. Ini semua keinginanku.”
            “Tapi berjanjilah kau tak akan berkelahi lagi. Lebih baik menghindar daripada dapat masalah seperti ini. Ibu tahu kehidupan di jalan keras. Tapi kau tak harus menjadi keras karenanya.”
            Ia terdiam.
            “Uang hasil ngamenmu tak dipakai untuk jajan kan? Kau harus menyimpannya untuk mewujudkan keinginanmu itu.”
            Ia tercekat. Kerongkongannya seperti tersumbat. Ia hanya bisa mengangguk lirih.
***
            Pagi itu ia keluar dari rumah dengan sebilah belati di balik baju. Sebuah masalah harus dituntaskan. Kalau bukan dia, siapa lagi yang bisa memberi pelajaran pada keparat itu? Di belantara kota ini, orang kecil seperti dirinya tak punya tempat untuk mengadu. Semua orang sudah punya masalah sendiri-sendiri. Dan kemarin sudah ia putuskan untuk menyelesaikannya dengan caranya sendiri.
            Ia sudah menimbang-nimbang semalaman. Kalau sampai Boneng celaka, dan akhirnya mati, tentu ia akan ditangkap polisi. Bisa-bisa berbulan-bulan ia dipenjara. Ah, lebih baik dipenjara dari pada hidup di luar tapi tak punya harga diri. Bukankah bapak semasa hidupnya mengatakan kalau orang yang tak punya harga diri sama saja ia sudah mati walau masih hidup? Dia juga mengajarkan,  anak laki-laki tak boleh  berjiwa pengecut. Ia masih ingat betul ucapan itu, karena itulah satu-satunya warisan yang dia tinggalkan.
            Ia bulatkan tekad. Walau terasa berat, ia terus melangkah cepat menyusuri gang di antara rumah-rumah yang saling berhimpitan. Mengunjungi tempat biasa Boneng dan komplotannya gentayangan. Hatinya sudah dirasuki dendam  untuk menuntut balas.
***
            Matahari semakin meninggi. Kesibukan warga kota semakin menjadi. Tapi kali ini ia  tidak mangkal di perempatan  menghadang kendaraan yang melintas dengan krecekan. Semenjak keluar dari rumah, tujuannya hanya satu, untuk bikin perhitungan dengan si Boneng.
            Tapi sampai menjelang tengah hari, keparat itu belum juga bisa ia temukan. Padahal ia sudah mencari ke mana-mana. Di sepanjang rel kereta, bantaran kali, gang- gang sempit Setia Kawan, Pasar, dan sampai terminal, tak tampak batang hidungnya.  Kemana keparat itu?
            Bulir-bulir keringat menetes di jidatnya. Belati di balik baju yang terbungkus kertas koran semakin mengganjal dan terasa basah di perutnya. Ia merasa gerah. Bukan karena matahari tapi karena rasa penasaran. Keparat itu, selalu bersua saat dihindari, tapi justru menghilang saat dicari. Ia berusaha sabar dan menenangkan dada yang berdentam karena dendam. Apakah keparat itu tahu rencananya? Apakah ia punya indera ke enam hingga bisa mengendus ancaman? Tidak mungkin! Tak mungkin dia diberkati anugrah seperti itu. Rupanya buruk, kelakuannya juga buruk. Dia bibit penyakit yang menggerogoti makhluk-makhluk yang lemah.
            Menjelang sore, hasilnya masih nihil. Akhirnya ia putuskan pulang dan melanjutkan pencarian esok hari. Anggap saja hari ini adalah hari mujur keparat itu. Kalau ibunya bertanya ia akan bilang sedang tak enak badan.
***
            Keesokan hari, dengan semangat yang masih sama, kembali ia pergi mencari. Kali ini harus dapat. Pelajaran untuknya harus dituntaskan, kalau tidak, dia akan terus semena-mena.  Ia yang bersusah-susah mencari kenapa harus keparat itu yang menikmati?
            Di ujung gang dekat bantaran kali, ketika hendak menuju ke terminal, ia disapa oleh seorang remaja laki-laki yang sama-sama mencari rejeki di perempatan.
            “Odi, kau nggak pergi ngamen?” tanya Pendi si pedagang koran.
            Ia menggeleng lemah.
            “Sakit? Wajahmu kurang sehat?”
            Ia kembali menggeleng.
            “Trus, mau kemana?”
            “Ada urusan!” jawabnya singkat. Berusaha mengelak dari pertanyaan lebih lanjut. Ia tahu, walau banyak omong, sebenarnya anak itu berhati baik. Tapi ia tak ingin meladeni. Ia punya urusan yang lebih penting untuk dilakukan. Degan gegas ia melangkah.
            “Eit, tunggu dulu! Ada yang mau aku omongin. Kau tahu si Boneng kan?”
            Ia tergeragap keparat itu disebut-sebut.  Tanpa sadar ia meraba belati di balik baju.
            “Keparat itu tadi malam mati. Dua orang temannya, lagi sekarat di rumah sakit. Mereka keracunan. Sekarang kita bakal aman. Tak ada lagi yang malakin anak-anak di perempatan.”
            “Apa?”  ia tersentak. “Keracunan?”
            “Mereka habis minum miras oplosan,” ujar Pendi lagi dengan wajah yang berbinar. “Senangnya! Mampus juga dia akhirnya.”
Anak itu pun meninggalkannya yang terpaku mendengar kabar itu. Antara tidak yakin dan percaya. Benar kah?
            Sungguh ia tidak tahu, ketika malam ia sibuk mengasah belati, si Boneng dan komplotannya juga sibuk berpesta. Mereka meracik minuman buatan sendiri. Rasanya lebih dashyat dari Tequila. Etanol dicampur minuman energi plus gingseng dan obat kuat. Uangnya berasal dari bocah-bocah yang berkeliaran di perempatan. Tak lama setelah minum, perut-perut mereka  meletup-letup seperti dibakar api. Mata melotot mulut pun  berbusa.
            Lama ia termenung di bibir kali. Ternyata ia kalah cepat. Tuhan justru lebih dulu bertindak.
 Akhirnya ia keluarkan juga belati itu dari balik baju. Tanpa pikir panjang, segera ia buang ke dalam kali. Sedetik kemudian benda itu menghilang dalam aliran yang menghitam bercampur sampah-sampah yang mengambang. Ia pun menarik napas dalam-dalam. Merasa ada yang tercerabut di dada. Kesumatnya seakan menguap seketika  (*).


Note: Padang Ekspres 3 Juli 2011, foto: gettyimages.com

1 komentar:

  1. The Most Popular Slot Machines in NJ (2021) | DrMCD
    The Most 안성 출장마사지 Popular Slot Machines in NJ (2021) · Biggest 사천 출장샵 Selection · 군산 출장마사지 Jackpot 대전광역 출장마사지 City · Paysbig · Red 군포 출장마사지 Dog · DraftKings · Caesars

    BalasHapus