Selasa, 23 Februari 2016

Pepita si Tukang Sapu


Di suatu negeri, hiduplah seorang  gadis kecil bernama Pepita. Ia hidup sebatang kara. Setiap hari ia berkeliling menawarkan jasa sebagai tukang sapu. Sering ia dibayar hanya dengan sepotong roti, sebutir apel, atau ada juga yang mengusirnya. Sebagian mereka begitu pelit mengeluarkan uang, walau pekarangan rumah mereka banyak yang kotor. Penduduk negeri itu terlalu sibuk mengurus pertanian sehingga tak ada waktu untuk membersihkan pekarangan.
            Hari itu, Pepita sudah hampir seharian berkeliling, tapi belum satu pun halaman rumah yang ia bersihkan. Akhirnya ia memutuskan istirahat di pancuran air yang berada di ujung desa. Ketika hendak mencuci muka, ia menemukan sebuah tongkat hitam. Pepita memungut dan menyimpannya dalam kantong yang selalu ia bawa.
          Keesokan harinya, ketika kembali ke tempat itu, Pepita melihat seseorang mondar-mandir seperti mencari sesuatu. Ia bertopi lebar dan memakai jubah hitam panjang hampir menyentuh tanah.
           “Engkau mencari sesuatu?” tanya Pepita. Orang itu kaget dan cepat menutup wajahnya dengan sapu tangan.
            “Kau pasti seorang penyihir,” Pepita menebak.
            “Jangan menuduh sembarangan!”
            “Tapi penampilanmu seperti seorang penyihir.”
            “Ya, aku memang penyihir. Apa kau mau kusihir jadi kodok?”
            “Kau tak bisa melakukannya tanpa tongkat sihir.  Kau pasti sedang mencari tongkat sihirmu yang hilang,”  lalu Pepita mengeluarkan sesuatu dari kantongnya.
            “Aku yakin ini pasti milikmu. Nah, ambillah!”
            Penyihir itu girang bukan main. Ia melompat-lompat dan mengelus tongkat sihirnya seperti menemukan sesuatu yang sangat berharga.
            “Aku menemukannya kemarin. Apa kau sekarang akan menyihirku?”
            “Ah, tentu tidak! Kau anak yang baik. Aku sangat berterima kasih. Siapa namamu?”
            Mereka pun berkenalan. Penyihir bernama Azora itu memberi Pepita sesuatu sebagai ungkapan terima kasih.
            “Sapu? Apakah aku bisa terbang dengan sapu ini?” tanya Pepita lugu.
            “Tentu tidak. Tapi sapu ini sangat berguna karena ini adalah sapu ajaib. Kau bisa membersihkan halaman dalam sekejap.”
            “Aku tak bisa menerimanya. Aku bisa disangka menggunakan sihir,”  Pepita menolak pemberian itu. Akhirnya Azora membisikkan sesuatu. Gadis kecil itu mengangguk dan wajahnya berubah gembira.
            Di alun-alun, orang-orang ramai berkumpul. Seorang utusan Raja Demos sedang membacakan pengumuman penting. Penduduk negeri itu diperintahkan untuk membersihkan pekarangan mereka. Raja rupanya murka melihat penduduknya malas membersihkan rumah. Barang siapa tidak mentaati peraturan itu akan dikenai hukuman. Pepita menarik napas panjang. Ia pun segera pulang. Ia akan menuruti kata si penyihir. Mulai besok ia akan menjual sapu.
            Ternyata setiap orang yang membeli sapu Pepita merasakan sesuatu yang tidak biasa.  Mereka jadi bersemangat. Lihatlah, sekarang mereka jadi rajin hingga tempat tinggal mereka bersih dan rapi. Ketika Raja Demos kembali meninjau rumah penduduk, beliau tampak gembira. Raja pun mengadakan pertemuan dengan penduduk desa untuk memberi penghargaan.
            “Ini semua berkat sapu yang kami pakai, Paduka,”  ujar salah seorang yang hadir. “Sapu buatan seorang gadis kecil bernama Pepita.”
            “Tapi Paduka, pastilah ia seorang penyihir. Kalau tidak, kenapa sapu-sapu yang ia jual terasa lebih enteng sehingga kegiatan menyapu lebih cepat dan mudah?” sahut salah seorang pria setengah tua yang dikenal sebagai pembuat sapu. Semenjak Pepita menjadi pembuat sapu, sapu buatannya jadi tidak laku. “Orang yang membeli sapu Pepita pasti telah kena sihir,” ujarnya  meyakinkan Raja Demos.
            Raja rupanya terpengaruh dan menyuruh utusan untuk memanggil Pepita. Ketika Pepita menghadap Raja, ia pun dimintai keterangan.
            “Yang Mulia, saya hanya seorang penjual sapu. Tempo hari saya mendapat sebuah sapu ajaib dari seorang penyihir bernama Azora karena saya menemukan tongkat sihirnya yang hilang. Setiap helai ijuknya saya ambil dan saya gabung dengan ijuk biasa untuk dijadikan sapu. Bukan kah itu cukup membantu? Lihatlah, sekarang banyak pekarangan rumah yang jadi bersih. Penduduk jadi rajin membersihkan pekarangan rumah mereka.”
            Semua yang hadir terdiam. Masing-masing dalam hati merasa beruntung memiliki sapu buatan Pepita.
            “Apakah Yang Mulia menghukum saya karena itu?”
            “Kamu anak siapa? Mana keluargamu?” tanya Raja lagi.
            Pepita menceritakan siapa dia sebenarnya. Raja pun tersentuh. Ternyata ada anak kecil yang harus bekerja untuk menghidupi diri sendiri. Sebagai seorang Raja, mengapa selama ini ia tidak tahu?
            “Aku punya seorang anak yang sebaya denganmu. Namanya Putri Anabela. Mau kah

kau menjadi teman bermainnya di istana?” ujar Raja Demos memegang pundak Pepita. Pepita mengangguk. Mulai saat itu ia tinggal di istana menemani Putri Anabela. Apa yang dikatakan penyihir itu ternyata menjadi kenyataan. Pepita pun hidup bahagia.

Note: Naskah saya di Bobo edisi 47/th.39/2012

0 komentar:

Posting Komentar