Rabu, 17 Februari 2016

Sepotong Sinetron di Pelataran Masjid


Kisah ini terjadi ketika saya shalat Jumat beberapa waktu lalu. Ketika masuk masjid usai berwudhu, tampak ada keranda yang diletakkan persis di shaf paling belakang. Keranda yang bertutup kain beludru hijau berhias tulisan arab berwarna kuning. Rupanya ada yang meninggal dan akan dishalatkan usai shalat Jumat. Karena shaf depan sudah penuh, saya melintas di sisi keranda dan mengambil tempat di barisan yang tak jauh dari situ. Jemaah lain yang datang belakangan juga nampak agak kagok ketika melintas dan semakin lama tak ada tempat lagi kecuali dekat keranda. Satu persatu terpaksa duduk di depan keranda.



Agenda shalat Jumat berlangsung seperti biasa. Khatib naik mimbar dan sedikit membahas pentingnya shalat jenazah di akhir ceramah. Tentu saja maksudnya untuk mengajak muslimin yang hadir untuk ikut serta menyelenggarakan shalat jenazah. Saya pun sudah berniat untuk ikut meski tidak tahu siapa yang meninggal. Berdasarkan pengamatan saya selama ini, apalagi di saat shalat Jum'at banyak yang pulang begitu saja, merasa kewajibannya sudah gugur karena ada orang lain yang melaksanakannya. Lagi pula, saya selalu terpikir betapa tidak sopan kalau tak ikut sedangkan saya ada di masjid. Bagaimana kalau terjadi pada saya nanti, bukankah semua orang akan mati? Sedih nggak sih kalau ada kerabat yang meninggal hanya dishalatkan segelintir orang? Mereka lebih mengutamakan urusan masing-masing ketimbang memberi penghormatan terakhir buat si mayat.

Usai shalat Jumat, terdengar ada komando untuk langsung mengangkat keranda yang ditujukan bagi keluarga si mayat. Saya lihat yang menginstruksikan itu bapak tua pengurus masjid. Beberapa orang dengan sigap mengusung keranda dan barisan jemaah langsung menyibak memberi jalan bagi pengusung menuju bagian depan. Tak ada sambutan sepatah dua patah kata dari pengurus masjid atau dari pihak keluarga tentang si mayat ataupun sekedar reminding tata cara shalat jenazah. Setelah diletakkan di barisan terdepan,  imam yang  tadi mengimami shalat jumat kembali jadi imam. Para makmum, termasuk saya, langsung merapatkan barisan untuk shalat 4 takbir. Imam langsung takbir. Saya yang hendak melafazkan niat jadi bingung. Ini mayat laki-laki atau perempuan? Ketika hendak bertanya ke orang di sebelah, mereka sudah langsung mengangkat tangan untuk takbir pertama. Bagaimana nanti melafazkan ayat di takbir ke-3 dan ke-4? Tentu akan berbeda untuk mayat laki dan perempuan (hu untuk laki-laki dan ha untuk perempuan). Karena tidak mau ketinggalan takbir, saya pun ikut mengangkat tangan untuk takbir pertama. Di takbir ke 3 dan ke 4, karena tidak tahu, saya hanya mengucapkan doa dalam bahasa Indonesia versi saya sendiri (semoga Allah mengampuni saya).

Empat takbir berlangsung dengan cepat dan usai salam kembali si bapak pengurus masjid  memberi instruksi untuk mengusung keranda langsung menuju ambulans di pelataran masjid. Katanya tak dibenarkan berdoa bagi si mayat di dalam masjid, kalau itu dilakukan, nanti saja saat dimakamkan. Sampai mayat dibawa ke dalam ambulans pun saya masih tidak tahu yang meninggal itu laki-laki atau perempuan. Kan malu juga menanyakan ke orang sekitar karena saya barusan ikut shalat jenazah? Ya, sudah lah.

Tampak beberapa ibu-ibu kemunginan kerabat yang meninggal, menangis terisak sembari menghapus air mata yang berlinang dengan ujung jilbabnya. Tepat  di depan saya, tiba-tiba muncul entah dari mana seorang pemuda berusia awal 20-an. Ia langsung menyandarkan kepalanya di bahu salah seorang perempuan setengah baya yang berkerudung krem. Dilihat dari penampilan, ia mungkin seorang preman. Ia menangis tersedu-sedu tanpa mengeluarkan suara dan berusaha mengusap air matanya yang berjatuhan.

Baru datang kamu sekarang. Kamu yang banyak dosa dan suka melawan. Sekarang dia sudah pergi, cepat kamu minta maaf sebelum dia dikuburkan," ucap si perempuan itu.

Lelaki itu tampak semakin tergugu. Raut bersalah tampak di setiap gurat wajahnya yang bertampang sangar. Ia berusaha keras untuk menahan tangis tapi tidak bisa. Ia kemudian menoleh ke ambulans dan langsung meloncat ke dalamnya. Didekapnya keranda itu dengan erat dengan air mata berlinang.
Adegan itu hanya sekejap, tapi membuat orang yang menyaksikan terkesima. Pintu ambulans tiba-tiba ditutup dan mulai meraung-raung. Pihak keluarga bergegas menaiki bis kota yang terparkir dan mengikuti ambulans dari belakang.

Ekspresi si pemuda itu masih membekas di ingatan saya. Belakangan saya tahu, dia itu anak orang yang meninggal. Ia baru datang setelah ibunya dishalatkan dan dimasukkan ke dalam ambulans.

Foto: gettyimages.com

0 komentar:

Posting Komentar