Senin, 15 Februari 2016

Pipit

gambar dari gettyimages.com

Pagi itu ketika putri kecilku hendak berangkat ke sekolah, ia menemukan seekor pipit tergeletak di halaman rumah. Tubuhnya lemah bulunya basah.
"Baba, boleh ia aku pelihara? Pintanya dengan rasa iba.
"Tidak Bisa," ucapku cuek saja.
"Kenapa?" lagi ia bertanya.
"Untuk apa kamu pelihara pipit, burung tak berguna, lagi pula nambah-nambah kerjaanmu saja." Aku santai saja. Ia berlari mencari kardus, bertemulah kotak di balik meja setrika. Ditaruhnya burung kecil itu ke dalam kotak.
"Sepertinya lagi sakit, kasihan kalau tak ada yang merawatnya." ia bergumam sendiri.
"Cepat cuci tanganmu, kalau tak ingin tertular sakitnya," perintahku padanya. Bersungut-sungut ia  pergi ke kran samping rumah. Bunyi klakson motor mamanya, mengagetkan dirinya. Pertanda ia cepat-cepat naik di boncengan supaya tak terlambat ke sekolah.
"Tolong jagain ya, Ba. Nanti  pulang sekolah akan aku urus." Ia pun berlalu dibawa mamanya.
"Enak saja..." omelku seperti ditujukan bukan pada siapa-siapa.
*
Tertegun sejenak aku menatap makhluk kecil itu. Meringkuk lemah di sudut kardus. Aku segera beranjak ke dalam rumah, hendak menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda. Tapi langkahku terhenti, seperti ada yang menahanku. Rupanya  rasa khawatir yang ada di kepala. Kalau kubiarkan saja, bisa jadi ia dimangsa kucing. Kalau tak kuberi makan, bisa jadi ia akan mati kelaparan. Lihatlah tubuhnya yang gemetaran, bisa jadi ia kedinginan. Entah mengapa aku melangkahkan kaki menuju dapur. Mengambil sejimpit beras untuk ia makan. Kutaruh di dekatnya, dan kardus itu kutaruh di ketinggian. Di atas pohon mangga yang lagi berbuah ala kadarnya.
Nah, di sana ia kan aman dari si kucing pemangsa. Aku bersiul-siul masuk ke dalam rumah. Duduk di depan komputer dengan manisnya. Maksud hati hendak melanjutkan kerja, tapi malah nyasar di Kompasiana.
*
Pukul setengah sepuluh aku ingat kewajibanku menjemput si putri pulang sekolah. Usai mandi koboi alias cuci muka ala kadarnya, sisir rambut sekenanya, dan pakai celana panjang yang digantung di balik pintu kamar, aku melangkah mengeluarkan motor. Tetiba tatapanku tertuju ke pohon mangga. Teringat si pipit di dalam kardus. Bagaimanakah keadaannya?
Ternyata ia sudah tak bernyawa. Tubuhnya kaku dengan posisi kedua kaki ke atas. Butir-butir beras yang kutaruh, masih berserakan dan mungkin saja tidak berkurang jumlahnya. Ia telah mati. Telah menyelesaikan semua urusannya dengan dunia. Saat itu aku flat saja. Daripada dikerubungi lalat atau menguarkan bau busuk nantinya, bangkai sekalian kardusnya kubuang jauh-jauh.
Saat pulang sekolah dan mendapati burung pipit itu tak ada lagi, putriku pun bertanya.
"Baba, kemana burung pipit tadi pagi?"
"Sudah mati dan baba buang."
"Yaah..." ia menghela napas kecewa.
*
Pukul tiga sore. Ketika rehat sejenak di depan rumah ditemani segelas kopi dan sebatang rokok, aku memandang ke halaman. Tampak sekawanan pipit mendarat di halaman. mencari remah-remah yang bisa untuk dimakan. bercicit-cicit dan sebagian sibuk mematuk-matuk tanah. Sebagian lagi membasuh bulu-bulu dengan debu tanah.  Sungguh lucu melihat tingkah mereka.
Tiba-tiba kuteringat pipit yang mati tadi pagi. Kematiannya yang bisu. Ia pergi tanpa ada yang tahu. Semua berlalu begitu saja, seperti tak ada yang berubah. Adakah di antara pipit-pipit yang sedang mendarat di halaman ada yang tahu? Adakah di antara meraka yang merasa sedih dan kehilangan? Adakah di antara mereka akan mengenang bila mereka pernah bersama?
Menyedihkan bila memang tak ada. Hidupnya pastilah tak bermakna. Lantas apa gunanya ia hidup? Pikiranku mulai terusik saat menghembuskan asap rokok ke udara. Asap tipis itu melayang-layang selanjutnya hilang. Muncul untuk hilang lenyap di telan ruang. Persis si pipit yang malang.
Aku tercenung. Kematian si pipit menyentak kesadaran. Tak ingin itu terjadi padaku. Kematian adalah kepastian yang akan menyapa semua makhluk yang bernyawa.  Bila hidup  seperti si pipit, tidakkah kita sia-sia sebagai manusia?

Aih, Pipit. engkau yang mati kenapa aku yang sedih?

0 komentar:

Posting Komentar