Rabu, 17 Februari 2016

Neng, Kambing!

Gettyimages.com

Seorang gadis kecil tengah menarik tali dua ekor kambing yang lumayan besar. Suara embikan kambing bersaing dengan deru mesin dan klakson mobil siang itu. Langit menghitam, mungkin sebentar lagi hujan. Ia harus cepat-cepat menyeret kambing itu untuk dikandangkan sebelum hujan turun. Baru saja pulang mengaji, Eneng diingatkan Emak mengambil kambing yang diikatkan di pohon petai cina di pinggir jalan tak jauh dari rumahnya. Bergegaslah ia, tak ingin kambingnya kehujanan nanti.

Dua ekor kambing itu adalah pemberian Uwaknya setahun lalu. Diberikan sebagai bekal Eneng masuk SMP. Hanya itu yang bisa Uwak bantu ketika emaknya Eneng, Winarsih, berkeluh kesah. Sebagai orangtua tunggal Winarsih tak mampu menanggung biaya pendidikan ketiga anak-anaknya. Penghasilannya sebagai pembuat kue basah yang dititipkan di warung-warung sekitar rumah hanya bisa menutupi biaya hidup sehari-hari. Suaminya entah berada di mana, sudah empat tahun tidak pulang-pulang semenjak pergi ke Batam mencari kerja. Tak ada kabar berita sama sekali. Mungkin sudah kawin pula ia di sana. Untunglah si Uwak memberi jalan keluar. Eneng diberi dua ekor anak kambing. Kalau ia bisa merawatnya, kambing itu akan tumbuh besar dan bisa dijual saat masuk SMP. Makanya Winarsih selalu wanti-wanti pada Eneng untuk memeliharanya baik-baik. Itu adalah aset berharga,yang dulunya kecil sekarang sudah besar, harganya pun tentu mahal pula.

Tiap Hari Eneng menjaga dan merawatnya. Bahkan ia memberi nama kedua kambing tersebut. Ronaldo dan Mesi. Eneng tak peduli omelan Japri, karena memberi nama seperti nama pemain bola kesayangan si Abang. Apa urusannya sama bola? Toh, di mata Eneng, si Ronaldo dan Mesi juga amat berharga. Japri pun meledeknya dengan tambahan embel-embel kambing di belakang nama Eneng. Embel-embel itu muncul karena Emak sering kali berteriak di kala pagi dan sore.
“Neeeeng!”
“Iya, Mak!”
“Kambing!”
Itu maksudnya, Eneng harus mengeluarkan kedua kambingnya dari kandang di belakang rumah pada pagi dan memasukkannya ke kandang di kala petang. Karena kebiasaan Emak itulah Eneng dijuluki Eneng Kambing.

Bagi Eneng memang susah-susah gampang mengurus kedua kambingnya. Ia bisa saja melepaskan si Ronaldo dan Mesi mencari makan sendiri. Tapi itu beresiko. Ia pernah dilabrak Haji Poni karena kedua kambing itu merusak tanaman hiasnya. Pernah juga Bu Sarti tetangga sebelah marah-marah karena si Ronaldo dan Mesi buang hajat di halaman rumahnya. Entah bagaimana caranya kedua kambing itu bisa masuk pekarangan Bu Sarti yang memang judes mulutnya. Makanya si Ronaldo dan Mesi lebih sering diikat dengan tali yang cukup panjang di dekat pohon petai cina atau di belakang rumah  tak jauh dari kandang.
***
Kedua kambing itu terus saja mengembik seperti protes kenapa harus cepat dikandangkan. Keduanya mencoba melepaskan diri dan sedikit meloncat-loncat hingga Eneng berusaha mempererat pegangan tali supaya tidak lepas. Akibatnya, tubuh kurusnya terdorong-dorong karena hentakan tali. Si Ronaldo yang berbadan lebih besar dan punya tenaga lebih kuat mencoba kabur, tapi tali yang melilit lehernya menghalangi gerakannya. Kambing itu mengembik kuat. Eneng sedikit kewalahan. Ia pun mengambil ranting kayu dan memukulkannya pada si Ronaldo.
“Bandel kamu ya? Masih belum puas makan seharian? Ayo cepat masuk ke kandang. Sebentar lagi hujan, Ayo cepat!” ujar Eneng pada kambingnya. Alhasil, si Ronaldo akhirnya menurut walaupun masih mengembik kencang.

Tetes hujan pertama pun jatuh di wajah Eneng. Ia semakin kuat menghela tali di tangannya. Kedua kambing itu terseret dan mencoba berlari. Dalam sekejap tetesan hujan semakin banyak turun, seakan berpacu jatuh ke bumi. Eneng mempercepat langkahnya, tak ingin kedua kambing itu basah karena hujan.

Akhirnya ia berhasil memasukkan kambing itu ke kandang tatkala hujan turun dengan derasnya. Ia merasa lega. Walaupun ia sendiri basah, yang penting kambingnya selamat dari siraman hujan. Bagaimanapun juga, kambing tetaplah kambing yang tak bisa terkena air. Kalau nanti sakit perut dan parah, Eneng juga yang akan rugi. Bisa sia-sia usahanya selama ini. Bisa-bisa tidak bisa melanjutkan sekolah ke SMP beberapa bulan lagi. Kedua kambing itu adalah masa depan Eneng.

Ujian akhir memang dalam hitungan minggu lagi. Setelah itu ia akan menjelma menjadi anak SMP. Tentu saja seragamnya juga akan berganti menjadi putih dan biru dongker. Untuk itu Eneng semakin giat belajar belakangan ini, tidak mau jauh dari buku-buku pelajaran. Eneng yakin ia akan bisa masuk SMP yang ia idamkan, dan juga tidak khawatir dengan biaya sekolahnya. Rasanya, harga dua ekor kambing itu cukup menutup biaya sekolahnya nanti di tambah beli anak kambing yang baru untuk dipelihara lagi.

Eneng ingat, beberapa waktu lalu kambingnya sudah ditawar orang. Tapi ia tidak mau melepasnya. Bukan apa-apa, ia hanya khawatir kalau kambing itu dijual lebih awal, uangnya malah terpakai untuk keperluan lain sama Emak.
***
Maghrib baru saja lewat. Eneng sudah menyelesaikan kewajiban shalatnya. Baru saja ia melipat mukena dan siap-siap belajar, tiba-tiba lampu mati. Gelap langsung menyelimuti rumah kecil berdinding papan tak bercat itu. Sementara di luar hujan masih saja turun, seperti tidak ada tanda-tanda akan berhenti. Memang tidak deras lagi, namun lebih dari sekadar gerimis. Sementara udara dingin karena hujan yang cukup lama terus menerobos setiap celah yang ada di rumah itu.
“Neeeeengg!” terdengar lagi si  Emak memanggil.
“Iya, Maaak!”
“Cepat kau hidupkan lampu teplok! Gelap ini semua.”
“Iya…iya…” Eneng segera menuruti perintah Emak. Bergegas ia ke ruang tengah mengambil lampu teplok yang hanya satu di rumah itu, kemudian mencari geretan di dalam keremangan suasana. Sementara Emaknya masih berjibaku di dapur menyiapkan adonan kue, terdengar mengomel-ngomel karena pekerjaannya terganggu gara-gara mati lampu. Si Japri, abangnya, entah kemana. Ah, dasar anak laki! Jam segini masih kelayapan. Sementara adiknya si Anin menemani Emak di dapur.
            “Kau tak usah belajar dulu, nanti bisa sakit matamu gelap begini,” ujar Emak tatkala Eneng meletakkan lampu minyak itu di tengah meja. Cahaya lampu meski tidak begitu terang, tapi masih bisa diandalkan untuk menerangi suasana dapur.
            “Besok ulangan Matematika. Lagipula ada dua batang lilin, kok.”
“Jangan dipakai sekaligus. Entar kalau listriknya lama baru nyala, gimana? Emak nggak ada uang beli lilin lagi.”
            “Terus gimana?
            “Tunggu listrik sampai nyala. Sekarang kau bantu Emak buat adonan ini jadi bulatan kecil-kecil seperti biasa. Mak mau masak sayur krecek dulu.”
Eneng hanya bisa menuruti perintah Emaknya. Perutnya juga sudah lapar dari tadi. Di keremangan lampu teplok masing-masing sibuk dengan urusannya.
            “O iya, Neng. Tadi Pak Haji Kardi yang tinggalnya dekat masjid, mau mengadakan acara Aqiqah cucu pertamanya. Gimana kalau kambing piaraanmu dijual ke dia saja. Emak juga sudah ngomong ke beliau. Dia mau beli kambingmu seharga sejuta tujuhratus limapuluh ribu. Dua ekor tiga setengah juta. Lebih dari lumayan itu, Neng, buat biaya sekolah kamu nanti. Lagipula tak usah repot-repot lagi kita mencari pembeli.”
            “Kapan acaranya, Mak?”
            “Seminggu lagi, di hari ke empat belas usia cucunya. Kita jual ke dia saja ya?”
Eneng tak langsung menjawab. Kalau ia menyetujuinya, berarti si Ronaldo dan si Mesi bakal disembelih seminggu lagi dan jadi santapan orang banyak. Sungguh tak tega memikirkan hal itu, soalnya kedua kambing itu sedari kecil sudah dipeliharanya. Ada keterikatan emosional antara ia dengan Ronaldo dan Mesi. Tapi, bukankah ia butuh uang untuk sekolahnya nanti?
            “Bagaimana, kamu setuju nggak?” tanya Emak menyadarkan Eneng.
            “Terserah Emak aja. Yang penting uangnya nanti nggak dipakai untuk keperluan yang lain.”
            “Kamu itu ngomongnya kayak orang nggak percayaan saja sama Emak!” si Emak rada sewot mendengar ucapan Eneng.
            Eneng hanya bisa cengengesan.
***
Emak baru saja bangun pagi itu. Fajar belum muncul karena azan subuh baru saja berkumandang. Saat mau mengambil air wudhu di sumur belakang rumah, emak menjerit kencang membangunkan seisi rumah.
            “Neeeeeennggg! Kambiiiinggg!!” ujar perempuan itu histeris.
            “Kambingmu! Kambiing kamu!”

Eneng terlonjak dari ranjangnya. Dengan rambut acak-acakan dan tanpa sempat menggeliat atau mengucek-ucek mata seperti kebiasaannya bangun pagi, ia langsung bergegas ke belakang rumah di mana ia mendengar teriakan Emak tidak seperti biasanya. Ada apa dengan kambingnya?

Di belakang rumah persis di depan kandang kambing, dilihatnya Emak menangis sesunggukan. Dilihatnya pintu kandang yang terbuka, gemboknya seperti dibuka paksa. Dan tidak ada Ronaldo dan Mesi di dalamnya. Yang ada hanyalah bau kambing menyergap hidungnya.

Dadanya tiba-tiba sesak. Seperti ada sesuatu yang dari dalam meremas jantungnya. Sama sekali ia tidak menduga apa yang telah terjadi.
            “Kambingmu, Neng, dicuri orang! Kambingmu hilang!” ujar Emak menyadarkannya.
Eneng tergugu di ambang pintu kandang. Lututnya terasa lemas dan goyah. Impiannya seperti tercerabut secara paksa. Maling telah sukses mencuri masa depannya tadi malam.

         Ya, tadi malam ketika hujan turun dengan lebatnya, seisi rumah terbuai dalam tidur yang teramat nyenyak. Cuaca dingin membuat mereka merapatkan selimut sehingga tak ada yang menyadari ada yang menyelinap masuk ke kandang kambing dan mencuri si Ronaldo dan Mesi. Apalagi lampu juga mati, sehingga menjadikan malam yang begitu sempurna untuk si Maling.

            Fajar pelan-pelan naik di ufuk timur. Pendar-pendar cahaya jingga menghiasi langit pagi. Sungguh Indah. Tapi Eneng merasa kehilangan teramat dalam. Gelap menghantuinya…

0 komentar:

Posting Komentar