Kamis, 18 Februari 2016

Cinta yang Tertinggal


Bandara Internasional Minangkabau, suatu siang.
            Satu jam menjelang boarding, Aswin berdiri di depan pintu masuk keberangkatan. Ia coba untuk tegar, menepis rasa sentimental yang ada.

            “Dulu Papa pergi, terus Mama menyusul, sekarang kau tinggalkan aku sendiri,” ujar Erwin, adiknya, dengan mata berkaca-kaca. 

            “Aku tidak kemana-mana. Bandung itu dekat. Tahun depan kau bisa menyusulku ke sana,”  ujar Aswin mencoba menghiburnya.

            Erwin tampak terpukul. Tapi Aswin, harus pergi karena mulai pekan mendatang ia resmi menjadi mahasiswa perguruan tinggi yang ia dambakan. Janjinya pada Mama tempo hari sudah ia bayar tunai. Tapi sayang wanita itu tak sempat merasakan kebahagiaan ketika namanya tercantum dalam lembaran pengumuman SNMPTN. Namun ia yakin di alam sana Mama pasti turut merasakan kebahagian yang ia rasakan.

            “Aku harus check-in. Kau jaga diri baik-baik.” Ia mulai mendorong trolley menuju pintu masuk khusus penumpang. Adiknya itu tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya diam mematung dengan raut sedih. Ingin rasanya Aswin berbalik, tapi suara lain di hatinya menyuruh terus melangkah. Ia mengangguk dan  memberikan senyum perpisahan, kemudian menghilang dari pandangan Erwin.

            Di ruang tunggu. Ia merasa berada di persimpangan jalan. Di satu sisi memberinya semangat baru. Institut yang dulunya bernama Technische Hogeschool yang diresmikan oleh Gubernur Jenderal Graf van Limburg tahun 1920 itu, adalah impiannya dari dulu.

            Pikirannya seakan sudah sampai di sana.

            Lamunannya buyar tatkala dari pengeras suara terdengar pengumuman bahwa penumpang pesawat dengan tujuan Jakarta dengan nomor penerbangan GA-235 diminta boarding di gate 2. Aswin bergabung dengan penumpang lain. Langkahnya teramat berat setelah menyerahkan boarding pass pada petugas. Tiba-tiba saja segala kenangan berhamburan dari pikirannya, seperti pecahan mozaik menghujam ke segala sisi. Setiap langkah yang ia ayunkan, melintas kenangan  yang membuatnya seperti terlempar ke belakang.


  25 Juli 2009 jam 2 dini hari...
            Kemarahan yang selama ini ia pendam, tak bisa ditahan lagi. Ketika gerendel pintu ruang depan ia buka, serta merta ia melayangkan pukulan ke wajah adiknya. Kontan saja Erwin terjengkang. Namun dengan sigap ia berdiri dan membalas. Mereka pun bergumul di beranda rumah. Mendengar suara ribut-ribut, Mama terbangun dan segera berlari ke sumber keributan. Melihat ke dua anaknya saling adu jotos, wanita paruh baya itu mencoba melerai tapi tenaganya seperti tak mampu menahan keduanya. Tak kehilangan akal wanita itu mengambil sapu dan memukulkannya ke pintu hingga bunyi debam pintu membuat mereka terperanjat.

            “Berhentiiii…! Kalian benar-benar sudah keterlaluan. Malam-malam buta berkelahi. Apa kalian tak malu sama tetangga?”  Tante Sastri mengacung-acungkan sapu ke arah mereka. Dalam keremangan cahaya, mereka menyadari kalau wanita itu  murka.

            “Ia yang mulai duluan!” ujar Erwin  mengatur napas yang memburu dan membetulkan letak bajunya.

            “Ia harus diberi pelajaran! Muak aku melihatnya. Setiap malam keluyuran,” sahut Aswin. Sudah kesekian kalinya ia terjaga dan membukakan pintu untuk Erwin. Tapi sebenarnya bukan ini yang membuat kesabarannya sampai di titik nadir. Erwin terlibat pengeroyokan anak kelas X. Pihak sekolah menyuruh Mama datang menyelesaikan masalah ini.

            “Kau jangan sok ngatur-ngatur aku. Kau pikir kau siapa?!”

            Aswin mengambil surat panggilan yang ditaruh Mama di ruang tengah dan kembali lagi seraya melemparkan surat itu tepat ke muka Erwin

            “Kau baca ini! Kelakuanmu seperti anak berandalan saja! Benar-benar bikin malu!”

            “Sudah! Sudah!” bentak Mama menengahi. Tapi suaranya terdengar begitu kering di keheningan malam.
            “Kalau aku terlibat, kau mau apa? Mau menghukumku? Kuberi tahu, kau bukan orangtuaku!  Tak perlu turut campur!”

            Darah Aswin seakan mendidih. Tapi rupanya Tante Sastri tahu. Erwin menatap sinis. Dengan santai ia  menuju kamarnya dan membanting pintu.

            “Jangan diteruskan lagi. Biar Mama nanti yang bicara.”

            “Ini tak bisa dibiarkan lagi, Ma! Kelakuannya sudah kelewat batas. Seseorang harus memberinya pelajaran.”

            “Tapi bukan dengan kekerasan. Adikmu bukan anak kecil lagi.”

            “Ma, menasehati dia sudah tak mempan lagi. Apa dia berubah? Tidaakk!”

            “Tentu saja karena ini semua adalah bentuk protesnya.”

            “Protes? Protes apa?”

            “Ia minta dibelikan sepeda motor,” ujar Mama  dengan nada datar.

            Aswin terkejut, sejenak ia termangu.

            “Jadi selama ini ia bikin masalah, sering bolos, keluyuran sampai larut malam, dan berkelahi hanya protes karena keinginannya untuk dibelikan motor tidak dipenuhi? Udah gila apa? Dikira gampang cari duit, apa-apa tinggal minta!”

            “Ya, sudah, biar nanti Mama bicara lagi dengannya. Sekarang kamu pergi tidur. Sudah jam 2 dini hari,” ujar Mama mengingatkan.

            “Mama jangan turuti kemauan dia! Bisa-bisa nanti ia semakin besar kepala!” ujar Aswin. Mama hanya menghela napas, mengunci kembali pintu depan.

            Namun seminggu kemudian, apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Sebuah sepeda motorsport baru bertengger di depan rumah. Pemiliknya tampak sumringah mematut motor kesayangan. Aswin terpercik api cemburu. Ia tahu bagaimana cara membuat Mama menyesal telah menuruti kemauan Erwin.

Malam itu, saat Mama dan Erwin sedang berada di meja makan, Aswin menyerahkan sebuah bungkusan dalam kantong kresek pada Mamanya.

            “Ma, ini disimpan dulu, buat jaga-jaga.”

            “Apa ini?” tanya Mama heran seraya membuka isi kantong itu. Matanya terbelalak melihat buntalan gulungan kain berwarna putih.

            “Mama udah belikan si Erwin motor kan? Apa Mama bisa jamin kalau ia tidak akan ngebut-ngebutan sama teman gengnya? Sekiranya nanti ia kecelakaan, terus sampai merenggut nyawanya, Mama tak perlu repot-repot membeli kain kafan buat dia!”

Erwin tergeragap. Nyala kebencian  tampak memancar dari sorot matanya.

            “Saudara macam apa kau! Bilang saja kalau kau keki, minta dibelikan motor juga. Tapi bukan begini caranya!” 

            “Kau salah! Tak ada niatku supaya kau celaka! Itu bentuk kepedulianku biar nanti kau lebih hati-hati dan nggak ugal-ugalan!” ujar Aswin membela diri. Dilihatnya Mama terpaku. Matanya mulai berkaca-kaca. Sejurus kemudian ia berdiri dan berlari ke kamarnya dengan air mata yang tertahan.

            Dan sejak itu di antara mereka terjadi perang dingin. Berhari-hari. Antara Aswin dan Erwin dan antara Aswin dan Mama.

Sabtu dini hari 22 Agustus 2009, awal pertama Ramadhan...
            Ritual sahur pertama terasa begitu kaku. Tak ada percakapan yang mewarnai acara makan. Mama pun seperti kehilangan topik pembicaraan supaya kedua anak lelakinya saling berinteraksi. Erwin makan terburu-buru, untuk mempersingkat kontak antara mereka. Aswin tah itu. Tapi ia berusaha mencari celah untuk bertegur sapa dengan adiknya.

            “Erwin, tolong ambilkan rendang, dong,” ujarnya  memecahkan keheningan  untuk mengajak adiknya berkomunikasi. Ia seperti tak mendengar. Sibuk menyantap nasi di piringnya. 
       
            “Kau tak bisa ambil sendiri?!” jawabnya ketus. Mendengar jawaban itu,  Mama berusaha bangkit dan menjangkaunya.

            “Sudah! Biar Mama ambilkan,” Beliau tak ingin ritual makan sahur ini dirusak oleh hal-hal sepele.

            “Enak saja nyuruh!”

            “Aku cuma minta tolong, bukan menyuruh kamu.”

            “Tapi aku nggak sudi!” Mendengar ucapan dengan raut yang memusuhi secara frontal, Aswin terpancing. Entah mengapa tangannya memegang gelas dan menyemburkan isinya ke muka Erwin. Refleks. Tentu saja Erwin kelabakan dan tak terima perlakuan seperti itu, dan ia pun menyerang Aswin. Kejadiannya sungguh mendadak karena keduanya seperti lepas kontrol. Ajang makan sahur berubah jadi perang di meja makan. Mama tak kuasa melerai dan mengatasi. Wanita itu berteriak-teriak menyuruh mereka berhenti. Tangis perempuan itu seperti tak kuasa menghentikan mereka. Ia pun berlari ke kamar.

            Suasana Ramadhan itu telah dirusak oleh mereka berdua. Dan saat lebaran tiba, tak seorang pun di antara mereka yang mengalah, mengucap kata maaf. Ego masing-masing telah memenjarakan mereka. Ternyata itu adalah Ramadhan dan lebaran terakhir mereka bersama Mama.

Rabu, 30 September 2009 jam 17: 10
            Sore yang cerah. Liburan lebaran sudah seminggu berlalu. Erwin baru saja keluar dari rumah temannya. Baru lima menit saat ia  menggelinding di atas motor kesayangannya tiba-tiba ia melihat orang-orang berhamburan keluar rumah. Belum sempat berpikir, tiba-tiba motornya oleng. Suara gemuruh membahana. Jalanan berguncang hebat. Tiang-tiang listrik meliuk-liuk, dan papan-papan reklame di sepanjang jalan melambai-lambai kencang, disusul pekikan histeris orang-orang. Dengan cepat ia mengerem motor, menepi, dan  mengangkangkan kaki menahan agar tak terjatuh. Beberapa motor yang melaju kencang tergelincir di hadapannya, menghantam pembatas jalan. Bumi terus bergoncang. Detik-detik yang mengerikan  terasa begitu lama. Dadanya berdegup kencang. Apakah kiamat telah datang?

            Saat tanah berhenti bergetar, Erwin mulai memacu motornya. Kekacauan dan kepanikan yang ditinggalkan gempa menjadi lebih parah dengan munculnya gelombang ketakutan orang-orang akan bencana lebih besar. Kemungkinan adanya tsunami. Seperti tanpa dikomando, segenap manusia dari arah pusat kota mulai mengalir menghadang jalannya. Semakin lama semakin tak terhingga. Jalanan dipenuhi lautan manusia yang terburu-buru menyelamatkan diri ke arah timur yang lebih tinggi. Erwin justru menghadang arus massa. Tak terpikirkan olehnya bila gelombang laut itu akan tiba. Dipikirannya hanya ada Mama dan Aswin! Apa mereka selamat?

             Di arah pusat kota debu-debu mulai mengepung langit, asap kebakaran mulai terlihat di sana sini. Dalam sekejap, suasana sore yang indah berubah menjadi kekacauan dan kepanikan massal. Di sepanjang jalan yang ia lewati terlihat beberapa bangunan yang runtuh membentuk gundukan bebatuan. 

            Gelap mulai turun saat ia sampai di rumah. Tapi ia tak menemukan Aswin dan Mama. Yang ia temukan hanyalah kehancuran. Pagar beton rumahnya ambruk.  Dinding depan jebol, dan kaca nako pecah berantakan. Pipa saluran air ledeng pecah membanjiri halaman rumah. Ia terhenyak. Tergugu menatap rumah yang rusak. Air matanya berjatuhan di pipi. HP di tangannya sama sekali tak berfungsi.

            Semakin lama semakin gelap. Tak ada penerangan. Lampu jalan mati. Keheningan dan kesunyian semakin mencekam. Kemana semua orang? Tiba-tiba ia merasa sendiri di bumi ini. Takut dan kalut menghantuinya.

            Satu jam berlalu. Dari kejauhan, jalan kecil menuju rumahnya, ia melihat dalam samar seseorang tengah berlari mendekat. Semakin lama semakin jelas. Ternyata Aswin.

            Disongsongnya Aswin dengan perasaan lega, dipeluknya sang kakak erat-erat. Ada rasa hangat menjalar di seluruh tubuhnya.

            “Syukurlah kau selamat. Aku sangat khawatir. Aku takut terjadi apa-apa denganmu,” kata-katanya meluncur dengan bibir gemetar. Itu kata-kata pertamanya setelah tak saling bertegur sapa lebih dari dua bulan.  Aswin pun membalas pelukan adiknya lebih erat. 

              “Mama! Mana Mama?” tanya Erwin. Aswin melepaskan dekapannya dan menatap Erwin lekat-lekat. Ia berusaha mengendalikan diri.

            “Apa pun yang bakal terjadi, kau harus janji padaku. Kau harus tabah, karena...” Aswin tak sanggup berkata.

            “Apa yang terjadi? Di mana Mama?”

            “Hotel tempat Mama ikut acara kantor ambruk dan banyak orang yang terjebak di sana. Mama termasuk salah satunya,” ujar Aswin dengan tenang.  “Aku baru saja dari sana. Tapi belum ada penjelasan dan kabar berita. Tim SAR sudah datang dan sedang berusaha mencari korban yang tertimbun reruntuhan. Om Saiful masih di sana mencari kabar berita tentang Mama.”

            Erwin terhenyak. Lidahnya kelu. Seluruh persendiannya terasa lumpuh. Ia pun sesunggukan di pelukan Aswin.
***
            Dua hari kemudian, cobaan yang mereka hadapi semakin sempurna. Tante Sastri termasuk salah satu korban yang ditemukan dalam keadaan tak bernyawa di reruntuhan bangunan oleh Tim SAR.

            Erwin masih sesunggukan di depan gundukan tanah itu. Sesekali mengusap air mata yang  jatuh di pipi.

            “Aku kerap menyusahkan Mama. Sekarang Mama pergi. Aku tak punya siapa-siapa lagi selain Aswin. Aku janji akan menyayangi dia dan tak akan pernah bertengkar lagi. Aku janji...” ia berkata dengan penuh perasaan. Aswin tiba-tiba merangkul adiknya. Ia kehilangan kata-kata untuk diucapkan. Penyesalan akan sikapnya selama ini jelas terbaca di setiap gurat wajahnya. Ia coba untuk bersuara walau dengan terbata-bata,

            “Sekarang Mama istirahatlah. Aku juga janji akan menjaga Erwin...” ucapannya terhenti. Seperti ada sesuatu yang menghadang di tenggorokannya. Ia menarik napas lebih dalam, dan menghembuskannya perlahan-lahan. Bibirnya terlihat gemetar.

            “Bencana ini boleh saja mengambil apa yang kupunya. Merampas Mama dariku, menghancurkan rumahku, dan menghancurkan sekolahku. Tapi aku tak akan menyerah...”

Tiga minggu menjelang Ujian SNMPTN 2010
            Aswin masuk rumah sakit dan diopname beberapa hari. Ia terserang tifus. Dokter menyuruhnya istirahat total karena kondisi fisiknya yang terus melemah dan demam tinggi yang tak kunjung turun. Selama berada di rumah sakit, Erwin tak beranjak dari samping Aswin. Menyiapkan semua keperluannya.

            “Yang kau butuhkan saat ini cuma istirahat, Aswin. Makan yang banyak biar kondisimu kuat. Kau mau apa? Bubur ayam atau apa? Atau nih, makan buah yang dibawa Tante Marni. Jangan belajar terus. Pusing aku melihatmu.”

            Aswin menyibakkan halaman buku fisika yang tengah dibacanya seraya berkata,

            “Aku belum lapar, dan buku ini belum selesai aku baca.”

            “Tapi apa kau tak bisa berhenti belajar dulu, lama-lama otakmu panas, sakitmu makin parah. Bisa-bisa nanti kau tak bisa ikut ujian.”

            “Tidak bisa Erwin. Aku perlu persiapan matang. Aku tak mau gagal hanya karena penyakit sepele ini.”

            “Jangan menganggap remeh. Kalau sepele kau tak akan dirawat di sini. Lagi pula, kau tahu, kau jadi sakit gara-gara kau kelewat memforsir tenagamu. Belajar saja yang kau pikirkan, sampai-sampai lupa makan dan istirahat.” Kemauan dan niat Aswin begitu kuat. Itu yang membuat Erwin cemas. Jauh dalam lubuk hatinya ia justru takut kehilangan. Ketakutan yang ia rasakan menyerupai kejadian yang menewaskan Mama.  Saat itu ia mendapati Aswin terkapar di kamar dengan suhu badan tinggi dan mengigau seperti tak sadar. Ternyata sudah hampir seminggu ia terkena demam, tapi tak ia hiraukan.

            “Aswin, apa kau tak ngantuk? Ini sudah hampir jam satu. Kau tak tidur, dan belum makan.”

            “Jam berapa?” tanya Aswin kaget menepiskan buku di tangannya.

            “Hampir jam satu,” balas Erwin.

            “Astaga, aku pikir masih jam sembilan. Baiklah kalau begitu, aku makan. Mana bubur ayamnya?”

            Erwin menyerahkan mangkok styrofoam yang berisi bubur ayam yang ia beli tadi. Memang sudah dingin, dan baru dimakan dua jam kemudian.
***
            Aswin tersadar, ternyata ia penumpang terakhir yang masuk ke dalam pesawat. Tampak seorang pramugari  menatap tajam padanya. Sorot mata perempuan cantik itu mengatakan kalau ia harus bergegas masuk ke dalam pesawat. Aswin pun mempercepat langkahnya. Mencoba membalas tatapan itu dengan senyum manisnya. Kemudian ia berjalan di lorong, menuju kursi di deretan  17 D. Menaruh tasnya di kabin di atas kepalanya. Sebelum duduk dan mematikan HP-nya, alat komunikasi itu bergetar. Sebuah pesan singkat dari adiknya muncul di layar.

            “Slmt jln! Hr ni aku bhagia mlepasmu tuk m’ggapai cita2 yang kau impikan. Genggam erat impianmu, jgn smpi lepas. Kau tdk sj m’buat alm. Ma2 & Pa2 bangga. Aku jg bangga jd sdrmu. Farewell, bro!”

            Lima belas menit kemudian, di atas ketinggian di antara awan-awan putih yang menggantung di angkasa, air mata yang sedari tadi ia tahan, tak mampu lagi ia bendung. Menetes perlahan di pipinya. Walau begitu berat berpisah dengan adiknya, setidak-tidaknya ia telah menorehkan kenangan manis setahun belakangan ini. Suka dan duka sudah mereka alami, persaudaraan mereka telah melewati masa-masa teramat berat dalam hidup. Walau harus berpisah, ia telah meninggalkan cinta untuk adiknya.  Dan satu hal penting, ia sudah menepati janji. Terkenang lagi ucapannya setahun lalu di pusara Mama,

            “Bencana ini boleh saja mengambil apa yang kupunya. Merampas Mama dariku, menghancurkan rumahku, dan menghancurkan sekolahku. Tapi tak akan bisa merenggut cinta yang aku punya untuk Mama dan Aswin. Hari ini aku berjanji, akan  memberikan yang terbaik. Aku tak akan menyerah...”

            Dan ia pun terbang semakin tinggi.

Mengenang peristiwa 30 september 09

Note:  
Cerpen ini dimuat di Majalah Story ed. 36. Sepanjang menulis cerpen inilah karya yang paling aku suka. Entah mengapa tak pernah bosan membacanya.  


0 komentar:

Posting Komentar