Selasa, 01 Maret 2016

Hypochondria



Di ruang gawat darurat itu, seorang lelaki muda berbadan tegap terbaring lemah. Bola matanya menatap langit-langit, tapi jelas pikirannya tak di sana. Sesekali ia mengerang, merasa sakit nan hebat di tengkuk. Sejak masuk UGD sejam lalu, mulutnya tak berhenti komat-kamit. Mungkin saja melafaskan doa-doa yang ia ingat agar deritanya segera pergi. Wajahnya lebih menyerupai orang ketakutan.

Tapi sakit yang ia rasakan bukan mereda, malah semakin kuat menusuk-nusuk. Seakan ada ribuan jarum menghujam lehernya. Sakitnya sampai ke kepala. Dipanggilnya perawat jaga untuk kesekian kali.

“Pak Danu istirahat saja. Semua akan baik-baik saja. Percayalah!” ujar si perawat. Ia sungguh heran. Dalam pemeriksaan tadi, ia tak menemukan masalah apa pun. Tekanan darah dan denyut jantungnya normal. Begitu juga suhu tubuh, gerak reflek, mata, lidah, semua sehat. Tapi pria itu terus merasa kesakitan dan ketakutan. Ia merasa dunianya akan segera berakhir. Sepertinya ia melihat malaikat maut sudah menari-nari di pelupuk matanya
.
“Suster, dokternya, mana? Saya tak kuat lagi. Sepertinya saya akan mati.”

“Jangan begitu. Hidup dan mati bukan urusan manusia. Tuhan yang menentukan. Sebentar lagi dokter akan datang.”

“Dari tadi sebentar lagi! Cepatlah, Suster! Saya takut.”

“Tak perlu takut! Bapak kan sudah di rumah sakit sekarang!”

“Tapi mengapa tak segera diobati? Kasih obat atau apa supaya sakit di leher saya reda.”

“Nanti dokter yang menentukan tindakan apa yang harus diambil.”

Laki-laki itu terus mengerang. Segala perasaan berkecamuk di dadanya. Dalam kesakitan ia merasa tak dipedulikan. Suster muda yang sepertinya baru lulus itu meninggalkannya sendirian di ruang gawat darurat.

♦♦♦
“Sebelum ini, apa ia pernah punya penyakit lain?” dokter bertanya.

“Tidak pernah. Sebelum kejadian itu, ia sehat-sehat saja, bahkan kemarin pagi masih sempat main bola dengan pemuda di komplek perumahan,” ujar perempuan bernama Lani itu.

“Kejadian apa?”

Lani terdiam. Dengan malu-malu ia menjawab.

“Makan sate kambing. Dua puluh tusuk dihabiskan sendiri. Ia seperti kesetanan.”

“Cuma itu?”

“Belum termasuk semangkuk sup iga sapi, dan empat potong besar Blackforest. Sebelumnya juga menyantap satu loyang pizza ukuran medium.”

Dokter mangut-mangut. Membaca lebih teliti lagi hasil diagnosa.

“Apakah parah, Dok? Tidak perlu rawat inap kan?”

Dokter hanya tersenyum, kemudian menggeleng. Perempuan itu menarik napas lega. Gurat khawatir lenyap dari wajahnya. Sebenarnya ia lebih khawatir uangnya, dari pada kondisi suami. Ketika diajak pulang, pria itu tidak mau, ngotot di rumah sakit. Minta dicek darah segala. Lani mengancam tidak akan menanggung biayanya kalau ia bersikeras tinggal di rumah sakit. Sembari terus memegangi leher, ia akhirnya pulang. Dokter hanya memberinya selembar resep.

Beberapa hari ia hanya minum air putih saja. Nafsu makannya menghilang. Badannya mulai melemah. Yang muncul malah ketakutan melihat makanan. Lani walau terus merepet tapi masih mau melayani. Ia membuatkan bubur agar suaminya mau makan. Tapi Danu tetap menolak.

 “Bubur itu tidak akan membuatmu terserang stroke atau penyakit jantung. Cuma dari beras dan sedikit santan dan garam.”

“Santan itu kolesterol, garam itu bisa menyebabkan hipertensi. Aku tidak mau.” 

“Aku heran. Semenjak kapan kau begitu peduli dengan kolesterol? Bukankah selama ini kamu makan apa saja yang kamu mau?”

“Karena itu aku jadi sakit. Aku harus lebih berhati-hati!”

“Tapi tidak berarti kamu berhenti makan sama sekali. Ayolah, walau sedikit biar ada tenaga.”

 “Aku tidak mau!”

“Lantas maumu apa?” Danu tak menjawab. Perempuan itu semakn bingung dan jengkel.

“Kalau tak mau, nanti sakitmu tambah parah. Air saja tak akan bisa menyangga hidup. Kamu harus makan. Aku belikan buah ya? Kamu mau apa? Pisang, jeruk, atau apa?”

“Yang tidak ada kolesterolnya.”

“Buah-buahan tak ada yang mengandung kolesterol, kecuali durian. Baiklah aku belikan pisang saja.”
“Anggur kalau begitu.”

♦♦♦
Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan. Penyakitnya tak kunjung sembuh. Tak puas dengan dokter yang satu, ia pindah ke dokter yang lain, mulai yang umum sampai spesialis. Tapi tak satu pun yang bisa menentukan dengan pasti, ia sakit apa. Berat badannya turun drastis. Jangankan makan, melihatnya saja ia sudah ketakutan. Membuat pusing dan sakit belakang leher semakin menjadi. Lani semakin bingung dan frustasi. Ia tak habis mengerti apa yang telah terjadi pada suaminya. Mengapa ia bisa menjadi hypochondria? Merasa ketakutan yang tak beralasan akan kesehatannya? Padahal Danu adalah laki-laki sehat. Sepuluh tahun pernikahan mereka bisa dihitung jari ia terserang sakit, itu pun penyakit ringan seperti demam, batuk, atau influenza. Badannya yang tegap atletis itu selalu terjaga. Tiap minggu tak pernah absen berolah raga. Jogging atau sekedar main sepak bola dengan warga komplek sering ia lakukan. Tapi mengapa hanya dengan makan sate kambing tempo hari langsung tepar? Mengapa sekarang jadi ketakutan melihat makanan, padahal sebelumnya ia doyan makan?

♦♦♦
“Sebenarnya kamu sakit apa sih?” Kalimat itu terlontar saja ketika suaminya mulai mengeluhkan penglihatannya yang mulai mengabur dan merasa otot matanya mengeras. Ia takut mengalami kebutaan.

Danu tak menjawab. Bersandar di sofa dan wajahnya mengerut. Walau cuma berjarak satu meter lebih, ia menatap Lani dengan tatapan tak fokus. Matanya menyipit.

“Kau tak merasa apa yang aku derita. Kau pikir aku mau begini?”

“Tapi bukankah dokter bilang sebenarnya kamu tidak apa-apa? Tak ada yang salah dalam dirimu. Sebenarnya kamu sehat-sehat saja.”

“Sehat? Tak kau lihat aku jadi kurus dan lemah begini?”

“Itu karena kamu tidak makan-makan. Kamu hanya dilanda ketakutan yang tak beralasan. Takut inilah, takut itulah! Kamu sendiri yang cari-cari penyakit. Sudah berapa banyak biaya yang telah dikeluarkan? Tapi sakitmu malah bertambah.”

“Jadi uang bagimu lebih penting?”

“Ya, bukan begitu! Setidak-tidaknya kamu menunjukan semangat untuk sembuh. Lagi pula kamu juga harus mengerti. Pekerjaanku akhir-akhir ini sudah bikin capek, belum lagi mengurusmu.”

 Danu terdiam. Hening menyelimuti. Menyesal juga Lani telah mengutarakan isi hatinya. Pria itu tersinggung. Tanpa bicara lagi ia bangkit dan tertatih-tatih menuju kamar. Ketika Lani berusaha membantu, dengan cepat Danu menepiskan tangannya.

“Tak usah! Urus dirimu sendiri saja!”

 ♦♦♦
Laki-laki tua berpakaian hitam dan berjenggot lebat itu komat-kamit. Sejenak ia membisikkan sesuatu ke telinganya. Tiba-tiba saja ia membelalakan mata. Wajahnya menegang.

“Siapa yang melakukannya?”

Laki-laki tua itu pun kembali membisikkan sesuatu, dan kali ini membuat ia tak bisa bernapas. Ingin ia tak mempercayai, tapi laki-laki tua itu begitu jelas menyebut ciri-ciri si pelaku. Segenap hatinya luruh. Mengapa ia begitu tega melakukan semua ini?

Laki-laki tua itu mengelus jenggotnya yang lebat. Tiga cincin berbatu akik besar menghiasi jemarinya yang keriput. Dengan penuh takzim ia menyimak setiap penjelasan namun dadanya turun naik seperti menyimpan amarah.

“Lihatlah ke belakang, apakah kamu tidak pernah menyadari awan hitam selalu menutupi hidupmu? Betapa sering kau dilanda nasib sial berkepanjangan? Ada pihak ke tiga yang ingin mengacaukan hidupmu. Ia tidak saja membuatmu susah, tapi juga ingin menyingkirkanmu. Ah, tentu kau tak bisa melihatnya. Asal kau tahu penyakitmu ini adalah akibat guna-guna,” ujarnya meyakinkan.

Danu semakin terhenyak. Kalimat terakhir itu seakan menyadarkannya untuk mengetahui hal yang tak pernah terpikirkan selama ini. Pantas penyakitnya tak kunjung terobati. Pantas selama ini ia dibelenggu oleh kesialan-kesialan yang tak berujung. Betapa bodohnya ia tak menyadari semua ini. Betapa bodohnya ia telah tertipu dan dipermainkan!

♦♦♦
Malam itu Lani baru saja pulang meeting dari kantor. Berhubung ada launching produk baru, maka rapat marketing memakan waktu lama. Sedari tadi ia ingin cepat pulang karena kondisi suami yang sedang sakit. Tapi karena rapat yang mendesak, ia hanya memberi tahu lewat pesan pendek. Namun baru saja ia berada di pintu masuk rumahnya, Danu sudah berdiri di ambang pintu sembari mengacung-acungkan belati yang mengkilat terhunus.

“Dasar sundal! Perempuan berhati iblis! Tega-teganya kau mengkhianati! Kau pikir aku tak tahu apa yang telah kau perbuat. Kau main serong! Kau mengguna-gunaiku! Dasar perempuan laknat! Kau pantas mati di tanganku!” ujar Danu mengacungkan belatinya.

Lani terperanjat. Ketakutan meyergapnya tiba-tiba melihat sang suami seperti kesetanan. Secara insting ia mengelak dan berusaha menyelamatkan diri tanpa sempat terpikir kenapa suaminya menyerang tiba-tiba. Danu terus mengejarnya.

Warga komplek itu pun heboh karena teriakan seorang wanita minta tolong yang memecah kesunyian malam.

♦♦♦
Perempuan malang itu menangis pilu. Ketakutan masih menyelimuti pikirannya. Kalaulah tak dibantu oleh beberapa tetangga, pasti nyawanya sudah melayang!

Sepuluh tahun menikah, ia sudah hafal sifat sang suami. Ia adalah laki-kali penyabar. Apa pun masalah yang terjadi ia selalu bisa menghadapinya. Lani tahu, keberuntungan memang tak akrab dengannya. Sering jatuh bangun. Setiap pekerjaan yang ia geluti, selalu berakhir dengan PHK.

Beberapa waktu lalu uang hasil pesangon yang diterima dari perusahaan terakhir tempatnya bekerja lenyap tertipu bisnis el-em-em. Ia masih terlihat tabah. Sekarang, walau cuma jadi supir taksi tembak ia pun tak malu. Begitu banyak cobaan yang ia alami. Kalau tak dikaruniai keturunan pun termasuk sebagai cobaan hidup, ia masih bisa menerima keadaan itu.

Tapi atas kejadian yang baru saja ia alami, ia sama sekali tak menduga. Apa yang telah terjadi? Apa ia telah gila? Air matanya tak bisa dibendung lagi. Walau selamat dari amukan, hatinya hancur(*) 


Note:

Cerpen ini pernah dimuat di harian Padang Ekspres Okt 2010. Foto: gettyimages.com

0 komentar:

Posting Komentar