Senin, 07 Maret 2016

Itik Bertelur Pinang


Mak Gombong kaget saat ia mau mengumpulkan telur itik peliharaannya. Yang ia dapati bukan telur, tapi belasan buah pinang yang berwarna oranye bertebaran di dalam kandang. Sejenak ia tertegun. Sejak kapan itik bertelur pinang? Tak mungkin ini terjadi, pikirnya. Seseorang pasti telah sengaja mencuri telur dan dan menggantinya dengan buah pinang. Alangkah geramnya nenek tua itu. Orang itu tidak hanya mencuri tapi juga sengaja mengerjainya. Kurang ajar! Mak Gombong marah besar. Segera ia menuju rumah pak kepala kampung. Ia akan mengadukan tindakan pencurian ini.

Mak Gombong memang terkenal galak, terutama bagi anak-anak. Beliau tidak segan memarahi siapa saja yang masuk ke pekarangannya yang luas, yang ditanam beraneka macam pohon. Ada cempedak, mangga, rambutan, jambu, sirsak, dan sawo. Pekarangan rumahnya yang berpagar bambu itu sudah seperti kebun saja. Di rumah yang cukup besar itu, ia tinggal sendiri. Walaupun sudah tua, tapi ia masih sehat dan kuat. Anak-anaknya sudah berkeluarga dan tinggal di kota. Tapi Mak Gombong tidak kerasan tinggal di kota. Hari-harinya diisi dengan berkebun dan memelihara ternak. Ada itik, ayam,  dan beberapa ekor kambing. Semua ia lakukan sendiri.

Berita pencurian itu dengan cepat menyebar di seantero kampung, tapi tak seorang pun bisa menduga siapa  pelakunya. Selama ini kampung mereka aman-aman saja, tak pernah ada pencurian. Tapi pencurian kali ini sungguh aneh. Mengapa hanya telur itik yang dicuri? Mengapa si pencuri mengganti telur-telur yang dicuri dengan buah pinang? Pekerjaan siapa ini? Pak kepala kampung tidak bisa mengusutnya. Selain tak tahu persis berapa jumlah telur yang dicuri, Mak Gombong menganggap ini tindakan menjahilinya.

            “Coba kalau si pencuri mengganti  telur itik itu dengan yang lain. Dengan emas misalnya, pasti ceritanya akan lain,” ujar seorang warga kampung di warung kopi saat Adin lewat di depan warung itu.

            “Jadinya, itik bertelur pinang, dong!” celutuk yang lain.

            “Seperti dongeng saja!”

            “Mak Gombong pasti tidak akan melaporkan pada pak kepala kampung.”

            “Ha...ha..ha...” warung kopi itu ramai dengan suara orang ketawa.

            Adin juga ikut tersenyum. Dengan langkah gegas ia segera berlalu. Hatinya puas sekarang. Terbayang betapa murkanya nenek tua yang galak itu menyadari itik-itik peliharaannya tidak menghasilkan telur, tapi buah pinang.

            Dua hari yang lalu ketika ia bersama kedua temannya, Heru dan Janu, baru saja pulang menonton pertandingan bola antar kampung. Saat lewat di depan rumah Mak Gombong, mereka melihat pohon mangga  yang sedang berbuah dan siap dipetik. Sungguh menggiurkan utuk dicicipi. Rumah Mak Gombong kelhatan sepi. Pintu dan jendela rumahnya tertutup rapat. Suasana sekitarnya juga tidak ada orang. Timbullah niat mereka untuk mengambilnya. Adin yang naik ke atas pohon, sedangkan kedua temannya menunggu di bawah. Tapi, selang beberapa saat, belum lagi mendapatkan buah mangga, mendadak Mak Gombong muncul. Mereka kaget. Janu dan Heru langsung melarikan diri. Adin tak bisa kemana-mana karena masih di atas pohon.

            “Mau lari kemana kau? Dasar pencuri! Ayo turun biar kupukul kau pakai sapu ini. Berani-beraninya kamu ambil manggaku tanpa ijin!”

            “Sa-sa-saya nggak mencuri, kok, Mak. Tadi mau minta tapi Mak nggak ada.”

            “Bohong! Mengambil tanpa sepengetahuan yang punya sama saja mencuri!” suara Mak Gombong terdengar lantang. Adin ketakutan melihat Mak Gombong mengacung-acungkan sapu. Dengan cepat ia turun. Tapi ia terpeleset sebelum menginjak tanah. Kaki kanannya lecet kena batang pohon. Tanpa mempedulikan rasa sakit ia segera kabur. Kesal sekali ia dengan nenek tua itu.

***
            Sore itu, Adin tidak jadi mengaji. Pak ustad berhalangan datang. Ia langsung pulang ke rumah  karena hari ini Emak bikin kolak pisang. Dengan langkah tergesa-gesa  ia tidak menghiraukan ajakan temannya untuk bermain dulu. Saat lewat di depan rumah Mak Gombong, Adin mempercepat langkahnya karena tak ingin bertemu dengannya. Rasa takut dan malu saling menghimpit di dadanya. Mak Gombong sedang berdiri di depan pagar lagi membakar sampah daun-daun. Adin pura-pura tidak melihatnya.

            “Hei, kamu! Sini!” nenek tua itu memanggilnya. Adin menoleh. Jantungnya bedebar-debar. Kenapa ia dipanggil? Apa Mak Gombong mau memarahinya lagi? Tau jangan-jangan ia tahu kalau-kalau...? Terbesit keinginannya untuk lari. Tapi niat itu ia urungkan.

            “Mak memanggil saya?” tanya Adin.

            “Kamu, kan, yang mencuri buah manggaku?” tanya Mak Gombong. Rupanya ia masih ingat peristiwa beberapa hari lalu itu.

            “Bagaimana, luka di kakimu sudah sembuh?” lanjutnya. Adin mengangguk pelan. Ia heran melihat Mak Gombong tidak lagi marah.

            “Tunggu sebentar, aku ada sesuatu untukmu.” Mak Gombong masuk ke rumahnya. Tak lama, ia keluar membawa satu kantong plastik berisi mangga.

            “Ini, ambillah. Kamu masih ingin buah mangga, kan?”

            “Ha? Nggak salah? Mak Gombong memberinya buah mangga? Adin tidak percaya. Nenek tua yang selama ini ia kenal galak itu tiba-tiba berubah baik. Tidak ada kesan galak  sama sekali di wajahnya.

            “Tapi, Mak! Sa...sa...saya tidak bisa menerimanya.”

            “Dikasih, kok, malah nolak? Jangan aneh. O, iya, kamu anaknya si Rohana yang tinggal di ujung  jalan sana, kan? Tunggu sebentar, aku mau nitip sesuatu sama ibumu.” Mak Gombong masuk lagi. Kali ini ia bawa buah cempedak yang ranum. Wanginya langsung tercium.

            “Aku titip ini untuk ibumu.”

Adin tak bisa berkata-kata. Tiba-tiba ia merasa sangat bersalah atas perbuatan yang ia lakukan.
***
            Keesokannya, Adin balik lagi ke rumah Mak Gombong. Tekadnya sudah bulat untuk meminta maaf atas kelakuannya. Telur-telur yang ia curi disimpannya dalam kaleng di belakang rumah. Semuanya ada sebelas butir. Ia siap saja kalau-kalau Mak Gombong kembali marah.

            “Mak, ini saya kembalikan telur itik Mak yang hilang. Sayalah yang mencuri dan menggantinya dengan buah pinang. Saya minta maaf, Mak,” ujar Adin menyerahkan telur-telur itu  pada Mak Gombong. Perempuan tua itu kaget. Sorot matanya seperti tidak percaya.

            “Jadi, kamu yang mencurinya?”

            “Iya, Mak. Saya melakukannya karena kesal dimarahi waktu mengambil mangga tanpa ijin. Makanya saya tukar telur itu dengan buah pinang.” Adin mengakui perbuatannya. Diliriknya Mak Gombong dengan sudut mata. Nenek tua itu menghela napas dan berkacak pinggang. Sejenak ia diam.

            “Pencurian, apapun alasannya tak bisa dibenarkan karena itu adalah kejahatan. Pelakunya harus diganjar hukuman. Sekarang kamu tinggal pilih, aku lapor sama orangtuamu atau...” Mak Gombong menuju samping rumah  dan mengambil sapu. Adin jadi ketakutan.

            “Mak, saya jangan dipukul. Saya mengaku salah dan minta maaf!”

            “Yang mau memukul kamu siapa? Aku hanya ingin kamu  bersihkan pekaranganku. Itu hukuman yang tepat untukmu.” Mak Gombong menyodorkan sapu itu pada Adin. Adin merasa lega. Dengan cepat disambarnya sapu itu. Dalam hati ia berjanji tak berbuat nakal lagi(*)


NB: Padang Ekspres, 8 Oktober 2008.
Foto: Gettyimages.com

0 komentar:

Posting Komentar