Lelaki setengah baya itu punya kebiasaan aneh.
Tiap malam kerjanya membakar sampah di depan rumah dan selalu dilakukan pada
jam-jam menjelang tidur. Pak Anwar, begitu tetangga memanggilnya, sudah
melakukan kebiasaan tersebut semenjak ia tinggal di komplek perumahan itu.
Tempat ia membakar sampah terbuat dari
drum bekas yang ditaruh begitu saja di halaman rumahnya, bukan tempat
permanen yang terbuat dari beton.
Sungguh kontras dengan rumahnya yang mentereng. Bukannya tak mampu, atau pelit
mengeluarkan uang retribusi beberapa ribu perbulan, tapi Pak Anwar lebih suka
membakar sampah-sampahnya sendiri. Tak peduli gunjingan para tetangga. Tak
peduli walau sempat beradu urat leher dengan petugas soal retribusi sampah yang
tak pernah ia bayar. Ia juga tak peduli kalau tetangga pernah mengajukan
keluhan tiap kali sampah yang ia bakar mengeluarkan asap yang terbang ke
mana-mana, atau bau karet atau plastik terbakar. Baginya membakar sampah adalah keasyikan
tersendiri.
Ya,
mungkin terlihat aneh bagi orang lain, tapi tidak bagi Pak Anwar karena ia baru bisa tidur setelah membakar
habis semua sampah-sampahnya. Perasaannya baru bisa tenang kalau ia melakukan
ritual tersebut. Pernah kejadian, ia memarahi pembantu yang baru bekerja di
rumahnya hanya karena pembantu tersebut menyerahkan sampah pada petugas
kebersihan yang tiap hari lewat depan rumah. Atau ketika drum sampah itu hilang, Pak Anwar ribut
seperti kehilangan mobil. Begitu berharganya tempat sampah itu baginya,
sampai-sampai mengadukan hal ini pada ketua RT.
Memang
tak perlu ada alasan untuk sesuatu hal, terutama menyangkut sebuah kebiasaan.
Makanya pak Anwar tak perlu menjawab pertanyaan tiap kali ada yang
bertanya. Ia tak pernah mau menjawab,
dengan jujur atau pun secara diplomatis. Kalau setiap orang punya kebiasaan
buruk, maka kebiasaan buruk Pak Anwar
adalah membakar sampah menjelang malam. Orang lain tak akan pernah
mengerti mengapa ia melakukan hal itu.
Hanya
dia yang tahu alasannya. Hanya dia yang bisa merasakan sensasi setiap kali
melihat nyala api membakar sampah-sampah, barang-barang tak berguna
menjadi abu. Sensasi itu menenangkan
hati dan pikiran. Anehnya, mungkin karena sudah menjadi kebiasaan, asap yang
ditimbulkan tak lagi membuat perih matanya, atau membuat sesak napasnya.
Sampah-sampah itu seperti kegalauan yang ada di hati. Harus dimusnahkan, tak
boleh ada yang tertinggal. Nyala api
yang membakar, kilatan lidah api terlihat begitu indah. Bila semuanya telah
terbakar sempurna, nyala itu akan padam. Ia akan mengakhiri prosesi itu dengan
khidmat. Menarik napas panjang dan melangkah dengan tenang masuk ke rumah,
mencuci muka, tangan dan kaki dan kemudian tidur dengan damai.
Ini
memang sudah jadi kebiasaan akut baginya. Tak ada kegiatan lain yang lebih menenangkan
hati selain membakar sampah. Kegiatan lain seperti nonton tivi walau acaranya
dari saluran berlangganan, tak membuatnya senang, biarpun tivinya model
terakhir sekalipun. Kenikmatan yang ditimbulkan tak sedashyat melihat nyala api
melahap sampah yang terbakar. Perlahan tapi pasti api membakar apa saja. Biru,
ungu, hijau, kuning, warna nyala api
mengalahkan indahnya pelangi. Ia bisa terpukau. Saking sering ia melakukannya
ia jadi hapal setiap benda mengeluarkan nyala berbeda bila dibakar.
Anaknya
paling besar, Santi, yang kuliah di kedokteran itu pernah mempersoalkan
kebiasaan aneh papanya. Dia pernah menyarankan untuk pergi ke psikiater, karena
kebiasaan itu perlu dicari penyebabnya dan kalau perlu dilakukan langkah
terapi. Tentu saja pak Anwar murka,
“Kau
pikir aku sakit jiwa disuruh ke psikiater segala, cuma gara-gara aku suka bakar
sampah?”
“Tapi
kebiasaan Papa sungguh tak lazim, Papa tidak sadar gunjingan para tetangga?
Belum lagi dampak yang ditimbulkan, asap dan bau yang menganggu pernapasan? Apa
sih untungnya melakukan hal itu? Sampah itu bisa saja diserahkan pada petugas
kebersihan, tak harus kita yang memusnahkan. Itu namanya kurang kerjaan, Pa!”
Santi sudah gregetan melihat kebiasaan buruk papanya. Ia tahu dalam ilmu
psikologi ada banyak jenis gangguan jiwa. Salah seorang Mama temannya suka
menumpuk barang-barang apkir hingga menyita banyak tempat. Beliau suka ngamuk
kalau barang-barang itu disingkirkan. Perasaan sayang untuk dibuang. Tapi
gejala psikologis yang diderita Papanya? Apa kaitan beliau dengan sampah?
Mengapa Papa seperti orang terhipnotis menyaksikan sampah terbakar? Apanya yang
asyik hingga jadi ketagihan?
“Aku
hanya cari hiburan. Tak lebih. Apa perlu alasan khusus melakukan suatu hal yang
aku sukai? Lagi pula yang aku bakar itu sampah, kok. Barang yang tak berguna.
Mengapa harus dipertanyakan?”
“Bakar
sampah kok dibilang hiburan? Papa ini makin lama semakin aneh. Kalau Papa mau
cari hiburan kan bisa yang lain. Nonton
tivi, baca buku, dengar musik. Lha, ini ketagihan bakar sampah!”
“Masih
untung hanya ketagihan bakar sampah. Kalau ketagihan main perempuan bagaimana?”
nada suaranya meninggi seiiring naiknya emosi mendengar ucapan anaknya itu. Tak
mau kalah, Santi malah menanggapi,
“Kalau
ketagihan perempuan aku bisa paham. Banyak laki-laki seusia Papa mengalaminya.
Tapi yang ini, aku benar-benar tak paham.”
“Kau
tak akan pernah bisa paham, Nak. Lagi pula tak penting bagimu atau bagi yang
lain tahu mengapa Papa suka melakukannya.” Pak Anwar tak mau berdebat dengan
anak pertamanya itu. Ia berlalu begitu saja.
***
Dan
belakangan ini kebiasaan buruknya semakin menjadi-jadi. Tidak hanya sampah yang
dibakarnya. Koran dan majalah bekas tak pelak jadi sasaran. Semua barang-barang
tak berguna ia kumpulkan dan ia bakar. Ia pun lebih butuh waktu berlama-lama
dengan kegiatan sintingnya itu. Dan bila semuanya selesai baru ia beranjak tidur. Istrinya pun mulai menyoalkan
karena sering ia dapati suaminya baru berada disampingnya menjelang pukul satu
dini hari. Ia baru menyadari tiap kali sehabis melakukan itu, wajah pak Anwar
terlihat tenang dan damai. Berbeda dengan raut wajahnya tiap kali pulang kantor
yang selalu kusut seperti dilanda masalah yang sangat berat. Tapi ia tak berani
bertanya langsung, sebab ia tahu suaminya bukanlah orang yang suka bicara,
apalagi mengungkapkan isi hatinya. Dua puluh tahun lebih mereka menikah, ia
sudah hapal sifat dan perilaku Pak Anwar.
***
Ketika
itu Pak Anwar baru saja tertidur, dini hari jam 1.30. Istrinya sontak terbangun
karena asap tebal mengepung kamar. Hawa panas menyergapnya dari segala arah. Ia
terlonjak kaget dan langsung histeris. Dengan cepat diguncang-guncangnya dengan
kuat tubuh Pak Anwar yang tertidur lelap. Dari luar rumah ia mendengar
orang-orang berteriak,
“Kebakaran!
Kebakaran!”
Laki-laki
itu terbangun. Dengan cepat mereka berusaha keluar menyelamatkan diri. Anggota
keluarga lainnya juga terbangun dan berusaha keluar dari rumah dengan wajah
ketakutan luar biasa.
Api
dengan cepat membakar langit-langit rumah, pintu, kusen jendela dan
bagian-bagian lain. Para tetangga dengan cekatan bahu membahu membantu
memadamkan api. Tapi semakin berusaha mereka memadamkan, semakin besar kobaran
api. Istri dan anaknya menangis histeris melihat rumah mereka dilalap si jago
merah. Namun aneh Pak Anwar hanya berdiam diri di tempat. Matanya nyalang tak
berkedip seperti orang yang terpesona. Sirene mobil kebakaran yang
meraung-raung tak membuatnya sadar akan sebuah peristiwa yang menimpa rumahnya.
Lidah
api melambai-lambai, berwarna jingga keperakan serta bunyi letupan-letupan
kecil menimbulkan sensasi tersendiri baginya. Kilauan cahaya merubah malam jadi terang. Lidah api
membumbung tinggi seperti menjangkau langit. Diantara hiruk pikuk orang yang
berjibaku melawan api Pak Anwar bergeming.
Inilah
puncak dari kegalauannya selama ini. Inilah sumber dari kegelisahan yang
menderanya. Rumah ini pantas terbakar, karena ia adalah sampah busuk yang
membuat hidupnya tidak tenang. Rumah yang ia dapat dari hasil kongkalingkong di
kantor. Membuat hidupnya merasa kotor dan penuh dosa. Bukankah neraka juga
menggunakan cara yang sama untuk membersihkan semua dosa yang diperbuat
manusia?
Di
tengah kemelut kebakaran yang melanda rumahnya, tiba-tiba Pak Anwar bersujud
dan mencecahkan kepalanya di tanah. Dengan bibir gemetar ia mengucapkan nama
Tuhan yang telah mengambil kembali apa yang bukan haknya.
***
NB
Dimuat di harian Padang Ekspres, 26 September 2010
Foto: gettyimages.com
0 komentar:
Posting Komentar