Apa Sih, Yang Tak Bisa Dilakukan Demi Cinta

Demi cintanya, Jamie Nieto melakukan keajaiban pada saat hari pernikahannya. ia mampu menggerakkan kakinya yang lumpuh!

Pelayan yang Baik Hati dan Laki-Laki Tua Bertangan Buntung

Pelayan restoran cepat saji ini sungguh berhati mulia. Apa yang ia lakukan mendapat pujian dari netizen di seluruh dunia.

Gelandangan yang Menjadi Pahlawan

Meski gelandangan, wanita ini telah menyelamatkan sebuah toko kosmetik dari kemalingan. Ia pun mendapat banyak simpati dari netizen

Dahulu Baralek, Sekarang Pesta

Banyak perbedaan yang kita temui dalam acara baralek atau yang disebut pesta antara Zaman dahulu dengan Zaman sekarang. Apa saja perbedaan itu, yuk, disimak artikelnya.

Anda Pasti Terharu, Mengapa Pemilik Restoran Ini Menutup Usahanya

Dia adalah laki-laki istimewa dan sangat disayangi para pelanggan. Sesuatu tiba-tiba mengubah jalan hidupnya. Yuk, kenalan dengan dengan sosok yang bernama Tim Harris ini

Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 11 Maret 2016

Risma dan Anabel


Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, Risma membawa segudang harapan. Bu Zuraida orang kaya di kampungnya, menawari pekerjaan di rumah adik bungsunya di Jakarta. Mengenai ongkos keberangkatan, gaji yang bakal ia terima membuat Risma tertarik apalagi setelah mendapat restu dari ibunya, Risma semakin bersemangat karena ia sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di kota metropolitan itu. Tak tanggung-tanggung, Risma diongkosi naik pesawat terbang. Delapan belas tahun usianya hanya dihabiskan di kampung yang sepi membantu orangtua menggarap sawah milik Bu Zuraida dan sesekali membantu wanita itu di rumahnya. Tapi yang paling membuat Risma bersikeras  tak lain adalah ingin berbuat sesuatu untuk keluarga. Ayah yang selama ini menjadi tulang punggung, dua tahun lalu tak bisa lagi diandalkan. Hari-harinya hanya dihabiskan di tempat tidur. Kata dokter Ayah terkena stroke. Tak ada yang bisa mereka perbuat selain pasrah. Semua barang berharga di rumah lenyap satu persatu untuk biaya pengobatan Ayah. Ibu lah yang sekarang banting tulang, menghidupi mereka. Masih untung ketiga adiknya masih bisa sekolah walau pun Risma harus membuang keinginannya masuk SMA jauh-jauh.

            Tapi Risma tak menyesali semua itu. Tak peduli kalau sekarang ini ia harus terpisah jauh dengan keluarga. Lagipula waktu itu Risma yakin, walau belum mengenal sama sekali sosok Bu Henidar, ia percaya, beliau pasti orang baik. Sama halnya dengan Bu Zuraida.

            Tapi harapan memang tak selalu sebangun dengan kenyataan. Sifat Bu Henidar ternyata bertolak belakang dengan kakaknya itu. Perilaku dan gaya hidupnya pun jauh dari yang Risma bayangkan. Sangat modern. Lebih dari itu orangnya ternyata judes dan galak.

            Walau selama ini Risma sudah melakukan pekerjaannya dengan baik, tapi ternyata belum cukup. Wanita itu selalu saja merasa tidak puas. Hampir semua pekerjaannya dicela atau paling tidak dikomentari sinis. Ada saja yang tak berkenan. Masakan yang keasinan, mencuci tak bersih, pakaian yang disetrika tak licin, rumah yang berantakan, sampai-sampai ia mencela kalau Risma berbadan bau. Kalaulah tak ingat orang-orang di kampung, pasti ia sudah meninggalkan wanita itu. Tapi ia berusaha sabar. Bisa jadi itu semua hanya pelampiasan saja. Bukankah banyak perawan tua berperangai seperti itu?

            Entahlah, Risma tak habis pikir mengapa wanita itu belum juga menikah. Segalanya ia punya kecuali suami. Rumah punya, mobil ada dan karirnya pun bagus mengepalai suatu departemen di sebuah bank terkemuka. Wajahnya pun juga masih cantik dan awet muda. Belum tampak jejak-jejak kekalahan melawan usia di wajahnya. Tapi mengapa tak ada laki-laki yang menaruh hati? Apakah ia patah hati? Ah, Risma tak mau berpikir lebih jauh. Apa urusannya?

            Satu hal yang paling tak ia sukai yakni mengurus hewan peliharaan Bu Henidar. Seekor anjing jenis Tsih Tzu berwarna putih keabu-abuan. Bulu-bulunya bikin Risma harus menahan bersin tiap kali mengurusnya. Bagi Bu Henidar, hewan  itu adalah makhluk yang paling ia sayangi. Ia tak segan-segan mengeluarkan jutaan rupiah hanya untuk sebuah kandang seekor anjing lucu bernama Anabel. Makanannya pun tak boleh sembarangan, harus mengandung omega 3 biar bulu-bulunya tetap mengkilap terjaga. Setiap bulan ia pun membawanya ke Happy Pets,  untuk membersihkan dan merapikan bulu dan pemeriksaan kuku. Betapa sejahteranya hewan itu, tak sebanding dengan derajatnya. Sungguh kontras dengan kehidupan Risma. Tiap hari harus bangun pagi, membersihkan rumah, menyiapkan makanan, mencuci, ke pasar dan urusan tetek bengek lainnya dan itu pun ditambah dengan omelan-omelan.

            Suatu pemandangan yang menggelikan bila melihat Bu Henidar menonton tivi di ruang tengah. Anabel selalu di pangkuannya dan menyisir bulu-bulunya dengan slicker comb. Ada rasa cemburu yang tak ia sadari merayap pelan-pelan dalam hatinya. Betapa mesra hubungan mereka. Memang Anabel tak hanya sekedar hewan peliharaan Bu Henidar. Ia memperlakukannya layaknya manusia. Seringkali Risma melihat Bu Henidar mengajaknya anjing itu bercakap-cakap. Dulu ia merasa aneh tapi lama-lama ia menjadi terbiasa.

***
            Tapi hari ini Risma merasa senang, pasalnya Bu Henidar pergi ke luar kota selama tiga hari. Kepergian wanita itu membuat Risma bebas dari rutinitas yang melelahkan. Selama tiga hari ke depan ia akan menikmati hari-harinya untuk bersantai-santai dan memanjakan diri.

            Dengan segelas lemon tea dingin dan setoples biskuit yang bertabur coklat Risma duduk di sofa ruang tengah menatap tivi layar plasma 32 inci. Siang itu suasana begitu sepi. Di pojok ruangan tampak Anabel lagi tidur-tiduran. Tak ada suaranya yang khas. Apakah seekor anjing bisa merasakan kesedihan bila ditinggal tuannya?

            Dipencetnya remote. Tak ada acara yang menarik. Tak lama jarinya berhenti di saluran berita siang. Tatapannya tertuju pada berita-berita kriminal di tivi. Ada berita perampokan bersenjata, penemuan mayat bayi, kebakaran, penangkapan bandar narkoba, kecelakaan lalu lintas. 

            Tak lama, ia tertegun melihat berita selanjutnya. Seorang pembantu rumah tangga tewas disiksa majikan. Hanya dituduh mencuri perhiasan, sang majikan tega menyiksanya? Betapa mengenaskan. Tiba-tiba pikiran buruk melintas dipikirannya. Bagaimana kalau ia yang mengalaminya? Ah, tidak! Ia tak akan mengalami hal itu karena selama ini Bu Henidar hanya suka mengomel saja, tak pernah ia melakukan kekerasan fisik. Lagi pula Risma tidak pernah melakukan macam-macam. Ia tak pernah merusak barang-barang apa lagi mencuri.

            Akhirnya ia mematikan tivi. Lebih baik mengerjakan sesuatu yang membuat  Bu Henidar senang bila ia pulang nanti. Ia segera ke teras dan mengambil selang untuk menyiram tanaman. Tapi perhatiannya  kembali tertuju pada Anabel yang masih saja tak bergerak, tampak lesu. Ia hanya menggeleng melihat tingkah hewan itu.

            Tengah asyik menyiram tanaman ia dikejutkan oleh tukang pos yang sudah berdiri di depan pintu pagar. Setengah berlari Risma menghampirinya. Dadanya berdebar-debar ketika membuka surat dari kampung itu. Tiap kali menerima surat, selalu saja ia begitu. Dalam surat kali ini, keluh kesah ibu kali lebih panjang dari biasanya, tapi intinya kembali minta dikirimi uang untuk pengobatan Ayah.
***
Keesokan harinya, Risma mulai panik melihat perilaku Anabel. Anjing itu sama sekali tak menyentuh makanan yang ia sediakan. Susunya pun tidak diminum. Ia tampak begitu lemah. Tatkala mencium bau aneh, ia melihat ekor Anabel penuh dengan kotoran cair. Risma mundur beberapa langkah, merasa ada yang bergejolak di perutnya. Tapi pikirannya langsung dipenuhi rasa takut. Anabel adalah hewan kesayangan Bu Henidar, bisa jadi miliknya yang paling berharga. Kalau anjing itu mati, pasti ia akan menjadi bulan-bulanan Bu Henidar. Ia nyaris kalut, tak tahu harus bagaimana. Wanita itu masih belum pulang, rencananya besok baru kembali. Tapi untung ia tak kehilangan akal. Dengan cepat ia berlari ke ruang tengah, mengangkat gagang telepon dan memencet tombol. Sejurus kemudian terdengar suara di seberang sana.
            “Ada apa?”
            “Kapan Ibu pulang?”
            “Memang kenapa?” suara Bu Henidar penuh keheranan.
            “Anabel, Bu...”
            “Kenapa si Anabel?”
            “Ia sekarat!” kontan ucapan itu meluncur dari mulutnya. “Saya tak tahu apa yang harus dilakukan. Sebaiknya Ibu pulang.”
Bu Henidar tak ngomong apa-apa lagi. Yang terdengar hanya bunyi telepon ditutup.
***
            Bu Henidar tampak begitu tegang. Dari kaca spion tengah, Risma bisa melihat kecemasan terpancar di wajahnya. Dengan kecepatan tinggi ia mengendarai mobil seakan-akan tak mau kehilangan waktu. Sementara Risma hanya diam di jok belakang sembari menggendong Anabel dalam balutan kain seperti menggendong bayi. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya ia mengomeli Risma yang tak becus mengurus hewan kesayangannya itu. Risma hanya  diam, tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya untuk membela diri.

Di klinik hewan, Anabel langsung digotong menuju tempat pemeriksaan. Mulai mata, hidung, mulut dan detak jantungnya diperiksa oleh dokter hewan. Bu Henidar terus membelainya. Jelas terpancar dari wajahnya rasa takut kehilangan. Tak terasa  setetes air mata mengalir di pelupuk mata Risma. Betapa beruntungnya hewan itu. Nyawanya seakan begitu berharga. Terbayang ia penderitaan Ayah. Seharusnya beliau juga mendapat perawatan yang layak, ditangani oleh dokter ahli. Tapi nyatanya ia  hanya dirawat di rumah dengan ala kadarnya.

            “Untung Ibu segera membawanya ke sini,” ujar dokter yang menangani.
            “Apa yang terjadi, Dok?” tanya Bu Henidar dengan wajah yang diliputi kecemasan.
            “Anjing ini kena Distemper!”
            “Lho, kok bisa? Padahal sudah divaksinasi.”
            “Nah, itu keberuntungan ibu yang ke dua. Kalau tidak, saya khawatir hal yang lebih buruk bisa saja terjadi.”
            Bu Henidar hanya pasrah. Tatkala perhatiannya beralih ke Risma, sorot matanya segera berubah.
            “Kau lihat? Baru kutinggalkan, kau sudah buat masalah. Apa sih yang bisa kau lakukan?”
            Risma hanya diam. Ia kehilangan kata-kata.
***
            Selama empat hari Anabel dirawat, Bu Henidar uring-uringan. Mulutnya tak kunjung diam, ada saja yang jadi bahan omelannya. Tapi untunglah pada hari yang ke lima Anabel sudah bisa dibawa pulang. Akhirnya mereka bisa berkumpul lagi.  Sepanjang sore yang cerah itu ia asyik  menyisir bulu-bulu Anabel dan memasang pita pada bulu yang menjuntai di atas kepalanya. Anjing itu kelihatan lebih sehat, suara guguknya yang khas mulai terdengar. Saat itulah Risma berusaha menemuinya untuk mengutarakan maksud hati.

            “Apa? Kau pikir aku mau meminjamimu kali ini? Enak saja! Pekerjaanmu saja nggak becus.”
            “Tapi saya butuh sekali, Bu, untuk biaya pengobatan ayah saya.”
            “Sudah kubilang, tidak! Utangmu bulan kemarin belum lunas, berani-beraninya pinjam uang lagi.”
            “Tolonglah, Bu. Saya butuh sekali. Kalau Ibu tak percaya, ini surat yang saya terima beberapa hari yang lalu,” Risma terus memelas. Ia tak punya harapan lain selain Bu Henidar.
            “Dasar bebal! Sepersen pun tak akan kupinjamkan!”
            “Saya rela bulan depan tidak digaji.”
            Bu Henidar masih bergeming. Terus saja membelai Anabel di pangkuannya.
            “Apapun akan saya lakukan demi membantu orang tua.”
            “Termasuk memerasku? Kau itu ya, makin lama makin bertingkah. Dikasih hati minta jantung.”
            “Tolonglah, Bu!”
            Risma kehilangan akal melunakkan hati wanita itu. Tapi ia tak akan menyerah. Di tengah keheningan, untuk mencari kata-kata yang tepat membujuk Bu Henidar, Tiba-tiba telepon berdering. Bu Henidar menyuruhnya mengangkat telepon itu.
            “Uni Risma ada?” terdengar suara di seberang sana. Risma tertegun, suara itu sangat dikenalnya, suara Amri, adiknya.
            “Iko Amri, yo?”                                                                           
            “Iyo,Ni! Ayah wak, Ni... Ayah indak ado lai, barusan alah bapulang, pulanglah Uni...” ujar Amri dengan suara bergetar, terbata-bata. Walau pun  singkat, suara di telepon itu membuat Risma terlonjak. Gagang telepon terlepas dari genggamannya. Serta merta tangisnya pecah. Butiran air mata menghambur di sela pipinya.
            “Hei, kau kenapa?” tanya Bu Henidar kaget melihat Risma meraung. Tapi Risma tak menjawab, ia hanya menatap lirih pada Bu Henidar dan anjing yang ada dipangkuannya.
***
            Dua minggu kemudian ketika wanita lajang itu sedang berada di kantornya, ia menerima pesan singkat dari Bu Zuraida. Sepertinya ia paham mengapa Risma tak mau balik lagi ke Jakarta. Pesan itu berbunyi;
            “Menyayangi hewan itu baik, tapi menyayangi sesama jauh lebih baik
            Bu Henidar mengerinyitkan kening, mencoba memahami apa maksud sms itu(*)

***

NB: 
Cerpen ini dimuat di Harian Padang Ekspres, 9 Januari 2011. Foto: gettyimage.com

Senin, 07 Maret 2016

Sampah Pak Anwar


Lelaki setengah baya itu punya kebiasaan aneh. Tiap malam kerjanya membakar sampah di depan rumah dan selalu dilakukan pada jam-jam menjelang tidur. Pak Anwar, begitu tetangga memanggilnya, sudah melakukan kebiasaan tersebut semenjak ia tinggal di komplek perumahan itu. Tempat ia membakar sampah  terbuat dari drum bekas yang ditaruh begitu saja di halaman rumahnya, bukan tempat permanen  yang terbuat dari beton. Sungguh kontras dengan rumahnya yang mentereng. Bukannya tak mampu, atau pelit mengeluarkan uang retribusi beberapa ribu perbulan, tapi Pak Anwar lebih suka membakar sampah-sampahnya sendiri. Tak peduli gunjingan para tetangga. Tak peduli walau sempat beradu urat leher dengan petugas soal retribusi sampah yang tak pernah ia bayar. Ia juga tak peduli kalau tetangga pernah mengajukan keluhan tiap kali sampah yang ia bakar mengeluarkan asap yang terbang ke mana-mana, atau bau karet atau plastik terbakar.  Baginya membakar sampah adalah keasyikan tersendiri.

            Ya, mungkin terlihat aneh bagi orang lain, tapi tidak bagi Pak Anwar  karena ia baru bisa tidur setelah membakar habis semua sampah-sampahnya. Perasaannya baru bisa tenang kalau ia melakukan ritual tersebut. Pernah kejadian, ia memarahi pembantu yang baru bekerja di rumahnya hanya karena pembantu tersebut menyerahkan sampah pada petugas kebersihan yang tiap hari lewat depan rumah. Atau ketika  drum sampah itu hilang, Pak Anwar ribut seperti kehilangan mobil. Begitu berharganya tempat sampah itu baginya, sampai-sampai mengadukan hal ini pada ketua RT.  

            Memang tak perlu ada alasan untuk sesuatu hal, terutama menyangkut sebuah kebiasaan. Makanya pak Anwar tak perlu menjawab pertanyaan tiap kali ada yang bertanya.  Ia tak pernah mau menjawab, dengan jujur atau pun secara diplomatis. Kalau setiap orang punya kebiasaan buruk, maka kebiasaan buruk Pak Anwar  adalah membakar sampah menjelang malam. Orang lain tak akan pernah mengerti mengapa ia melakukan hal itu.

            Hanya dia yang tahu alasannya. Hanya dia yang bisa merasakan sensasi setiap kali melihat nyala api membakar sampah-sampah, barang-barang tak berguna menjadi  abu. Sensasi itu menenangkan hati dan pikiran. Anehnya, mungkin karena sudah menjadi kebiasaan, asap yang ditimbulkan tak lagi membuat perih matanya, atau membuat sesak napasnya. Sampah-sampah itu seperti kegalauan yang ada di hati. Harus dimusnahkan, tak boleh ada  yang tertinggal. Nyala api yang membakar, kilatan lidah api terlihat begitu indah. Bila semuanya telah terbakar sempurna, nyala itu akan padam. Ia akan mengakhiri prosesi itu dengan khidmat. Menarik napas panjang dan melangkah dengan tenang masuk ke rumah, mencuci muka, tangan dan kaki dan kemudian tidur dengan damai.

            Ini memang sudah jadi kebiasaan akut baginya. Tak ada kegiatan lain yang lebih menenangkan hati selain membakar sampah. Kegiatan lain seperti nonton tivi walau acaranya dari saluran berlangganan, tak membuatnya senang, biarpun tivinya model terakhir sekalipun. Kenikmatan yang ditimbulkan tak sedashyat melihat nyala api melahap sampah yang terbakar. Perlahan tapi pasti api membakar apa saja. Biru, ungu, hijau, kuning, warna  nyala api mengalahkan indahnya pelangi. Ia bisa terpukau. Saking sering ia melakukannya ia jadi hapal setiap benda mengeluarkan nyala berbeda bila dibakar.

            Anaknya paling besar, Santi, yang kuliah di kedokteran itu pernah mempersoalkan kebiasaan aneh papanya. Dia pernah menyarankan untuk pergi ke psikiater, karena kebiasaan itu perlu dicari penyebabnya dan kalau perlu dilakukan langkah terapi. Tentu saja pak Anwar murka,

            “Kau pikir aku sakit jiwa disuruh ke psikiater segala, cuma gara-gara aku suka bakar sampah?”

            “Tapi kebiasaan Papa sungguh tak lazim, Papa tidak sadar gunjingan para tetangga? Belum lagi dampak yang ditimbulkan, asap dan bau yang menganggu pernapasan? Apa sih untungnya melakukan hal itu? Sampah itu bisa saja diserahkan pada petugas kebersihan, tak harus kita yang memusnahkan. Itu namanya kurang kerjaan, Pa!” Santi sudah gregetan melihat kebiasaan buruk papanya. Ia tahu dalam ilmu psikologi ada banyak jenis gangguan jiwa. Salah seorang Mama temannya suka menumpuk barang-barang apkir hingga menyita banyak tempat. Beliau suka ngamuk kalau barang-barang itu disingkirkan. Perasaan sayang untuk dibuang. Tapi gejala psikologis yang diderita Papanya? Apa kaitan beliau dengan sampah? Mengapa Papa seperti orang terhipnotis menyaksikan sampah terbakar? Apanya yang asyik  hingga jadi ketagihan?

            “Aku hanya cari hiburan. Tak lebih. Apa perlu alasan khusus melakukan suatu hal yang aku sukai? Lagi pula yang aku bakar itu sampah, kok. Barang yang tak berguna. Mengapa harus dipertanyakan?”

            “Bakar sampah kok dibilang hiburan? Papa ini makin lama semakin aneh. Kalau Papa mau cari hiburan  kan bisa yang lain. Nonton tivi, baca buku, dengar musik. Lha, ini ketagihan bakar sampah!”

            “Masih untung hanya ketagihan bakar sampah. Kalau ketagihan main perempuan bagaimana?” nada suaranya meninggi seiiring naiknya emosi mendengar ucapan anaknya itu. Tak mau kalah, Santi malah menanggapi,

            “Kalau ketagihan perempuan aku bisa paham. Banyak laki-laki seusia Papa mengalaminya. Tapi yang ini, aku benar-benar tak paham.” 

            “Kau tak akan pernah bisa paham, Nak. Lagi pula tak penting bagimu atau bagi yang lain tahu mengapa Papa suka melakukannya.” Pak Anwar tak mau berdebat dengan anak pertamanya itu. Ia berlalu begitu saja.
***
            Dan belakangan ini kebiasaan buruknya semakin menjadi-jadi. Tidak hanya sampah yang dibakarnya. Koran dan majalah bekas tak pelak jadi sasaran. Semua barang-barang tak berguna ia kumpulkan dan ia bakar. Ia pun lebih butuh waktu berlama-lama dengan kegiatan sintingnya itu. Dan bila semuanya selesai baru ia  beranjak tidur. Istrinya pun mulai menyoalkan karena sering ia dapati suaminya baru berada disampingnya menjelang pukul satu dini hari. Ia baru menyadari tiap kali sehabis melakukan itu, wajah pak Anwar terlihat tenang dan damai. Berbeda dengan raut wajahnya tiap kali pulang kantor yang selalu kusut seperti dilanda masalah yang sangat berat. Tapi ia tak berani bertanya langsung, sebab ia tahu suaminya bukanlah orang yang suka bicara, apalagi mengungkapkan isi hatinya. Dua puluh tahun lebih mereka menikah, ia sudah hapal sifat dan perilaku Pak Anwar.
***
            Ketika itu Pak Anwar baru saja tertidur, dini hari jam 1.30. Istrinya sontak terbangun karena asap tebal mengepung kamar. Hawa panas menyergapnya dari segala arah. Ia terlonjak kaget dan langsung histeris. Dengan cepat diguncang-guncangnya dengan kuat tubuh Pak Anwar yang tertidur lelap. Dari luar rumah ia mendengar orang-orang berteriak,

            “Kebakaran! Kebakaran!”

            Laki-laki itu terbangun. Dengan cepat mereka berusaha keluar menyelamatkan diri. Anggota keluarga lainnya juga terbangun dan berusaha keluar dari rumah dengan wajah ketakutan luar biasa.

            Api dengan cepat membakar langit-langit rumah, pintu, kusen jendela dan bagian-bagian lain. Para tetangga dengan cekatan bahu membahu membantu memadamkan api. Tapi semakin berusaha mereka memadamkan, semakin besar kobaran api. Istri dan anaknya menangis histeris melihat rumah mereka dilalap si jago merah. Namun aneh Pak Anwar hanya berdiam diri di tempat. Matanya nyalang tak berkedip seperti orang yang terpesona. Sirene mobil kebakaran yang meraung-raung tak membuatnya sadar akan sebuah peristiwa yang menimpa rumahnya.

            Lidah api melambai-lambai, berwarna jingga keperakan serta bunyi letupan-letupan kecil menimbulkan sensasi tersendiri baginya. Kilauan cahaya  merubah malam jadi terang. Lidah api membumbung tinggi seperti menjangkau langit. Diantara hiruk pikuk orang yang berjibaku melawan api Pak Anwar bergeming.

            Inilah puncak dari kegalauannya selama ini. Inilah sumber dari kegelisahan yang menderanya. Rumah ini pantas terbakar, karena ia adalah sampah busuk yang membuat hidupnya tidak tenang. Rumah yang ia dapat dari hasil kongkalingkong di kantor. Membuat hidupnya merasa kotor dan penuh dosa. Bukankah neraka juga menggunakan cara yang sama untuk membersihkan semua dosa yang diperbuat manusia?

            Di tengah kemelut kebakaran yang melanda rumahnya, tiba-tiba Pak Anwar bersujud dan mencecahkan kepalanya di tanah. Dengan bibir gemetar ia mengucapkan nama Tuhan yang telah mengambil kembali apa yang bukan haknya.
***

NB
Dimuat di harian Padang Ekspres, 26 September 2010
Foto: gettyimages.com





Pelajaran Buat Momon




Momon menghela napas panjang dengan raut kecewa. Walau Ayah tak mengucapkan sepatah kata pun, ia bisa menebak kalau Ayah tidak memenuhi keinginannya untuk berdarmawisata ke Padang.

Padahal ia ingin sekali melihat Batu Malin Kundang yang terkenal itu, bermain ombak, atau mengunjungi museum Adityawarman. Sebenarnya ia sudah menabung jauh-jauh hari tetapi uang yang terkumpul tidak mencukupi.

Keesokan paginya, Momon dipanggil Ayah.

“Mon, bantu Ayah ke ladang. Kita akan memetik buah kakao,” ujar ayah.

Sebenarnya Momon malas, bukan karena ladang mereka jauh melintasi dua punggung bukit, tapi kecewa karena tidak bisa ikut acara darmawisata.

Tak lama kemudian mereka berjalan beriringan. Di ladang tampak buah-buah kakao menggantung di dahan rimbun. Sebagian sudah siap petik.

“Tugasmu mengumpulkan dan memasukkannya ke dalam karung,” ujar Ayah. Momon mengangguk pelan. Ayah mulai sibuk memilih-milih buah kakao.

Menjelang tengah hari, satu karung sudah terisi penuh. Ketika sampai di satu pohon yang agak tinggi, Ayah melihat beberapa buah kakao berwarna kekuningan di sela-sela dahan. Ayah menjangkau, tetapi tangannya tak sampai. Ayah berusaha meloncat untuk memetiknya.

Momon melihat sesuatu jatuh dari kontong baju Ayah. Selembar uang limapuluh ribu setengah tergulung. Momon terkesiap, ternyata Ayah punya uang!

Ayah bohong! Kemarin beliau bilang tak punya uang.

“Wah, yang ini besar sekali!” ujar Momon menghampiri Ayah dan menimbang-nimbang buah kakao itu. Tetapi, kaki kanannya menginjak uang itu. Ia berdiri di sana beberapa saat.

Momon cepat-cepat jongkok dan memasukkannya ke kantong celana. Jantungnya berdetak lebih cepat.

Menjelang sore ketika mereka mau pulang, Ayah menyadari uangnya tidak ada lagi. Dirogohnya semua kantong.

“Hilang? Berapa?” tanya Momon pura-pura kaget. “Ayah yakin tadi bawa uang?”

“Yakin. Ayah tadi memasukkan limapuluh ribu ke saku baju. Uang itu untuk bayar becak motor mengangkut kakao ini nanti,” wajah Ayah terlihat bingung. “Jangan-jangan jatuh di sekitar sini. Ayo, bantu Ayah mencarinya.”

Mereka mulai mencari di sekitar ladang. Tentu saja uang itu tidak ditemukan. Momon terlihat sibuk mencari kesana-kemari. Akhirnya Ayah menyerah.

“Mon, mau tak mau, dua karung kakao ini terpaksa kita bawa pulang dengan jalan kaki,” ujar Ayah pada akhirnya.

Wajah Momon langsung berubah. Tak terbayangkan ia berjalan melintasi dua punggung bukit di tambah berjalan dua kilo membawa kakao. Tetapi mengingat darmawisata ia pun menyanggupi.

Ayah memanggul satu karung yang lebih besar, ia  membawa karung yang lebih kecil. Setibanya di kaki bukit dekat pinggir jalan desa, tiba-tiba Ayah berhenti.

“Aduh, perut Ayah sakit sekali!” Ayah meringis kesakitan sembari meletakkan karung di rerumputan. Wajahnya pias menahan sakit. Momon pun jadi kalut. Tidak tahu berbuat apa.

“Mon, Ayah tidak bisa mengangkut karung ini. Jadi begini saja, kau angkat karung ini pulang. Ayah tunggu di sini,” perintah Ayah.

“Tetapi, Yah, karung ini, kan, berat? Momon tak sanggung.”

“Kamu angkut tiga kali atau empat kali jalan. Kamu pasti kuat memikulnya, ujar Ayah lagi. Momon terdiam. Itu berarti ia berjalan lebih jauh.

“Yah, biar lebih enteng, kita belah di sini saja. Bijinya saja yang kita bawa pulang,” Momon memberi usul.

“Tidak, di rumah saja!” Ayah bersikeras.

Tak terbayangkan beratnya tugas yang diperintahkan Ayah. Mau tiak mau harus ia lakukan. Ah, tak apa-apalah demi acara darmawisata, pikirnya.

Menjelang magrib, Momon selesai bolak-balik membawa buah kakao pulang. Tangan dan kakinya terasa pegal. Tetapi, Ayah masih merintih menahan sakit. Momon mulai khawatir.

“Ayah sudah minum obat?” tanya Momon.

“Belum. Andai saja uang Ayah tidak hilang, pasti bisa beli obat juga,” ujar Ayah pelan.

Tiba-tiba Momon merasa sangat bersalah. Betapa pentingnya uang itu bagi Ayah. Kenapa ia begitu tega mengambilnya demi acara darmawisata? Lebih baik ia mengaku saja. Tetapi, ia bimbang. Takut Ayah akan marah besar.

 Setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia pun berkata jujur. Itu lebih baik daripada nanti Ayah menanyakan dari mana ia dapat uang ikut darmawisata.

Ayah menatap Momon dengan raut wajah susah dipahami.

“Yah, aku memang salah. Aku siap menerima hukumannya.”

Tiba-tiba Ayah tersenyum. “Ayo, kita pulang. Sebentar lagi magrib. Soal hukuman, kau sudah melaksanakannya. Ayah sudah tahu kalau kau yang menemukan uang Ayah dan mengantonginya.

            Momon gelagapan. Jadi, Ayah sebenarnya tahu dan pura-pura sakit untuk menghukum kecurangan yang ia lakukan?

Tiba-tiba ia jadi malu hati. Sepanjang perjalanan pulang, Momon hanya menundudukkan kepala, tidak berkata sepatah kata pun.

Ketika hampir di rumah, Ayah mengeluarkan uang lima puluh ribu tadi. “Kamu masih ingin pergi berdarmawisata? Anggap saja ini upahmu mengangkat kakao,” ujar Ayah menyodorkan uang itu.

            “Terimakasih, Yah!” ujarnya. “aku berjanji tidak akan berbuat curang lagi.”

            “berjanjilah kepada Tuhan, Nak. Karena Dia tahu setiap perbuatan yang kamu lakukan.”

Momon tersipu malu.


NB
Dimuat di KOMPAS Anak Feb 2011

Itik Bertelur Pinang


Mak Gombong kaget saat ia mau mengumpulkan telur itik peliharaannya. Yang ia dapati bukan telur, tapi belasan buah pinang yang berwarna oranye bertebaran di dalam kandang. Sejenak ia tertegun. Sejak kapan itik bertelur pinang? Tak mungkin ini terjadi, pikirnya. Seseorang pasti telah sengaja mencuri telur dan dan menggantinya dengan buah pinang. Alangkah geramnya nenek tua itu. Orang itu tidak hanya mencuri tapi juga sengaja mengerjainya. Kurang ajar! Mak Gombong marah besar. Segera ia menuju rumah pak kepala kampung. Ia akan mengadukan tindakan pencurian ini.

Mak Gombong memang terkenal galak, terutama bagi anak-anak. Beliau tidak segan memarahi siapa saja yang masuk ke pekarangannya yang luas, yang ditanam beraneka macam pohon. Ada cempedak, mangga, rambutan, jambu, sirsak, dan sawo. Pekarangan rumahnya yang berpagar bambu itu sudah seperti kebun saja. Di rumah yang cukup besar itu, ia tinggal sendiri. Walaupun sudah tua, tapi ia masih sehat dan kuat. Anak-anaknya sudah berkeluarga dan tinggal di kota. Tapi Mak Gombong tidak kerasan tinggal di kota. Hari-harinya diisi dengan berkebun dan memelihara ternak. Ada itik, ayam,  dan beberapa ekor kambing. Semua ia lakukan sendiri.

Berita pencurian itu dengan cepat menyebar di seantero kampung, tapi tak seorang pun bisa menduga siapa  pelakunya. Selama ini kampung mereka aman-aman saja, tak pernah ada pencurian. Tapi pencurian kali ini sungguh aneh. Mengapa hanya telur itik yang dicuri? Mengapa si pencuri mengganti telur-telur yang dicuri dengan buah pinang? Pekerjaan siapa ini? Pak kepala kampung tidak bisa mengusutnya. Selain tak tahu persis berapa jumlah telur yang dicuri, Mak Gombong menganggap ini tindakan menjahilinya.

            “Coba kalau si pencuri mengganti  telur itik itu dengan yang lain. Dengan emas misalnya, pasti ceritanya akan lain,” ujar seorang warga kampung di warung kopi saat Adin lewat di depan warung itu.

            “Jadinya, itik bertelur pinang, dong!” celutuk yang lain.

            “Seperti dongeng saja!”

            “Mak Gombong pasti tidak akan melaporkan pada pak kepala kampung.”

            “Ha...ha..ha...” warung kopi itu ramai dengan suara orang ketawa.

            Adin juga ikut tersenyum. Dengan langkah gegas ia segera berlalu. Hatinya puas sekarang. Terbayang betapa murkanya nenek tua yang galak itu menyadari itik-itik peliharaannya tidak menghasilkan telur, tapi buah pinang.

            Dua hari yang lalu ketika ia bersama kedua temannya, Heru dan Janu, baru saja pulang menonton pertandingan bola antar kampung. Saat lewat di depan rumah Mak Gombong, mereka melihat pohon mangga  yang sedang berbuah dan siap dipetik. Sungguh menggiurkan utuk dicicipi. Rumah Mak Gombong kelhatan sepi. Pintu dan jendela rumahnya tertutup rapat. Suasana sekitarnya juga tidak ada orang. Timbullah niat mereka untuk mengambilnya. Adin yang naik ke atas pohon, sedangkan kedua temannya menunggu di bawah. Tapi, selang beberapa saat, belum lagi mendapatkan buah mangga, mendadak Mak Gombong muncul. Mereka kaget. Janu dan Heru langsung melarikan diri. Adin tak bisa kemana-mana karena masih di atas pohon.

            “Mau lari kemana kau? Dasar pencuri! Ayo turun biar kupukul kau pakai sapu ini. Berani-beraninya kamu ambil manggaku tanpa ijin!”

            “Sa-sa-saya nggak mencuri, kok, Mak. Tadi mau minta tapi Mak nggak ada.”

            “Bohong! Mengambil tanpa sepengetahuan yang punya sama saja mencuri!” suara Mak Gombong terdengar lantang. Adin ketakutan melihat Mak Gombong mengacung-acungkan sapu. Dengan cepat ia turun. Tapi ia terpeleset sebelum menginjak tanah. Kaki kanannya lecet kena batang pohon. Tanpa mempedulikan rasa sakit ia segera kabur. Kesal sekali ia dengan nenek tua itu.

***
            Sore itu, Adin tidak jadi mengaji. Pak ustad berhalangan datang. Ia langsung pulang ke rumah  karena hari ini Emak bikin kolak pisang. Dengan langkah tergesa-gesa  ia tidak menghiraukan ajakan temannya untuk bermain dulu. Saat lewat di depan rumah Mak Gombong, Adin mempercepat langkahnya karena tak ingin bertemu dengannya. Rasa takut dan malu saling menghimpit di dadanya. Mak Gombong sedang berdiri di depan pagar lagi membakar sampah daun-daun. Adin pura-pura tidak melihatnya.

            “Hei, kamu! Sini!” nenek tua itu memanggilnya. Adin menoleh. Jantungnya bedebar-debar. Kenapa ia dipanggil? Apa Mak Gombong mau memarahinya lagi? Tau jangan-jangan ia tahu kalau-kalau...? Terbesit keinginannya untuk lari. Tapi niat itu ia urungkan.

            “Mak memanggil saya?” tanya Adin.

            “Kamu, kan, yang mencuri buah manggaku?” tanya Mak Gombong. Rupanya ia masih ingat peristiwa beberapa hari lalu itu.

            “Bagaimana, luka di kakimu sudah sembuh?” lanjutnya. Adin mengangguk pelan. Ia heran melihat Mak Gombong tidak lagi marah.

            “Tunggu sebentar, aku ada sesuatu untukmu.” Mak Gombong masuk ke rumahnya. Tak lama, ia keluar membawa satu kantong plastik berisi mangga.

            “Ini, ambillah. Kamu masih ingin buah mangga, kan?”

            “Ha? Nggak salah? Mak Gombong memberinya buah mangga? Adin tidak percaya. Nenek tua yang selama ini ia kenal galak itu tiba-tiba berubah baik. Tidak ada kesan galak  sama sekali di wajahnya.

            “Tapi, Mak! Sa...sa...saya tidak bisa menerimanya.”

            “Dikasih, kok, malah nolak? Jangan aneh. O, iya, kamu anaknya si Rohana yang tinggal di ujung  jalan sana, kan? Tunggu sebentar, aku mau nitip sesuatu sama ibumu.” Mak Gombong masuk lagi. Kali ini ia bawa buah cempedak yang ranum. Wanginya langsung tercium.

            “Aku titip ini untuk ibumu.”

Adin tak bisa berkata-kata. Tiba-tiba ia merasa sangat bersalah atas perbuatan yang ia lakukan.
***
            Keesokannya, Adin balik lagi ke rumah Mak Gombong. Tekadnya sudah bulat untuk meminta maaf atas kelakuannya. Telur-telur yang ia curi disimpannya dalam kaleng di belakang rumah. Semuanya ada sebelas butir. Ia siap saja kalau-kalau Mak Gombong kembali marah.

            “Mak, ini saya kembalikan telur itik Mak yang hilang. Sayalah yang mencuri dan menggantinya dengan buah pinang. Saya minta maaf, Mak,” ujar Adin menyerahkan telur-telur itu  pada Mak Gombong. Perempuan tua itu kaget. Sorot matanya seperti tidak percaya.

            “Jadi, kamu yang mencurinya?”

            “Iya, Mak. Saya melakukannya karena kesal dimarahi waktu mengambil mangga tanpa ijin. Makanya saya tukar telur itu dengan buah pinang.” Adin mengakui perbuatannya. Diliriknya Mak Gombong dengan sudut mata. Nenek tua itu menghela napas dan berkacak pinggang. Sejenak ia diam.

            “Pencurian, apapun alasannya tak bisa dibenarkan karena itu adalah kejahatan. Pelakunya harus diganjar hukuman. Sekarang kamu tinggal pilih, aku lapor sama orangtuamu atau...” Mak Gombong menuju samping rumah  dan mengambil sapu. Adin jadi ketakutan.

            “Mak, saya jangan dipukul. Saya mengaku salah dan minta maaf!”

            “Yang mau memukul kamu siapa? Aku hanya ingin kamu  bersihkan pekaranganku. Itu hukuman yang tepat untukmu.” Mak Gombong menyodorkan sapu itu pada Adin. Adin merasa lega. Dengan cepat disambarnya sapu itu. Dalam hati ia berjanji tak berbuat nakal lagi(*)


NB: Padang Ekspres, 8 Oktober 2008.
Foto: Gettyimages.com

Belati Di Balik Baju


Di tangannya, belati berkarat itu menjadi berkilat. Ketika jari kecilnya menyentuh ujung benda tersebut, terasa tajam menikam, siap merobek apa saja. Dicobanya menoreh  dinding kayu rumahnya. Seketika, torehan dalam pun terbentuk. Belum merasa cukup, ia mengambil kardus dan menusukkannya penuh tenaga. Sekali hentakan, kardus itu pun terbelah rapi.
            Ia menarik napas panjang. Ada raut puas di wajahnya. Tak sia-sia ia mengasah belati itu sepenuh hati.  Ini akan menuntaskan dendamku padamu, keparat! Desisnya.
            Ia menyeka peluh yang berjatuhan di kening. Pengap udara kamar tak sebanding dengan suasana batinnya yang terluka. Diacungkannya belati itu ke udara. Walau hanya bertangan kecil, tapi hasrat yang menguasai dirinya begitu besar.
            Tiba-tiba pintu depan diketuk dengan keras.
            “Odi! Odi! Kamu di mana?” suara perempuan itu terdengar di balik pintu. Dengan cepat ia menyembunyikan belati itu di bawah kasur tipis tempat ia dan ke dua adiknya tidur.  Ia tidak ingin perempuan itu tahu apa yang tengah dilakukannya. Setengah berlari ia ke ruang depan. Seketika pintu terkuak, perempuan yang baru pulang bekerja di tempat konveksi itu pun kontan berteriak.
            “Matamu kenapa lagi? Habis berkelahi?”
            Ia hanya diam dan memalingkan muka.
            “Kamu berkelahi lagi? Ayo, jawab!”   
            Aku tidak berkelahi! Aku habis dipalak! Jeritnya. Tentu hanya di dalam hati. Ia tidak ingin perempuan itu tahu masalah yang sedang ia hadapi. Tak ingin menambah beban pikirannya. Seharian ia banting tulang dengan hasil yang tak mencukupi, tak ingin ia tambah lagi dengan masalah ini. Kasihan dia. Dia tidak perlu tahu.
            Ibunya menarik napas dalam-dalam. Sebelum ia berbalik, lebih dahulu tangan perempuan itu  mencekal lengannya. Langkahnya pun terhenti.
            “Dengarkan Ibu, Nak! Ibu tak suka kau terus berkelahi. Kamu Ibu ijinkan untuk mengamen, bukan untuk berkelahi. Hidup kita sudah susah, jangan kau bikin makin susah!”
            “Aku tidak berkelahi.”
“Kau pasti bohong! Mengapa wajahmu lebam?”
Ia tahu perempuan itu pasti gundah. Akan lebih gundah lagi kalau ia tahu apa yang sebenarnya terjadi.  Makanya ia memutuskan diam saja.
            “Kalau masih saja berkelahi, kau tidak boleh lagi pergi mengamen. Lebih baik di rumah saja menjaga adik-adikmu. Ingat itu!” ujar perempuan itu dengan nada mengancam.
“Ya, aku janji. Ini tak akan terjadi lagi,” Ia berusaha melepaskan tangan ibunya dan masuk ke kamarnya yang sumpek dan pengap.
Ia baringkan tubuhnya di samping ke dua adiknya yang sudah hanyut terlelap, tepat di atas belati yang disembunyikan. Ia berusaha pura-pura tidur menghindari cecar pertanyaan. Tapi siapa yang bisa tidur dengan dada yang bergejolak? Amarah dan dendam di hatinya terus saja membakar, melebihi rasa nyut-nyutan di mata kiri. Tak bisa dibiarkan lagi. Keparat itu harus diberi pelajaran!
***
Tadi siang...
Terik matahari begitu bernafsu menjilati ubun-ubun. Perempatan jalan raya itu tetap gaduh seperti biasa. Hiruk pikuk. Bunyi klakson yang tak henti-henti bagai himne wajib kendaraan yang lalu lalang. Di mana ada keramaian, di sana berkumpul pemburu-pemburu receh. Mereka berputar-putar di sekitar traffic light menyongsong kendaraan yang dihadang lampu merah, berpindah dari satu kendaraan ke kendaraan lain, tak peduli bahaya yang mengancam.
            Yang papa menjual kemiskinannya, yang sakit fisik dan cacat mengandalkan penyakit dan ketakberdayaannya, yang banci menjual kegemulaiannya, yang bermodal kecil menawarkan asongannya. Sementara yang lain mengandalkan suaranya, tak peduli walau samber. Apa pun mereka lakukan agar tak kelaparan nanti malam dan bisa tidur tanpa perut keroncongan.
            Di salah satu sudutnya, seorang bocah kecil, bertubuh kerempeng, tengah mengusir rasa haus yang tadi mendera dengan sekantong plastik minuman dingin yang dijual pedagang es gerobak yang senantiasa nangkring di bawah jembatan layang. Sesekali peluh yang menetes di kening, ia seka dengan punggung tangannya. Haus hilang, lapar tetap bertahan. Sedetik ia pandangi kantong bekas bungkus permen yang berisi receh hasil ngamennya hari ini. Ia mengira isinya lebih dari hari biasa karena tadi ada wanita cantik melempar selembar limapuluh ribu padanya. Hari ini memang agaknya hari baik, makanya ia putuskan untuk membeli dua potong combro kesukaannya di penjual gorengan tak jauh dari tempatnya berdiri. Sisanya bisa ia bawa pulang.
            Tapi sayang, uang di tangannya hanya sebentar bertahan. Tatkala pulang, saat menyusuri labirin di pemukiman yang saling berhimpitan, ia di hadang oleh preman kampung bermuka ceper, berambut gondrong dan bergigi boneng. Walau cungkring tapi berperangai garang, dan tato aneka bentuk menghiasi tubuh bilah papannya. Dan dia pun tidak sendiri, ada beberapa cecenguk lain yang sealiran dan sepaham selalu mengintil ke mana dia pergi. Gerombolan itu lah yang menguras hasil jerih payahnya. Mereka hanya menyisakan lima ribu rupiah saja.
            Sungguh ia menyesali apa yang tadi telah terjadi. Mengapa Tuhan mempertemukan dia dengan si keparat itu? Padahal ia sudah memutar jalan tidak melewati gang yang biasa ia lewati. Tapi nasib sial cepat sekali menghampiri dan membuyarkan keberuntungan yang baru saja direguknya. Si Boneng dan teman-temanya justru berada di jalur yang ia pilih.  Dipalaklah ia untuk sekian kali.
            Keparat itu merasa jembatan layang yang tak jauh dari pemukiman itu masih wilayah kekuasaannya, makanya ia layak dapat bagian. Suka-suka saja ia menetapkan harga. Tapi kenapa kepada bocah-bocah tak berdaya seperti dirinya ia sok kuasa? Mengapa tidak kepada yang lain? Ia selalu berusaha melawan ketidakadilan ini. Akibatnya ia mendapat jatah berupa lebam ini.
            Salah besar kau Boneng, bila menganggap semua bocah adalah sama. Jangan kira aku tunduk begitu saja.
            Pintu kamarnya terkuak lagi. Si Ibu datang membawa segelas teh hangat dan sebaskom kecil air untuk mengompres memar di wajahnya.
            “Sini, Ibu kompres memar di wajahmu,” ujar perempuan itu dengan rasa kasih yang tak terbilang.
            “Tidak usah! Besok juga sembuh sendiri,” elaknya. Tapi si ibu terus saja membasahi sapu tangan dengan air hangat di baskom kecil.  Dilapnya bagian yang melebam di bagian mata kiri. Tak ada lagi kemarahan di wajahnya. 
Ia tak bisa mengelak. Ada kehangatan yang menjalar di dada kecilnya.
            “Kamu dan adik-adikmu sudah makan?”
            “Sudah,” jawabnya singkat. Perempuan itu pun menarik napas dalam-dalam.
            “Maafkan Ibu, seharusnya kamu tak perlu harus mengamen di jalan cuma untuk biaya sekolah tahun depan.”
            “Tak ada yang perlu dimaafkan. Ini semua keinginanku.”
            “Tapi berjanjilah kau tak akan berkelahi lagi. Lebih baik menghindar daripada dapat masalah seperti ini. Ibu tahu kehidupan di jalan keras. Tapi kau tak harus menjadi keras karenanya.”
            Ia terdiam.
            “Uang hasil ngamenmu tak dipakai untuk jajan kan? Kau harus menyimpannya untuk mewujudkan keinginanmu itu.”
            Ia tercekat. Kerongkongannya seperti tersumbat. Ia hanya bisa mengangguk lirih.
***
            Pagi itu ia keluar dari rumah dengan sebilah belati di balik baju. Sebuah masalah harus dituntaskan. Kalau bukan dia, siapa lagi yang bisa memberi pelajaran pada keparat itu? Di belantara kota ini, orang kecil seperti dirinya tak punya tempat untuk mengadu. Semua orang sudah punya masalah sendiri-sendiri. Dan kemarin sudah ia putuskan untuk menyelesaikannya dengan caranya sendiri.
            Ia sudah menimbang-nimbang semalaman. Kalau sampai Boneng celaka, dan akhirnya mati, tentu ia akan ditangkap polisi. Bisa-bisa berbulan-bulan ia dipenjara. Ah, lebih baik dipenjara dari pada hidup di luar tapi tak punya harga diri. Bukankah bapak semasa hidupnya mengatakan kalau orang yang tak punya harga diri sama saja ia sudah mati walau masih hidup? Dia juga mengajarkan,  anak laki-laki tak boleh  berjiwa pengecut. Ia masih ingat betul ucapan itu, karena itulah satu-satunya warisan yang dia tinggalkan.
            Ia bulatkan tekad. Walau terasa berat, ia terus melangkah cepat menyusuri gang di antara rumah-rumah yang saling berhimpitan. Mengunjungi tempat biasa Boneng dan komplotannya gentayangan. Hatinya sudah dirasuki dendam  untuk menuntut balas.
***
            Matahari semakin meninggi. Kesibukan warga kota semakin menjadi. Tapi kali ini ia  tidak mangkal di perempatan  menghadang kendaraan yang melintas dengan krecekan. Semenjak keluar dari rumah, tujuannya hanya satu, untuk bikin perhitungan dengan si Boneng.
            Tapi sampai menjelang tengah hari, keparat itu belum juga bisa ia temukan. Padahal ia sudah mencari ke mana-mana. Di sepanjang rel kereta, bantaran kali, gang- gang sempit Setia Kawan, Pasar, dan sampai terminal, tak tampak batang hidungnya.  Kemana keparat itu?
            Bulir-bulir keringat menetes di jidatnya. Belati di balik baju yang terbungkus kertas koran semakin mengganjal dan terasa basah di perutnya. Ia merasa gerah. Bukan karena matahari tapi karena rasa penasaran. Keparat itu, selalu bersua saat dihindari, tapi justru menghilang saat dicari. Ia berusaha sabar dan menenangkan dada yang berdentam karena dendam. Apakah keparat itu tahu rencananya? Apakah ia punya indera ke enam hingga bisa mengendus ancaman? Tidak mungkin! Tak mungkin dia diberkati anugrah seperti itu. Rupanya buruk, kelakuannya juga buruk. Dia bibit penyakit yang menggerogoti makhluk-makhluk yang lemah.
            Menjelang sore, hasilnya masih nihil. Akhirnya ia putuskan pulang dan melanjutkan pencarian esok hari. Anggap saja hari ini adalah hari mujur keparat itu. Kalau ibunya bertanya ia akan bilang sedang tak enak badan.
***
            Keesokan hari, dengan semangat yang masih sama, kembali ia pergi mencari. Kali ini harus dapat. Pelajaran untuknya harus dituntaskan, kalau tidak, dia akan terus semena-mena.  Ia yang bersusah-susah mencari kenapa harus keparat itu yang menikmati?
            Di ujung gang dekat bantaran kali, ketika hendak menuju ke terminal, ia disapa oleh seorang remaja laki-laki yang sama-sama mencari rejeki di perempatan.
            “Odi, kau nggak pergi ngamen?” tanya Pendi si pedagang koran.
            Ia menggeleng lemah.
            “Sakit? Wajahmu kurang sehat?”
            Ia kembali menggeleng.
            “Trus, mau kemana?”
            “Ada urusan!” jawabnya singkat. Berusaha mengelak dari pertanyaan lebih lanjut. Ia tahu, walau banyak omong, sebenarnya anak itu berhati baik. Tapi ia tak ingin meladeni. Ia punya urusan yang lebih penting untuk dilakukan. Degan gegas ia melangkah.
            “Eit, tunggu dulu! Ada yang mau aku omongin. Kau tahu si Boneng kan?”
            Ia tergeragap keparat itu disebut-sebut.  Tanpa sadar ia meraba belati di balik baju.
            “Keparat itu tadi malam mati. Dua orang temannya, lagi sekarat di rumah sakit. Mereka keracunan. Sekarang kita bakal aman. Tak ada lagi yang malakin anak-anak di perempatan.”
            “Apa?”  ia tersentak. “Keracunan?”
            “Mereka habis minum miras oplosan,” ujar Pendi lagi dengan wajah yang berbinar. “Senangnya! Mampus juga dia akhirnya.”
Anak itu pun meninggalkannya yang terpaku mendengar kabar itu. Antara tidak yakin dan percaya. Benar kah?
            Sungguh ia tidak tahu, ketika malam ia sibuk mengasah belati, si Boneng dan komplotannya juga sibuk berpesta. Mereka meracik minuman buatan sendiri. Rasanya lebih dashyat dari Tequila. Etanol dicampur minuman energi plus gingseng dan obat kuat. Uangnya berasal dari bocah-bocah yang berkeliaran di perempatan. Tak lama setelah minum, perut-perut mereka  meletup-letup seperti dibakar api. Mata melotot mulut pun  berbusa.
            Lama ia termenung di bibir kali. Ternyata ia kalah cepat. Tuhan justru lebih dulu bertindak.
 Akhirnya ia keluarkan juga belati itu dari balik baju. Tanpa pikir panjang, segera ia buang ke dalam kali. Sedetik kemudian benda itu menghilang dalam aliran yang menghitam bercampur sampah-sampah yang mengambang. Ia pun menarik napas dalam-dalam. Merasa ada yang tercerabut di dada. Kesumatnya seakan menguap seketika  (*).


Note: Padang Ekspres 3 Juli 2011, foto: gettyimages.com