Momon
menghela napas panjang dengan raut kecewa. Walau Ayah tak mengucapkan sepatah
kata pun, ia bisa menebak kalau Ayah tidak memenuhi keinginannya untuk
berdarmawisata ke Padang.
Padahal
ia ingin sekali melihat Batu Malin Kundang yang terkenal itu, bermain ombak,
atau mengunjungi museum Adityawarman. Sebenarnya ia sudah menabung jauh-jauh
hari tetapi uang yang terkumpul tidak mencukupi.
Keesokan
paginya, Momon dipanggil Ayah.
“Mon,
bantu Ayah ke ladang. Kita akan memetik buah kakao,” ujar ayah.
Sebenarnya
Momon malas, bukan karena ladang mereka jauh melintasi dua punggung bukit, tapi
kecewa karena tidak bisa ikut acara darmawisata.
Tak
lama kemudian mereka berjalan beriringan. Di ladang tampak buah-buah kakao
menggantung di dahan rimbun. Sebagian sudah siap petik.
“Tugasmu
mengumpulkan dan memasukkannya ke dalam karung,” ujar Ayah. Momon mengangguk
pelan. Ayah mulai sibuk memilih-milih buah kakao.
Menjelang
tengah hari, satu karung sudah terisi penuh. Ketika sampai di satu pohon yang
agak tinggi, Ayah melihat beberapa buah kakao berwarna kekuningan di sela-sela
dahan. Ayah menjangkau, tetapi tangannya tak sampai. Ayah berusaha meloncat
untuk memetiknya.
Momon
melihat sesuatu jatuh dari kontong baju Ayah. Selembar uang limapuluh ribu
setengah tergulung. Momon terkesiap, ternyata Ayah punya uang!
Ayah
bohong! Kemarin beliau bilang tak punya uang.
“Wah,
yang ini besar sekali!” ujar Momon menghampiri Ayah dan menimbang-nimbang buah
kakao itu. Tetapi, kaki kanannya menginjak uang itu. Ia berdiri di sana
beberapa saat.
Menjelang
sore ketika mereka mau pulang, Ayah menyadari uangnya tidak ada lagi.
Dirogohnya semua kantong.
“Hilang?
Berapa?” tanya Momon pura-pura kaget. “Ayah yakin tadi bawa uang?”
“Yakin.
Ayah tadi memasukkan limapuluh ribu ke saku baju. Uang itu untuk bayar becak
motor mengangkut kakao ini nanti,” wajah Ayah terlihat bingung. “Jangan-jangan
jatuh di sekitar sini. Ayo, bantu Ayah mencarinya.”
Mereka
mulai mencari di sekitar ladang. Tentu saja uang itu tidak ditemukan. Momon
terlihat sibuk mencari kesana-kemari. Akhirnya Ayah menyerah.
“Mon,
mau tak mau, dua karung kakao ini terpaksa kita bawa pulang dengan jalan kaki,”
ujar Ayah pada akhirnya.
Wajah
Momon langsung berubah. Tak terbayangkan ia berjalan melintasi dua punggung
bukit di tambah berjalan dua kilo membawa kakao. Tetapi mengingat darmawisata
ia pun menyanggupi.
Ayah
memanggul satu karung yang lebih besar, ia
membawa karung yang lebih kecil. Setibanya di kaki bukit dekat pinggir
jalan desa, tiba-tiba Ayah berhenti.
“Aduh,
perut Ayah sakit sekali!” Ayah meringis kesakitan sembari meletakkan karung di
rerumputan. Wajahnya pias menahan sakit. Momon pun jadi kalut. Tidak tahu berbuat
apa.
“Mon,
Ayah tidak bisa mengangkut karung ini. Jadi begini saja, kau angkat karung ini
pulang. Ayah tunggu di sini,” perintah Ayah.
“Tetapi,
Yah, karung ini, kan, berat? Momon tak sanggung.”
“Kamu
angkut tiga kali atau empat kali jalan. Kamu pasti kuat memikulnya, ujar Ayah
lagi. Momon terdiam. Itu berarti ia berjalan lebih jauh.
“Yah,
biar lebih enteng, kita belah di sini saja. Bijinya saja yang kita bawa
pulang,” Momon memberi usul.
“Tidak,
di rumah saja!” Ayah bersikeras.
Tak
terbayangkan beratnya tugas yang diperintahkan Ayah. Mau tiak mau harus ia
lakukan. Ah, tak apa-apalah demi acara darmawisata, pikirnya.
Menjelang
magrib, Momon selesai bolak-balik membawa buah kakao pulang. Tangan dan kakinya
terasa pegal. Tetapi, Ayah masih merintih menahan sakit. Momon mulai khawatir.
“Ayah
sudah minum obat?” tanya Momon.
“Belum.
Andai saja uang Ayah tidak hilang, pasti bisa beli obat juga,” ujar Ayah pelan.
Tiba-tiba
Momon merasa sangat bersalah. Betapa pentingnya uang itu bagi Ayah. Kenapa ia
begitu tega mengambilnya demi acara darmawisata? Lebih baik ia mengaku saja.
Tetapi, ia bimbang. Takut Ayah akan marah besar.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia pun
berkata jujur. Itu lebih baik daripada nanti Ayah menanyakan dari mana ia dapat
uang ikut darmawisata.
“Yah,
aku memang salah. Aku siap menerima hukumannya.”
Tiba-tiba
Ayah tersenyum. “Ayo, kita pulang. Sebentar lagi magrib. Soal hukuman, kau
sudah melaksanakannya. Ayah sudah tahu kalau kau yang menemukan uang Ayah dan
mengantonginya.
Momon gelagapan. Jadi, Ayah sebenarnya tahu dan pura-pura
sakit untuk menghukum kecurangan yang ia lakukan?
Tiba-tiba ia jadi malu
hati. Sepanjang perjalanan pulang, Momon hanya menundudukkan kepala, tidak
berkata sepatah kata pun.
Ketika hampir di rumah,
Ayah mengeluarkan uang lima puluh ribu tadi. “Kamu masih ingin pergi
berdarmawisata? Anggap saja ini upahmu mengangkat kakao,” ujar Ayah menyodorkan
uang itu.
“Terimakasih, Yah!” ujarnya. “aku berjanji tidak akan
berbuat curang lagi.”
“berjanjilah kepada Tuhan, Nak. Karena Dia tahu setiap
perbuatan yang kamu lakukan.”
Momon tersipu malu.
NB
Dimuat di KOMPAS Anak Feb 2011
0 komentar:
Posting Komentar