Dalam hidupku, baru empat kali kulihat ia mengeluarkan air
mata. Namun itu bukanlah ekspresi kesedihan yang mengguncang perasaannya, tapi
wujud rasa haru atas kebanggaan seorang laki-laki. Pertama, ketika aku lulus
kuliah. Kedua, saat adikku, Iwang, mengikuti jejakku, diwisuda. Laki-laki mana
yang tidak bangga dengan keberhasilan anak-anaknya menempuh pendidikan dengan
prediket cum laude? Ketiga, saat aku
menikah. Mata ayah tampak berkaca-kaca ketika aku mencium tangannya
sebelum prosesi ijab kabul dilaksanakan. Sang penghulu memintaku untuk memohon
restu pada orangtua kami. Aku melihatnya menghapus setetes butiran bening yang
keluar di sudut matanya untuk kemudian mengalihkan perhatian dengan tersenyum
sebaik mungkin. Dan terakhir, ketika Iwang, kembali mengikuti jejakku enam
bulan yang lalu dengan mempersunting pujaan hatinya. Mata ayah, tidak hanya
berkaca-kaca, tapi berlinangan. Bagi orang-orang yang melihat pada saat
itu, mungkin mengira ayah seorang laki-laki tua sentimentil yang tak mampu
menyembunyikan perasaan. Tapi tidak bagi anaknya, aku tahu persis makna yang
mengiringi tetesan air mata itu. Air mata seorang laki-laki sejati.
Mungkin kau akan membantahnya dengan premis yang lebih masuk
akal. A man doesn’t cry. Tapi aku juga punya alasan sendiri mempertahankan
pendapatku. Belasan tahun lalu, ketika peristiwa paling menyedihkan dalam
keluargaku terjadi, laki-laki itu sama sekali tidak menangis. Setegar batu
karang ia menghadapinya, menenangkan aku dan Iwang agar tidak larut dalam
kesedihan yang berkepanjangan. Di usiaku yang baru sebelas tahun dan Iwang,
sembilan, kami ditakdirkan jadi piatu. Dan ayah menyandang status duda di usia
yang ke 38. Kematian ibu sungguh mendadak waktu itu. Masih lekat di ingatan,
ibu baru saja pulang menghadiri sebuah acara temu ilmiah di Yogyakarta selama
seminggu. Ia merasa tidak enak badan dan tahu-tahu meninggal. Perkiraan dokter,
ibu mengalami keletihan. Aku dan Iwang terguncang. Tapi ayah begitu kuat dan
tabah, bahkan saat jasad ibu dimasukkan ke liang kubur, ayah terlihat tegar.
Sedih, sudah pasti, dan itu terlihat di wajahnya. Tapi tak setetespun air
matanya keluar. Saat kami berdua sesunggukan di pusara ibu, ayah menuntun kami
melafazkan doa-doa agar ibu dilapangkan kuburnya dan diterima di sisiNya.
Ketenangannya sungguh luar biasa waktu itu.
Sebagian orang menganggap laki-laki sejati tak perlu menunggu
waktu lama untuk mencari pendamping setelah ditinggal mati oleh istrinya. Cinta
hanyalah untuk orang yang masih hidup. Tapi ayah memilih kami sebagai ladang
cintanya. Ia rela sebagai orang tua tunggal dengan menempatkan diri menjadi
ayah dan ibu sekaligus. Sebagai kepala rumah tangga, ia mencari nafkah
menghidupi dan mencukupkan segala kebutuhan kami. Sebagai ibu, ia memasak,
mencuci, membersihkan rumah, dan urusan yang kecil-kecil lainnya sampai aku dan
Iwang cukup mampu mengerjakan urusan rumah sendiri. Itu adalah tahun-tahun
tersulit baginya, tapi tak pernah sekalipun aku melihatnya mengeluh.
Aku juga masih ingat, kedatangan seorang nenek tak berarti
kami bisa lepas dari tugas-tugas rumah tangga, walau nenek suka prihatin
melihat kami mengerjakan tugas-tugas rumah. Ayah melarang nenek mengambil alih
tugas-tugas itu dan sering kali kulihat mereka berdebat, sampai-sampai nenek
menyuruh ayah menikah lagi supaya ada yang mengurus kami. Namun ayah selalu
bergeming. Sepanjang yang aku tahu, ayah memang tak berkehendak menikah lagi.
Tak pernah kulihat gelagat atau pun usahanya mencari istri. Bisa jadi ia belum
bisa melepaskan bayang-bayang ibu. Buktinya hampir tiap bulan ia punya ritual
mengunjungi makam ibu di tanggal kematiannya. Dulu, aku senang melihat
kesetiaan ayah, tapi semakin beranjak dewasa aku melihatnya sebagai seorang
lelaki yang mempunyai cinta yang absurd pada orang yang sudah tiada. Sebenarnya
kalau ayah hendak menikah lagi, aku dan Iwang tidak keberatan. Tapi ayah
tetaplah ayah yang punya pemikiran tersendiri yang tak bisa kumengerti. Mungkin
ayah terinspirasi kisah Syah Jehan pada Mumtaz Mahal. Untung saja ayah bukan
raja. Kalau tidak, barang tentu ia akan membangun istana di makam ibu.
Dan sekarang di usianya yang senja, ayah hidup sendiri. Walau
sudah kami bujuk, ia tak ingin tinggal bersamaku, atau Iwang. Katanya, ia
tak mau menjadi beban anak-anaknya.
“Hidupku di sini, di kota ini! Bukannya aku tak mencintai kalian,
tapi kalian sudah punya kehidupan sendiri-sendiri.”
“Tapi kalau Ayah bersama kami, akan ada yang mengurus.”
“Aku bisa mengurus diri sendiri. Tidak kau lihat selama ini
aku terbiasa mengerjakan apa-apa sendiri?”
“Kalau ada apa-apa bagaimana?”
“Bagaimana apanya?” sorot mata itu begitu tajam seakan-akan
menghakimiku punya pemikiran yang tidak-tidak.
“Bukannya aku mengharapkan hal buruk, tapi di sini ayah
sendiri, tak ada siapa-siapa.”
“Percayalah! Aku baik-baik saja.”
“Jangan bilang kalau Ayah tinggal bersama kami, Ayah tak lagi
bisa ke makam ibu.”
Ayah tergelak mendengar penuturanku. Sejenak ia menarik napas
dalam dan menghembuskannya dengan perlahan.
“Asal kau tahu, aku sudah tak melakukannya lagi semenjak hari
pernikahan Iwang. Jadi sudah enam bulan ini aku berhenti mengunjungi makam
ibumu.”
Alisku nyaris bertaut.
“Kenapa?”
“Tugasku sebagai ayah sudah selesai. Bagiku, membesarkan
kalian, menyekolahkan kalian, dan menikahkan kalian bukan saja tanggung jawab
tapi sekaligus merupakan hutangku pada mendiang ibumu. Nanti, kalau aku mati
dan bertemu dengannya, aku bisa mempertanggungjawabkan amanah yang ia
tinggalkan. Semua telah kutunaikan. Sekarang, aku laki-laki bebas. Biarkan aku
dengan kesendirianku,” ujar ayah seraya memandangku tanpa kedipan. Aku
tercekat.
“Tak ingin Ayah dekat dengan cucu?”
“Semua kakek tentu ingin dekat dengan cucunya! Tapi bukan
berarti harus tinggal bersama-sama. Kalau kalian rindu, kalian bisa datang
kemari. Dan bila aku merindukan kalian, aku juga bisa mengunjungi kalian. Aku rasa
itu yang terbaik.”
Aku terdiam. Bagaimana mungkin aku membiarkannya sendiri
sedangkan aku dan Iwang berada jauh darinya? Tak mungkin kami kembali ke sini.
Kami punya kehidupan di ibu kota. Pekerjaanku di sana, dan bisa jadi masa
depanku juga. Di sini hanyalah masa laluku. Tapi ayah tak berkehendak
meninggalkan rumah ini, kota ini, untuk tinggal bersama kami.
Di rumah kecil ini, ayah dan ibu memulai kehidupan mereka
hingga lahir aku dan Iwang. Di sini kami dibesarkan. Di kota ini aku bersekolah
hingga kuliah. Tak akan pernah terhapus dalam ingatan bagaimana dulu ayah
mengantar kami ke sekolah dengan motor Astrea bulannya setiap pagi. Dari SD
hingga SMP, kami memang selalu diantar, hingga suatu saat jok motor itu tak
mampu lagi menahan bobot kami yang semakin berat. Lagi pula aku sudah mulai
merasa malu untuk diantar. Ajaibnya, motor itu sampai detik ini dalam kondisi
baik dan terawat dan masih dikendarai ayah kemana pun ia pergi. Ayah tak mau
menggantinya dengan motor baru, padahal kalau ingin ia tinggal bilang saja.
Kesepian. Jauh dari anak-anak, tentu merupakan keadaan yang
tak menyenangkan sebetulnya. Tak ada orang terdekat yang bisa diajak diskusi
masalah apa pun. Dulu, ayah senang sekali membahas topik-topik yang lagi hangat
diberitakan media massa, atau betapa serunya begadang nonton bola bersama. Tapi
sekarang? Hanya kekerasan hatinya saja mempertahankan kehidupan yang sarat
masa lalu ini dan aku tak mampu melunakkannya.
***
“Apa boleh buat kalau memang itu yang diinginkannya,” ujar
Iwang dengan wajah pasrah. “Aku juga sudah berulang kali membujuknya, tapi
ia tetap saja tidak mau. Kalau ia senang dengan kesendiriannya, kita tidak bisa
memaksa.”
“Justru itu yang jadi pikiranku. Mana ada orangtua yang
senang hidup sendiri? Jauh dari anak dan cucu tentu akan membuatnya
kesepian. Tapi Ayah tak mau mengakui itu karena tak ingin menjadi beban.
Bukankah sudah seharusnya begitu?”
“Tapi itulah Ayah. Menurutku, sebaiknya kita ikuti saja apa
maunya. Kalau ia tak ingin melepaskan semua kenangan untuk tinggal dengan kita
secara bergantian, kita tidak bisa memaksa. Terserah Ayah sajalah.”
“Tega kau membiarkan Ayah hidup sendirian? Sementara kita
jauh di rantau?”
“Bukan soal tega atau tidak, tapi soal pilihan Ayah. Kita
sebaiknya menghormati pilihannya,” ujar Iwang menyikapi pendirian ayah.
Aku menghela napas dalam-dalam Sepanjang hidupku ini, masih
belum bisa mengerti jalan pikiran beliau. Apa yang membuatnya terus bertahan
hidup sendirian di kota kecil jauh dari kami anak-anaknya? Kalau ia mau, tentu
hidupnya jau lebih enak dan nyaman bersama kami.
“Belum tentu apa yang menurut kita bagus, juga bagus menurut
Ayah, “ ujar Iwang seakan menyadarkanku atas pemikiranku selama ini.
***
Malam itu aku tengah asyik bercengkrama dengan putri kecilku.
Saat pulang kerja merupakan saat yang paling menyenangkan karena bisa bermain
dengan anak hingga melepaskan diri dari rutinitas kerja yang kian hari
kian menumpuk. Saat itulah aku menerima telepon dari ayah. Dari nada suaranya
aku merasa beliau sehat dan ceria. Tawanya terdengar lepas.
“Ayah baik-baik saja?” tanyaku saat itu. Ayah terdengar
tertawa lagi dan berkata ia baik-baik saja, bahkan jauh merasa lebih baik
belakangan ini.
“Tak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawabnya terdengar begitu
bersemangat di telingaku. “Aku menelponmu karena ada sesuatu yang ingin aku
katakan. Tapi sebaiknya kita membicarakan hal ini secara langsung. Tak pantas
rasanya aku memberitahumu lewat telepon.”
“Jadi aku harus pulang?”
“Sebaiknya begitu.”
“Pentingkah?”
“Bagiku ini penting.”
“Katakan saja, biar aku tidak penasaran!”
“Hm, aku akan menikah!”
“Apa? ” aku kaget. HP di tangan nyaris terlepas. Sungguh tak
menyangka apa yang ia sampaikan. Ayah mau menikah?
“Iya, aku akan menikah. Makanya kau dan Iwang harus pulang.
Sekalian nanti kalian akan kukenalkan dengan ibu baru kalian.” Terdengar
suaranya begitu santai dan nada bahagia layaknya seorang pria yang mau berumah
tangga, begitu mantap di telingaku. Aku tercenung. HP yang aku pegang sekarang
benar terlepas dari genggaman.
***
Perhelatan akad nikah sudah dimulai. Rumah kecil ini seakan
tak mampu menampung orang yang hadir. Aku dan Iwang duduk satu baris dengan 4
calon saudaraku, anak dari Ibu Lili, calon ibuku, pendamping ayah. Ayah
tampak gagah dengan setelan jas biru gelap dan peci hitam. Sesekali ia
tersenyum ke arah kami. Sementara Ibu Lili tampak malu-malu dan lebih banyak
menundukkan kepala di samping ayah. Usianya juga tidak lagi muda, tapi di
mataku tampak sepadan dengan ayah. Sesekali anaknya menggoda ibunya. Sang
penghulu yang usianya lebih muda dari ayah juga terlihat agak sungkan, bahkan
tampak sedikit tegang. Mungkin tak biasa menikahkan pasangan yang usianya
lebih tua darinya. Sebentar-sebentar ia memeriksa berkas-berkas yang ada di
tangannya.
“Hmm, baiklah, tampaknya semua persyaratan administrasi sudah
lengkap. Apakah bisa kita mulai saja akad nikahnya?” ujar pak penghulu yang
kemudian dijawab hampir serentak oleh orang-orang yang hadir.
Lantunan ayat suci mengawali prosesi pernikahan ayah yang
dibacakan oleh perempuan muda yang ternyata anak ibu Lili, calon saudaraku.
Suasana tampak begitu hening ketika suaranya yang merdu melantunkan ayat suci.
Kemudian prosesi langsung berlanjut ke acara inti, tak ada upacara mohon doa
restu seperti aku dan Iwang dulu. Seorang laki-laki sepantaran pak penghulu
bertindak sebagai wali nikah Bu Lili, yang ternyata adiknya sendiri. Akad nikah
itu pun dimulai.
Suasana semakin hening dan khidmat, dan aku rasa jauh lebih
khidmat dibanding pernikahanku dulu. Tampak ayah dan lelaki itu saling berjabat
tangan.
“Saudara Imran Maulana Bin Abdurrahman, saya nikahkan dan
saya kawinkan saudara dengan kakak saya yang bernama Lili Nuryana dengan mas
kawinnya berupa seperangkat alat shalat, tunai…” ucap lelaki itu dengan suara
bergetar tapi terdengar jelas tanpa salah.
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Lili Nuryana binti Ahmad
Zarkasi dengan mas kawinnya yang tersebut, tuunaaii!” jawab ayah dengan
intonasi yang jelas dan mantap di tengah keheningan orang yang hadir.
Sang Penghulu melirik pada saksi-saksi yang hadir.
“Sah ! Saaah!!” ujar para saksi.
Ketika Penghulu mengucapkan beberapa patah kata, aku tak
menyimak lagi. Aku hanya menatap wajah ayah yang tampak dibalut bahagia.
Bibirku tiba-tiba bergetar dan dadaku bergemuruh hebat. Tak percaya rasanya ini
sungguh-sungguh terjadi. Pikiranku melayang-layang mengenang kembali kehidupan
kami di masa silam. Bagaimana ia membesarkan kami seorang diri. Sebagian besar
waktunya dihabiskan untuk mengurus kami. Tak sekalipun ia memikirkan diri
sendiri. Dan sekarang, di saat kami sudah berkeluarga, baru ia memikirkan
kepentingannya sendiri. Tiba-tiba aku ingat ucapannya tempo hari:
“Tugasku sebagai ayah sudah selesai. Bagiku, membesarkan
kalian, menyekolahkan kalian, dan menikahkan kalian bukan saja tanggung jawab
tapi sekaligus merupakan hutangku pada mendiang ibumu. Nanti, kalau aku mati
dan bertemu dengannya, aku bisa mempertanggungjawabkan amanah yang ia
tinggalkan. Semua telah kutunaikan. Sekarang, aku laki-laki bebas…”
Kutatap wajahnya yang bahagia. Mungkin inilah saat yang ia
tunggu dalam hidupnya, memulai kehidupan yang baru. Ketika aku memeluk erat
dirinya memberi ucapan selamat, entah mengapa air mataku menggenang dan jatuh.
Dulu ia melepas kami dengan air mata, sekarang aku juga melepasnya dengan
linangan air mata. Ayah, semoga engkau hidup bahagia….
Foto: Gettyimage.com
0 komentar:
Posting Komentar