Di ruang gawat darurat
itu, seorang lelaki muda berbadan tegap terbaring lemah. Bola matanya menatap
langit-langit, tapi jelas pikirannya tak di sana. Sesekali ia mengerang, merasa
sakit nan hebat di tengkuk. Sejak masuk UGD sejam lalu, mulutnya tak berhenti
komat-kamit. Mungkin saja melafaskan doa-doa yang ia ingat agar deritanya
segera pergi. Wajahnya lebih menyerupai orang ketakutan.
Tapi sakit yang ia
rasakan bukan mereda, malah semakin kuat menusuk-nusuk. Seakan ada ribuan jarum
menghujam lehernya. Sakitnya sampai ke kepala. Dipanggilnya perawat jaga untuk
kesekian kali.
“Pak Danu istirahat
saja. Semua akan baik-baik saja. Percayalah!” ujar si perawat. Ia sungguh
heran. Dalam pemeriksaan tadi, ia tak menemukan masalah apa pun. Tekanan darah
dan denyut jantungnya normal. Begitu juga suhu tubuh, gerak reflek, mata,
lidah, semua sehat. Tapi pria itu terus merasa kesakitan dan ketakutan. Ia
merasa dunianya akan segera berakhir. Sepertinya ia melihat malaikat maut sudah
menari-nari di pelupuk matanya
.
“Suster, dokternya,
mana? Saya tak kuat lagi. Sepertinya saya akan mati.”
“Jangan begitu. Hidup
dan mati bukan urusan manusia. Tuhan yang menentukan. Sebentar lagi dokter akan
datang.”
“Dari tadi sebentar
lagi! Cepatlah, Suster! Saya takut.”
“Tak perlu takut! Bapak
kan sudah di rumah sakit sekarang!”
“Tapi mengapa tak
segera diobati? Kasih obat atau apa supaya sakit di leher saya reda.”
“Nanti dokter yang
menentukan tindakan apa yang harus diambil.”
Laki-laki itu terus
mengerang. Segala perasaan berkecamuk di dadanya. Dalam kesakitan ia merasa tak
dipedulikan. Suster muda yang sepertinya baru lulus itu meninggalkannya
sendirian di ruang gawat darurat.
♦♦♦
“Sebelum ini, apa ia
pernah punya penyakit lain?” dokter bertanya.
“Tidak pernah. Sebelum
kejadian itu, ia sehat-sehat saja, bahkan kemarin pagi masih sempat main bola
dengan pemuda di komplek perumahan,” ujar perempuan bernama Lani itu.
“Kejadian apa?”
Lani terdiam. Dengan
malu-malu ia menjawab.
“Makan sate kambing.
Dua puluh tusuk dihabiskan sendiri. Ia seperti kesetanan.”
“Cuma itu?”
“Belum termasuk
semangkuk sup iga sapi, dan empat potong besar Blackforest. Sebelumnya juga
menyantap satu loyang pizza ukuran medium.”
Dokter mangut-mangut.
Membaca lebih teliti lagi hasil diagnosa.
“Apakah parah, Dok?
Tidak perlu rawat inap kan?”
Dokter hanya
tersenyum, kemudian menggeleng. Perempuan itu menarik napas lega. Gurat
khawatir lenyap dari wajahnya. Sebenarnya ia lebih khawatir uangnya, dari pada
kondisi suami. Ketika diajak pulang, pria itu tidak mau, ngotot di rumah sakit.
Minta dicek darah segala. Lani mengancam tidak akan menanggung biayanya kalau
ia bersikeras tinggal di rumah sakit. Sembari terus memegangi leher, ia
akhirnya pulang. Dokter hanya memberinya selembar resep.
Beberapa hari ia hanya minum air putih saja. Nafsu
makannya menghilang. Badannya mulai melemah. Yang muncul malah ketakutan
melihat makanan. Lani walau terus merepet tapi masih mau melayani. Ia
membuatkan bubur agar suaminya mau makan. Tapi Danu tetap menolak.
“Bubur itu tidak akan membuatmu terserang
stroke atau penyakit jantung. Cuma dari beras dan sedikit santan dan garam.”
“Santan itu
kolesterol, garam itu bisa menyebabkan hipertensi. Aku tidak mau.”
“Aku heran. Semenjak
kapan kau begitu peduli dengan kolesterol? Bukankah selama ini kamu makan apa
saja yang kamu mau?”
“Karena itu aku jadi
sakit. Aku harus lebih berhati-hati!”
“Tapi tidak berarti
kamu berhenti makan sama sekali. Ayolah, walau sedikit biar ada tenaga.”
“Aku tidak mau!”
“Lantas maumu apa?”
Danu tak menjawab. Perempuan itu semakn bingung dan jengkel.
“Kalau tak mau, nanti
sakitmu tambah parah. Air saja tak akan bisa menyangga hidup. Kamu harus makan.
Aku belikan buah ya? Kamu mau apa? Pisang, jeruk, atau apa?”
“Yang tidak ada
kolesterolnya.”
“Buah-buahan tak ada
yang mengandung kolesterol, kecuali durian. Baiklah aku belikan pisang saja.”
“Anggur kalau begitu.”
♦♦♦
Seminggu, dua minggu,
sebulan, dua bulan. Penyakitnya tak kunjung sembuh. Tak puas dengan dokter yang
satu, ia pindah ke dokter yang lain, mulai yang umum sampai spesialis. Tapi tak
satu pun yang bisa menentukan dengan pasti, ia sakit apa. Berat badannya turun
drastis. Jangankan makan, melihatnya saja ia sudah ketakutan. Membuat pusing
dan sakit belakang leher semakin menjadi. Lani semakin bingung dan frustasi. Ia
tak habis mengerti apa yang telah terjadi pada suaminya. Mengapa ia bisa
menjadi hypochondria? Merasa ketakutan yang tak beralasan akan kesehatannya?
Padahal Danu adalah laki-laki sehat. Sepuluh tahun pernikahan mereka bisa
dihitung jari ia terserang sakit, itu pun penyakit ringan seperti demam, batuk,
atau influenza. Badannya yang tegap atletis itu selalu terjaga. Tiap minggu tak
pernah absen berolah raga. Jogging atau sekedar main sepak bola dengan warga
komplek sering ia lakukan. Tapi mengapa hanya dengan makan sate kambing tempo
hari langsung tepar? Mengapa sekarang jadi ketakutan melihat makanan, padahal
sebelumnya ia doyan makan?
♦♦♦
“Sebenarnya kamu sakit
apa sih?” Kalimat itu terlontar saja ketika suaminya mulai mengeluhkan
penglihatannya yang mulai mengabur dan merasa otot matanya mengeras. Ia takut
mengalami kebutaan.
Danu tak menjawab.
Bersandar di sofa dan wajahnya mengerut. Walau cuma berjarak satu meter lebih,
ia menatap Lani dengan tatapan tak fokus. Matanya menyipit.
“Kau tak merasa apa
yang aku derita. Kau pikir aku mau begini?”
“Tapi bukankah dokter
bilang sebenarnya kamu tidak apa-apa? Tak ada yang salah dalam dirimu.
Sebenarnya kamu sehat-sehat saja.”
“Sehat? Tak kau lihat
aku jadi kurus dan lemah begini?”
“Itu karena kamu tidak
makan-makan. Kamu hanya dilanda ketakutan yang tak beralasan. Takut inilah,
takut itulah! Kamu sendiri yang cari-cari penyakit. Sudah berapa banyak biaya
yang telah dikeluarkan? Tapi sakitmu malah bertambah.”
“Jadi uang bagimu
lebih penting?”
“Ya, bukan begitu!
Setidak-tidaknya kamu menunjukan semangat untuk sembuh. Lagi pula kamu juga
harus mengerti. Pekerjaanku akhir-akhir ini sudah bikin capek, belum lagi
mengurusmu.”
Danu terdiam. Hening menyelimuti. Menyesal
juga Lani telah mengutarakan isi hatinya. Pria itu tersinggung. Tanpa bicara
lagi ia bangkit dan tertatih-tatih menuju kamar. Ketika Lani berusaha membantu,
dengan cepat Danu menepiskan tangannya.
“Tak usah! Urus dirimu
sendiri saja!”
♦♦♦
Laki-laki tua
berpakaian hitam dan berjenggot lebat itu komat-kamit. Sejenak ia membisikkan
sesuatu ke telinganya. Tiba-tiba saja ia membelalakan mata. Wajahnya menegang.
“Siapa yang
melakukannya?”
Laki-laki tua itu pun
kembali membisikkan sesuatu, dan kali ini membuat ia tak bisa bernapas. Ingin
ia tak mempercayai, tapi laki-laki tua itu begitu jelas menyebut ciri-ciri si
pelaku. Segenap hatinya luruh. Mengapa ia begitu tega melakukan semua ini?
Laki-laki tua itu
mengelus jenggotnya yang lebat. Tiga cincin berbatu akik besar menghiasi
jemarinya yang keriput. Dengan penuh takzim ia menyimak setiap penjelasan namun
dadanya turun naik seperti menyimpan amarah.
“Lihatlah ke belakang,
apakah kamu tidak pernah menyadari awan hitam selalu menutupi hidupmu? Betapa
sering kau dilanda nasib sial berkepanjangan? Ada pihak ke tiga yang ingin
mengacaukan hidupmu. Ia tidak saja membuatmu susah, tapi juga ingin
menyingkirkanmu. Ah, tentu kau tak bisa melihatnya. Asal kau tahu penyakitmu
ini adalah akibat guna-guna,” ujarnya meyakinkan.
Danu semakin
terhenyak. Kalimat terakhir itu seakan menyadarkannya untuk mengetahui hal yang
tak pernah terpikirkan selama ini. Pantas penyakitnya tak kunjung terobati.
Pantas selama ini ia dibelenggu oleh kesialan-kesialan yang tak berujung.
Betapa bodohnya ia tak menyadari semua ini. Betapa bodohnya ia telah tertipu
dan dipermainkan!
♦♦♦
Malam itu Lani baru
saja pulang meeting dari kantor. Berhubung ada launching produk baru, maka
rapat marketing memakan waktu lama. Sedari tadi ia ingin cepat pulang karena
kondisi suami yang sedang sakit. Tapi karena rapat yang mendesak, ia hanya
memberi tahu lewat pesan pendek. Namun baru saja ia berada di pintu masuk
rumahnya, Danu sudah berdiri di ambang pintu sembari mengacung-acungkan belati
yang mengkilat terhunus.
“Dasar sundal!
Perempuan berhati iblis! Tega-teganya kau mengkhianati! Kau pikir aku tak tahu
apa yang telah kau perbuat. Kau main serong! Kau mengguna-gunaiku! Dasar
perempuan laknat! Kau pantas mati di tanganku!” ujar Danu mengacungkan
belatinya.
Lani terperanjat.
Ketakutan meyergapnya tiba-tiba melihat sang suami seperti kesetanan. Secara
insting ia mengelak dan berusaha menyelamatkan diri tanpa sempat terpikir
kenapa suaminya menyerang tiba-tiba. Danu terus mengejarnya.
Warga komplek itu pun
heboh karena teriakan seorang wanita minta tolong yang memecah kesunyian malam.
♦♦♦
Perempuan malang itu
menangis pilu. Ketakutan masih menyelimuti pikirannya. Kalaulah tak dibantu
oleh beberapa tetangga, pasti nyawanya sudah melayang!
Sepuluh tahun menikah,
ia sudah hafal sifat sang suami. Ia adalah laki-kali penyabar. Apa pun masalah yang
terjadi ia selalu bisa menghadapinya. Lani tahu, keberuntungan memang tak akrab
dengannya. Sering jatuh bangun. Setiap pekerjaan yang ia geluti, selalu
berakhir dengan PHK.
Beberapa waktu lalu uang hasil pesangon yang diterima dari
perusahaan terakhir tempatnya bekerja lenyap tertipu bisnis el-em-em. Ia masih
terlihat tabah. Sekarang, walau cuma jadi supir taksi tembak ia pun tak malu.
Begitu banyak cobaan yang ia alami. Kalau tak dikaruniai keturunan pun termasuk
sebagai cobaan hidup, ia masih bisa menerima keadaan itu.
Tapi atas kejadian
yang baru saja ia alami, ia sama sekali tak menduga. Apa yang telah terjadi?
Apa ia telah gila? Air matanya tak bisa dibendung lagi. Walau selamat dari
amukan, hatinya hancur(*)
Note:
Cerpen ini pernah
dimuat di harian Padang Ekspres Okt 2010. Foto: gettyimages.com
0 komentar:
Posting Komentar