Apa Sih, Yang Tak Bisa Dilakukan Demi Cinta

Demi cintanya, Jamie Nieto melakukan keajaiban pada saat hari pernikahannya. ia mampu menggerakkan kakinya yang lumpuh!

Pelayan yang Baik Hati dan Laki-Laki Tua Bertangan Buntung

Pelayan restoran cepat saji ini sungguh berhati mulia. Apa yang ia lakukan mendapat pujian dari netizen di seluruh dunia.

Gelandangan yang Menjadi Pahlawan

Meski gelandangan, wanita ini telah menyelamatkan sebuah toko kosmetik dari kemalingan. Ia pun mendapat banyak simpati dari netizen

Dahulu Baralek, Sekarang Pesta

Banyak perbedaan yang kita temui dalam acara baralek atau yang disebut pesta antara Zaman dahulu dengan Zaman sekarang. Apa saja perbedaan itu, yuk, disimak artikelnya.

Anda Pasti Terharu, Mengapa Pemilik Restoran Ini Menutup Usahanya

Dia adalah laki-laki istimewa dan sangat disayangi para pelanggan. Sesuatu tiba-tiba mengubah jalan hidupnya. Yuk, kenalan dengan dengan sosok yang bernama Tim Harris ini

Tampilkan postingan dengan label My Diary. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label My Diary. Tampilkan semua postingan

Senin, 07 Maret 2016

Makanan yang Digemari Tapi Dilecehkan

Rasa-rasanya bisa dibilang tak ada orang Indonesia yang tidak kenal dengan makanan asli Indonesia berupa kerupuk, dodol, tempe, dan singkong. Saya pribadi sedari kecil akrab dengan makanan ini. Selain enak, mudah diperoleh, juga harganya murah.

Kerupuk jenisnya bermacam-macam, terbuat dari bahan dasar tepung tapioka dengan bahan lainnya, menjadi camilan atau pelengkap makan nasi dengan rasa renyah, kriuk-kriuk. Bagi masyarakat di pulau Jawa, terdapat kebiasaan makan dilengkapi kerupuk.
gambar 1 
Dodol berupa camilan yang berasa manis, bertekstur lunak, kenyal, dan lengket, terbuat dari campuran ketan, santan, dan gula aren. Dodol juga bisa ditambahi nenas atau kentang. Di hampir setiap daerah di Indonesia punya nama masing-masing. Di Sumbar, terdapat makanan menyerupai dodol yang bernama gelamai. Tapi yang terkenal memang dodol Garut. Ada hari-hari perayaan tertentu di mana dodol mendapat tempatdan disuguhkan pada tetamu yang datang.

gambar 2
Tempe, makanan khas Indonesia yang sudah mulai mendunia karena kandungan gizinya yang tinggi. Dibuat dari kedelai melalui proses peragian. Tempe diolah jadi berbagai makanan seperti lauk ataupun camilan seperti keripik atau gorengan. Enaknya di makan saat santai ditemani segelas teh hangat. Saya berani taruhan, sebagian besar rakyat Indonesia pasti menggemari tempe.

gambar 3

Singkong adalah umbi yang tinggi kandungan karbohidratnya. Tanaman ini mudah tumbuh dan bisa diolah menjadi berbagai macam makanan. Bisa dibikin keripik, digoreng, atau dibikin kolak. Direbus pun enak dengan penambahan gula dan parutan kelapa.

Deskripsi di atas menjelaskan secara ringkas betapa makanan seperti kerupuk, dodol, tempe, dan singkong secara kultural sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Makanan tersebut telah mengisi perut-perut orang Indonesia dengan kata lain mereka turut menghidupi kita. Seharusnya kita bersyukur dan menghargai punya makanan khas yang digandrungi lidah orang-orang Indonesia ini. Saya menggunakan kata seharusnya, berarti kita secara faktual belum bersyukur dan menghargai makanan tersebut. Saya tidak mengada-ada. Banyak di antara kita tanpa sadar telah menurunkan derajat makanan tersebut dengan mengasosiasikan makanan tersebut dengan kondisi/ perilaku buruk manusia.

Orang yang gampang menyerah, sering patah semangat, dan tak mampu mengatasi cobaan hidup, seringkali dicap orang yang bermental kerupuk. Sifatnya seperti kerupuk. Sedikit saja kena angin sudah lembek, apalagi kena siraman air, langsung lemes.

Orang yang berpikir bodoh, seringkali dicap dodol. Banyak yang menggunakan kata dodol untuk mengejek orang lain ataupun  menertawakan diri sendiri. Ini saya tidak habis pikir, kenapa dodol, makanan manis dan enak ini sering diasosiasikan dengan kebodohan seseorang. Apakah orang yang pintar disebut berotak encer, orang yang bodoh, maka berotak kenyal-kenyal seperti dodol?

Orang yang tak bersikap tegas dan sering dilecehkan dicap bermental tempe. Tempe dalam pembuatannya memang diinjak-injak dengan kaki, sehingga sering diasosiasikan dengan sikap orang yang rela dan pasrah dilecehkan oleh pihak lain. Atau orang yang gampang berubah pendirian maka dilontarkan ejekan ‘sore kedelai esok tempe’.

Begitu juga dengan singkong. Singkong seringkali dianggap makanan masyarakat kelas bawah, yang lemah secara ekonomi, dan orang-orang tersebut dicap anak singkong. Sebutan ini bahkan populer lewat lagu yang dinyanyikan oleh Bill Broad (Ari Wibowo) tahun 80-an.


Saya tidak habis mengerti kenapa makanan-makanan tersebut seringkali diasosiasikan dengan perilaku yang buruk/ negatif untuk mengejek atau menertawakan pihak lain. Kerupuk, dodol, tempe, dan singkong adalah makanan khas Indonesia. Sudah selayaknya kita menghargainya. Tapi yang terjadi kita malah menggunakan makanan tersebut untuk mengejek orang lain. Ini kan aneh?

sumber images:

Rabu, 17 Februari 2016

Sepotong Sinetron di Pelataran Masjid


Kisah ini terjadi ketika saya shalat Jumat beberapa waktu lalu. Ketika masuk masjid usai berwudhu, tampak ada keranda yang diletakkan persis di shaf paling belakang. Keranda yang bertutup kain beludru hijau berhias tulisan arab berwarna kuning. Rupanya ada yang meninggal dan akan dishalatkan usai shalat Jumat. Karena shaf depan sudah penuh, saya melintas di sisi keranda dan mengambil tempat di barisan yang tak jauh dari situ. Jemaah lain yang datang belakangan juga nampak agak kagok ketika melintas dan semakin lama tak ada tempat lagi kecuali dekat keranda. Satu persatu terpaksa duduk di depan keranda.



Agenda shalat Jumat berlangsung seperti biasa. Khatib naik mimbar dan sedikit membahas pentingnya shalat jenazah di akhir ceramah. Tentu saja maksudnya untuk mengajak muslimin yang hadir untuk ikut serta menyelenggarakan shalat jenazah. Saya pun sudah berniat untuk ikut meski tidak tahu siapa yang meninggal. Berdasarkan pengamatan saya selama ini, apalagi di saat shalat Jum'at banyak yang pulang begitu saja, merasa kewajibannya sudah gugur karena ada orang lain yang melaksanakannya. Lagi pula, saya selalu terpikir betapa tidak sopan kalau tak ikut sedangkan saya ada di masjid. Bagaimana kalau terjadi pada saya nanti, bukankah semua orang akan mati? Sedih nggak sih kalau ada kerabat yang meninggal hanya dishalatkan segelintir orang? Mereka lebih mengutamakan urusan masing-masing ketimbang memberi penghormatan terakhir buat si mayat.

Usai shalat Jumat, terdengar ada komando untuk langsung mengangkat keranda yang ditujukan bagi keluarga si mayat. Saya lihat yang menginstruksikan itu bapak tua pengurus masjid. Beberapa orang dengan sigap mengusung keranda dan barisan jemaah langsung menyibak memberi jalan bagi pengusung menuju bagian depan. Tak ada sambutan sepatah dua patah kata dari pengurus masjid atau dari pihak keluarga tentang si mayat ataupun sekedar reminding tata cara shalat jenazah. Setelah diletakkan di barisan terdepan,  imam yang  tadi mengimami shalat jumat kembali jadi imam. Para makmum, termasuk saya, langsung merapatkan barisan untuk shalat 4 takbir. Imam langsung takbir. Saya yang hendak melafazkan niat jadi bingung. Ini mayat laki-laki atau perempuan? Ketika hendak bertanya ke orang di sebelah, mereka sudah langsung mengangkat tangan untuk takbir pertama. Bagaimana nanti melafazkan ayat di takbir ke-3 dan ke-4? Tentu akan berbeda untuk mayat laki dan perempuan (hu untuk laki-laki dan ha untuk perempuan). Karena tidak mau ketinggalan takbir, saya pun ikut mengangkat tangan untuk takbir pertama. Di takbir ke 3 dan ke 4, karena tidak tahu, saya hanya mengucapkan doa dalam bahasa Indonesia versi saya sendiri (semoga Allah mengampuni saya).

Empat takbir berlangsung dengan cepat dan usai salam kembali si bapak pengurus masjid  memberi instruksi untuk mengusung keranda langsung menuju ambulans di pelataran masjid. Katanya tak dibenarkan berdoa bagi si mayat di dalam masjid, kalau itu dilakukan, nanti saja saat dimakamkan. Sampai mayat dibawa ke dalam ambulans pun saya masih tidak tahu yang meninggal itu laki-laki atau perempuan. Kan malu juga menanyakan ke orang sekitar karena saya barusan ikut shalat jenazah? Ya, sudah lah.

Tampak beberapa ibu-ibu kemunginan kerabat yang meninggal, menangis terisak sembari menghapus air mata yang berlinang dengan ujung jilbabnya. Tepat  di depan saya, tiba-tiba muncul entah dari mana seorang pemuda berusia awal 20-an. Ia langsung menyandarkan kepalanya di bahu salah seorang perempuan setengah baya yang berkerudung krem. Dilihat dari penampilan, ia mungkin seorang preman. Ia menangis tersedu-sedu tanpa mengeluarkan suara dan berusaha mengusap air matanya yang berjatuhan.

Baru datang kamu sekarang. Kamu yang banyak dosa dan suka melawan. Sekarang dia sudah pergi, cepat kamu minta maaf sebelum dia dikuburkan," ucap si perempuan itu.

Lelaki itu tampak semakin tergugu. Raut bersalah tampak di setiap gurat wajahnya yang bertampang sangar. Ia berusaha keras untuk menahan tangis tapi tidak bisa. Ia kemudian menoleh ke ambulans dan langsung meloncat ke dalamnya. Didekapnya keranda itu dengan erat dengan air mata berlinang.
Adegan itu hanya sekejap, tapi membuat orang yang menyaksikan terkesima. Pintu ambulans tiba-tiba ditutup dan mulai meraung-raung. Pihak keluarga bergegas menaiki bis kota yang terparkir dan mengikuti ambulans dari belakang.

Ekspresi si pemuda itu masih membekas di ingatan saya. Belakangan saya tahu, dia itu anak orang yang meninggal. Ia baru datang setelah ibunya dishalatkan dan dimasukkan ke dalam ambulans.

Foto: gettyimages.com

Senin, 15 Februari 2016

Pipit

gambar dari gettyimages.com

Pagi itu ketika putri kecilku hendak berangkat ke sekolah, ia menemukan seekor pipit tergeletak di halaman rumah. Tubuhnya lemah bulunya basah.
"Baba, boleh ia aku pelihara? Pintanya dengan rasa iba.
"Tidak Bisa," ucapku cuek saja.
"Kenapa?" lagi ia bertanya.
"Untuk apa kamu pelihara pipit, burung tak berguna, lagi pula nambah-nambah kerjaanmu saja." Aku santai saja. Ia berlari mencari kardus, bertemulah kotak di balik meja setrika. Ditaruhnya burung kecil itu ke dalam kotak.
"Sepertinya lagi sakit, kasihan kalau tak ada yang merawatnya." ia bergumam sendiri.
"Cepat cuci tanganmu, kalau tak ingin tertular sakitnya," perintahku padanya. Bersungut-sungut ia  pergi ke kran samping rumah. Bunyi klakson motor mamanya, mengagetkan dirinya. Pertanda ia cepat-cepat naik di boncengan supaya tak terlambat ke sekolah.
"Tolong jagain ya, Ba. Nanti  pulang sekolah akan aku urus." Ia pun berlalu dibawa mamanya.
"Enak saja..." omelku seperti ditujukan bukan pada siapa-siapa.
*
Tertegun sejenak aku menatap makhluk kecil itu. Meringkuk lemah di sudut kardus. Aku segera beranjak ke dalam rumah, hendak menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda. Tapi langkahku terhenti, seperti ada yang menahanku. Rupanya  rasa khawatir yang ada di kepala. Kalau kubiarkan saja, bisa jadi ia dimangsa kucing. Kalau tak kuberi makan, bisa jadi ia akan mati kelaparan. Lihatlah tubuhnya yang gemetaran, bisa jadi ia kedinginan. Entah mengapa aku melangkahkan kaki menuju dapur. Mengambil sejimpit beras untuk ia makan. Kutaruh di dekatnya, dan kardus itu kutaruh di ketinggian. Di atas pohon mangga yang lagi berbuah ala kadarnya.
Nah, di sana ia kan aman dari si kucing pemangsa. Aku bersiul-siul masuk ke dalam rumah. Duduk di depan komputer dengan manisnya. Maksud hati hendak melanjutkan kerja, tapi malah nyasar di Kompasiana.
*
Pukul setengah sepuluh aku ingat kewajibanku menjemput si putri pulang sekolah. Usai mandi koboi alias cuci muka ala kadarnya, sisir rambut sekenanya, dan pakai celana panjang yang digantung di balik pintu kamar, aku melangkah mengeluarkan motor. Tetiba tatapanku tertuju ke pohon mangga. Teringat si pipit di dalam kardus. Bagaimanakah keadaannya?
Ternyata ia sudah tak bernyawa. Tubuhnya kaku dengan posisi kedua kaki ke atas. Butir-butir beras yang kutaruh, masih berserakan dan mungkin saja tidak berkurang jumlahnya. Ia telah mati. Telah menyelesaikan semua urusannya dengan dunia. Saat itu aku flat saja. Daripada dikerubungi lalat atau menguarkan bau busuk nantinya, bangkai sekalian kardusnya kubuang jauh-jauh.
Saat pulang sekolah dan mendapati burung pipit itu tak ada lagi, putriku pun bertanya.
"Baba, kemana burung pipit tadi pagi?"
"Sudah mati dan baba buang."
"Yaah..." ia menghela napas kecewa.
*
Pukul tiga sore. Ketika rehat sejenak di depan rumah ditemani segelas kopi dan sebatang rokok, aku memandang ke halaman. Tampak sekawanan pipit mendarat di halaman. mencari remah-remah yang bisa untuk dimakan. bercicit-cicit dan sebagian sibuk mematuk-matuk tanah. Sebagian lagi membasuh bulu-bulu dengan debu tanah.  Sungguh lucu melihat tingkah mereka.
Tiba-tiba kuteringat pipit yang mati tadi pagi. Kematiannya yang bisu. Ia pergi tanpa ada yang tahu. Semua berlalu begitu saja, seperti tak ada yang berubah. Adakah di antara pipit-pipit yang sedang mendarat di halaman ada yang tahu? Adakah di antara meraka yang merasa sedih dan kehilangan? Adakah di antara mereka akan mengenang bila mereka pernah bersama?
Menyedihkan bila memang tak ada. Hidupnya pastilah tak bermakna. Lantas apa gunanya ia hidup? Pikiranku mulai terusik saat menghembuskan asap rokok ke udara. Asap tipis itu melayang-layang selanjutnya hilang. Muncul untuk hilang lenyap di telan ruang. Persis si pipit yang malang.
Aku tercenung. Kematian si pipit menyentak kesadaran. Tak ingin itu terjadi padaku. Kematian adalah kepastian yang akan menyapa semua makhluk yang bernyawa.  Bila hidup  seperti si pipit, tidakkah kita sia-sia sebagai manusia?

Aih, Pipit. engkau yang mati kenapa aku yang sedih?