Apa Sih, Yang Tak Bisa Dilakukan Demi Cinta

Demi cintanya, Jamie Nieto melakukan keajaiban pada saat hari pernikahannya. ia mampu menggerakkan kakinya yang lumpuh!

Pelayan yang Baik Hati dan Laki-Laki Tua Bertangan Buntung

Pelayan restoran cepat saji ini sungguh berhati mulia. Apa yang ia lakukan mendapat pujian dari netizen di seluruh dunia.

Gelandangan yang Menjadi Pahlawan

Meski gelandangan, wanita ini telah menyelamatkan sebuah toko kosmetik dari kemalingan. Ia pun mendapat banyak simpati dari netizen

Dahulu Baralek, Sekarang Pesta

Banyak perbedaan yang kita temui dalam acara baralek atau yang disebut pesta antara Zaman dahulu dengan Zaman sekarang. Apa saja perbedaan itu, yuk, disimak artikelnya.

Anda Pasti Terharu, Mengapa Pemilik Restoran Ini Menutup Usahanya

Dia adalah laki-laki istimewa dan sangat disayangi para pelanggan. Sesuatu tiba-tiba mengubah jalan hidupnya. Yuk, kenalan dengan dengan sosok yang bernama Tim Harris ini

Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Jumat, 11 Maret 2016

Risma dan Anabel


Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, Risma membawa segudang harapan. Bu Zuraida orang kaya di kampungnya, menawari pekerjaan di rumah adik bungsunya di Jakarta. Mengenai ongkos keberangkatan, gaji yang bakal ia terima membuat Risma tertarik apalagi setelah mendapat restu dari ibunya, Risma semakin bersemangat karena ia sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di kota metropolitan itu. Tak tanggung-tanggung, Risma diongkosi naik pesawat terbang. Delapan belas tahun usianya hanya dihabiskan di kampung yang sepi membantu orangtua menggarap sawah milik Bu Zuraida dan sesekali membantu wanita itu di rumahnya. Tapi yang paling membuat Risma bersikeras  tak lain adalah ingin berbuat sesuatu untuk keluarga. Ayah yang selama ini menjadi tulang punggung, dua tahun lalu tak bisa lagi diandalkan. Hari-harinya hanya dihabiskan di tempat tidur. Kata dokter Ayah terkena stroke. Tak ada yang bisa mereka perbuat selain pasrah. Semua barang berharga di rumah lenyap satu persatu untuk biaya pengobatan Ayah. Ibu lah yang sekarang banting tulang, menghidupi mereka. Masih untung ketiga adiknya masih bisa sekolah walau pun Risma harus membuang keinginannya masuk SMA jauh-jauh.

            Tapi Risma tak menyesali semua itu. Tak peduli kalau sekarang ini ia harus terpisah jauh dengan keluarga. Lagipula waktu itu Risma yakin, walau belum mengenal sama sekali sosok Bu Henidar, ia percaya, beliau pasti orang baik. Sama halnya dengan Bu Zuraida.

            Tapi harapan memang tak selalu sebangun dengan kenyataan. Sifat Bu Henidar ternyata bertolak belakang dengan kakaknya itu. Perilaku dan gaya hidupnya pun jauh dari yang Risma bayangkan. Sangat modern. Lebih dari itu orangnya ternyata judes dan galak.

            Walau selama ini Risma sudah melakukan pekerjaannya dengan baik, tapi ternyata belum cukup. Wanita itu selalu saja merasa tidak puas. Hampir semua pekerjaannya dicela atau paling tidak dikomentari sinis. Ada saja yang tak berkenan. Masakan yang keasinan, mencuci tak bersih, pakaian yang disetrika tak licin, rumah yang berantakan, sampai-sampai ia mencela kalau Risma berbadan bau. Kalaulah tak ingat orang-orang di kampung, pasti ia sudah meninggalkan wanita itu. Tapi ia berusaha sabar. Bisa jadi itu semua hanya pelampiasan saja. Bukankah banyak perawan tua berperangai seperti itu?

            Entahlah, Risma tak habis pikir mengapa wanita itu belum juga menikah. Segalanya ia punya kecuali suami. Rumah punya, mobil ada dan karirnya pun bagus mengepalai suatu departemen di sebuah bank terkemuka. Wajahnya pun juga masih cantik dan awet muda. Belum tampak jejak-jejak kekalahan melawan usia di wajahnya. Tapi mengapa tak ada laki-laki yang menaruh hati? Apakah ia patah hati? Ah, Risma tak mau berpikir lebih jauh. Apa urusannya?

            Satu hal yang paling tak ia sukai yakni mengurus hewan peliharaan Bu Henidar. Seekor anjing jenis Tsih Tzu berwarna putih keabu-abuan. Bulu-bulunya bikin Risma harus menahan bersin tiap kali mengurusnya. Bagi Bu Henidar, hewan  itu adalah makhluk yang paling ia sayangi. Ia tak segan-segan mengeluarkan jutaan rupiah hanya untuk sebuah kandang seekor anjing lucu bernama Anabel. Makanannya pun tak boleh sembarangan, harus mengandung omega 3 biar bulu-bulunya tetap mengkilap terjaga. Setiap bulan ia pun membawanya ke Happy Pets,  untuk membersihkan dan merapikan bulu dan pemeriksaan kuku. Betapa sejahteranya hewan itu, tak sebanding dengan derajatnya. Sungguh kontras dengan kehidupan Risma. Tiap hari harus bangun pagi, membersihkan rumah, menyiapkan makanan, mencuci, ke pasar dan urusan tetek bengek lainnya dan itu pun ditambah dengan omelan-omelan.

            Suatu pemandangan yang menggelikan bila melihat Bu Henidar menonton tivi di ruang tengah. Anabel selalu di pangkuannya dan menyisir bulu-bulunya dengan slicker comb. Ada rasa cemburu yang tak ia sadari merayap pelan-pelan dalam hatinya. Betapa mesra hubungan mereka. Memang Anabel tak hanya sekedar hewan peliharaan Bu Henidar. Ia memperlakukannya layaknya manusia. Seringkali Risma melihat Bu Henidar mengajaknya anjing itu bercakap-cakap. Dulu ia merasa aneh tapi lama-lama ia menjadi terbiasa.

***
            Tapi hari ini Risma merasa senang, pasalnya Bu Henidar pergi ke luar kota selama tiga hari. Kepergian wanita itu membuat Risma bebas dari rutinitas yang melelahkan. Selama tiga hari ke depan ia akan menikmati hari-harinya untuk bersantai-santai dan memanjakan diri.

            Dengan segelas lemon tea dingin dan setoples biskuit yang bertabur coklat Risma duduk di sofa ruang tengah menatap tivi layar plasma 32 inci. Siang itu suasana begitu sepi. Di pojok ruangan tampak Anabel lagi tidur-tiduran. Tak ada suaranya yang khas. Apakah seekor anjing bisa merasakan kesedihan bila ditinggal tuannya?

            Dipencetnya remote. Tak ada acara yang menarik. Tak lama jarinya berhenti di saluran berita siang. Tatapannya tertuju pada berita-berita kriminal di tivi. Ada berita perampokan bersenjata, penemuan mayat bayi, kebakaran, penangkapan bandar narkoba, kecelakaan lalu lintas. 

            Tak lama, ia tertegun melihat berita selanjutnya. Seorang pembantu rumah tangga tewas disiksa majikan. Hanya dituduh mencuri perhiasan, sang majikan tega menyiksanya? Betapa mengenaskan. Tiba-tiba pikiran buruk melintas dipikirannya. Bagaimana kalau ia yang mengalaminya? Ah, tidak! Ia tak akan mengalami hal itu karena selama ini Bu Henidar hanya suka mengomel saja, tak pernah ia melakukan kekerasan fisik. Lagi pula Risma tidak pernah melakukan macam-macam. Ia tak pernah merusak barang-barang apa lagi mencuri.

            Akhirnya ia mematikan tivi. Lebih baik mengerjakan sesuatu yang membuat  Bu Henidar senang bila ia pulang nanti. Ia segera ke teras dan mengambil selang untuk menyiram tanaman. Tapi perhatiannya  kembali tertuju pada Anabel yang masih saja tak bergerak, tampak lesu. Ia hanya menggeleng melihat tingkah hewan itu.

            Tengah asyik menyiram tanaman ia dikejutkan oleh tukang pos yang sudah berdiri di depan pintu pagar. Setengah berlari Risma menghampirinya. Dadanya berdebar-debar ketika membuka surat dari kampung itu. Tiap kali menerima surat, selalu saja ia begitu. Dalam surat kali ini, keluh kesah ibu kali lebih panjang dari biasanya, tapi intinya kembali minta dikirimi uang untuk pengobatan Ayah.
***
Keesokan harinya, Risma mulai panik melihat perilaku Anabel. Anjing itu sama sekali tak menyentuh makanan yang ia sediakan. Susunya pun tidak diminum. Ia tampak begitu lemah. Tatkala mencium bau aneh, ia melihat ekor Anabel penuh dengan kotoran cair. Risma mundur beberapa langkah, merasa ada yang bergejolak di perutnya. Tapi pikirannya langsung dipenuhi rasa takut. Anabel adalah hewan kesayangan Bu Henidar, bisa jadi miliknya yang paling berharga. Kalau anjing itu mati, pasti ia akan menjadi bulan-bulanan Bu Henidar. Ia nyaris kalut, tak tahu harus bagaimana. Wanita itu masih belum pulang, rencananya besok baru kembali. Tapi untung ia tak kehilangan akal. Dengan cepat ia berlari ke ruang tengah, mengangkat gagang telepon dan memencet tombol. Sejurus kemudian terdengar suara di seberang sana.
            “Ada apa?”
            “Kapan Ibu pulang?”
            “Memang kenapa?” suara Bu Henidar penuh keheranan.
            “Anabel, Bu...”
            “Kenapa si Anabel?”
            “Ia sekarat!” kontan ucapan itu meluncur dari mulutnya. “Saya tak tahu apa yang harus dilakukan. Sebaiknya Ibu pulang.”
Bu Henidar tak ngomong apa-apa lagi. Yang terdengar hanya bunyi telepon ditutup.
***
            Bu Henidar tampak begitu tegang. Dari kaca spion tengah, Risma bisa melihat kecemasan terpancar di wajahnya. Dengan kecepatan tinggi ia mengendarai mobil seakan-akan tak mau kehilangan waktu. Sementara Risma hanya diam di jok belakang sembari menggendong Anabel dalam balutan kain seperti menggendong bayi. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya ia mengomeli Risma yang tak becus mengurus hewan kesayangannya itu. Risma hanya  diam, tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya untuk membela diri.

Di klinik hewan, Anabel langsung digotong menuju tempat pemeriksaan. Mulai mata, hidung, mulut dan detak jantungnya diperiksa oleh dokter hewan. Bu Henidar terus membelainya. Jelas terpancar dari wajahnya rasa takut kehilangan. Tak terasa  setetes air mata mengalir di pelupuk mata Risma. Betapa beruntungnya hewan itu. Nyawanya seakan begitu berharga. Terbayang ia penderitaan Ayah. Seharusnya beliau juga mendapat perawatan yang layak, ditangani oleh dokter ahli. Tapi nyatanya ia  hanya dirawat di rumah dengan ala kadarnya.

            “Untung Ibu segera membawanya ke sini,” ujar dokter yang menangani.
            “Apa yang terjadi, Dok?” tanya Bu Henidar dengan wajah yang diliputi kecemasan.
            “Anjing ini kena Distemper!”
            “Lho, kok bisa? Padahal sudah divaksinasi.”
            “Nah, itu keberuntungan ibu yang ke dua. Kalau tidak, saya khawatir hal yang lebih buruk bisa saja terjadi.”
            Bu Henidar hanya pasrah. Tatkala perhatiannya beralih ke Risma, sorot matanya segera berubah.
            “Kau lihat? Baru kutinggalkan, kau sudah buat masalah. Apa sih yang bisa kau lakukan?”
            Risma hanya diam. Ia kehilangan kata-kata.
***
            Selama empat hari Anabel dirawat, Bu Henidar uring-uringan. Mulutnya tak kunjung diam, ada saja yang jadi bahan omelannya. Tapi untunglah pada hari yang ke lima Anabel sudah bisa dibawa pulang. Akhirnya mereka bisa berkumpul lagi.  Sepanjang sore yang cerah itu ia asyik  menyisir bulu-bulu Anabel dan memasang pita pada bulu yang menjuntai di atas kepalanya. Anjing itu kelihatan lebih sehat, suara guguknya yang khas mulai terdengar. Saat itulah Risma berusaha menemuinya untuk mengutarakan maksud hati.

            “Apa? Kau pikir aku mau meminjamimu kali ini? Enak saja! Pekerjaanmu saja nggak becus.”
            “Tapi saya butuh sekali, Bu, untuk biaya pengobatan ayah saya.”
            “Sudah kubilang, tidak! Utangmu bulan kemarin belum lunas, berani-beraninya pinjam uang lagi.”
            “Tolonglah, Bu. Saya butuh sekali. Kalau Ibu tak percaya, ini surat yang saya terima beberapa hari yang lalu,” Risma terus memelas. Ia tak punya harapan lain selain Bu Henidar.
            “Dasar bebal! Sepersen pun tak akan kupinjamkan!”
            “Saya rela bulan depan tidak digaji.”
            Bu Henidar masih bergeming. Terus saja membelai Anabel di pangkuannya.
            “Apapun akan saya lakukan demi membantu orang tua.”
            “Termasuk memerasku? Kau itu ya, makin lama makin bertingkah. Dikasih hati minta jantung.”
            “Tolonglah, Bu!”
            Risma kehilangan akal melunakkan hati wanita itu. Tapi ia tak akan menyerah. Di tengah keheningan, untuk mencari kata-kata yang tepat membujuk Bu Henidar, Tiba-tiba telepon berdering. Bu Henidar menyuruhnya mengangkat telepon itu.
            “Uni Risma ada?” terdengar suara di seberang sana. Risma tertegun, suara itu sangat dikenalnya, suara Amri, adiknya.
            “Iko Amri, yo?”                                                                           
            “Iyo,Ni! Ayah wak, Ni... Ayah indak ado lai, barusan alah bapulang, pulanglah Uni...” ujar Amri dengan suara bergetar, terbata-bata. Walau pun  singkat, suara di telepon itu membuat Risma terlonjak. Gagang telepon terlepas dari genggamannya. Serta merta tangisnya pecah. Butiran air mata menghambur di sela pipinya.
            “Hei, kau kenapa?” tanya Bu Henidar kaget melihat Risma meraung. Tapi Risma tak menjawab, ia hanya menatap lirih pada Bu Henidar dan anjing yang ada dipangkuannya.
***
            Dua minggu kemudian ketika wanita lajang itu sedang berada di kantornya, ia menerima pesan singkat dari Bu Zuraida. Sepertinya ia paham mengapa Risma tak mau balik lagi ke Jakarta. Pesan itu berbunyi;
            “Menyayangi hewan itu baik, tapi menyayangi sesama jauh lebih baik
            Bu Henidar mengerinyitkan kening, mencoba memahami apa maksud sms itu(*)

***

NB: 
Cerpen ini dimuat di Harian Padang Ekspres, 9 Januari 2011. Foto: gettyimage.com

Senin, 07 Maret 2016

Sampah Pak Anwar


Lelaki setengah baya itu punya kebiasaan aneh. Tiap malam kerjanya membakar sampah di depan rumah dan selalu dilakukan pada jam-jam menjelang tidur. Pak Anwar, begitu tetangga memanggilnya, sudah melakukan kebiasaan tersebut semenjak ia tinggal di komplek perumahan itu. Tempat ia membakar sampah  terbuat dari drum bekas yang ditaruh begitu saja di halaman rumahnya, bukan tempat permanen  yang terbuat dari beton. Sungguh kontras dengan rumahnya yang mentereng. Bukannya tak mampu, atau pelit mengeluarkan uang retribusi beberapa ribu perbulan, tapi Pak Anwar lebih suka membakar sampah-sampahnya sendiri. Tak peduli gunjingan para tetangga. Tak peduli walau sempat beradu urat leher dengan petugas soal retribusi sampah yang tak pernah ia bayar. Ia juga tak peduli kalau tetangga pernah mengajukan keluhan tiap kali sampah yang ia bakar mengeluarkan asap yang terbang ke mana-mana, atau bau karet atau plastik terbakar.  Baginya membakar sampah adalah keasyikan tersendiri.

            Ya, mungkin terlihat aneh bagi orang lain, tapi tidak bagi Pak Anwar  karena ia baru bisa tidur setelah membakar habis semua sampah-sampahnya. Perasaannya baru bisa tenang kalau ia melakukan ritual tersebut. Pernah kejadian, ia memarahi pembantu yang baru bekerja di rumahnya hanya karena pembantu tersebut menyerahkan sampah pada petugas kebersihan yang tiap hari lewat depan rumah. Atau ketika  drum sampah itu hilang, Pak Anwar ribut seperti kehilangan mobil. Begitu berharganya tempat sampah itu baginya, sampai-sampai mengadukan hal ini pada ketua RT.  

            Memang tak perlu ada alasan untuk sesuatu hal, terutama menyangkut sebuah kebiasaan. Makanya pak Anwar tak perlu menjawab pertanyaan tiap kali ada yang bertanya.  Ia tak pernah mau menjawab, dengan jujur atau pun secara diplomatis. Kalau setiap orang punya kebiasaan buruk, maka kebiasaan buruk Pak Anwar  adalah membakar sampah menjelang malam. Orang lain tak akan pernah mengerti mengapa ia melakukan hal itu.

            Hanya dia yang tahu alasannya. Hanya dia yang bisa merasakan sensasi setiap kali melihat nyala api membakar sampah-sampah, barang-barang tak berguna menjadi  abu. Sensasi itu menenangkan hati dan pikiran. Anehnya, mungkin karena sudah menjadi kebiasaan, asap yang ditimbulkan tak lagi membuat perih matanya, atau membuat sesak napasnya. Sampah-sampah itu seperti kegalauan yang ada di hati. Harus dimusnahkan, tak boleh ada  yang tertinggal. Nyala api yang membakar, kilatan lidah api terlihat begitu indah. Bila semuanya telah terbakar sempurna, nyala itu akan padam. Ia akan mengakhiri prosesi itu dengan khidmat. Menarik napas panjang dan melangkah dengan tenang masuk ke rumah, mencuci muka, tangan dan kaki dan kemudian tidur dengan damai.

            Ini memang sudah jadi kebiasaan akut baginya. Tak ada kegiatan lain yang lebih menenangkan hati selain membakar sampah. Kegiatan lain seperti nonton tivi walau acaranya dari saluran berlangganan, tak membuatnya senang, biarpun tivinya model terakhir sekalipun. Kenikmatan yang ditimbulkan tak sedashyat melihat nyala api melahap sampah yang terbakar. Perlahan tapi pasti api membakar apa saja. Biru, ungu, hijau, kuning, warna  nyala api mengalahkan indahnya pelangi. Ia bisa terpukau. Saking sering ia melakukannya ia jadi hapal setiap benda mengeluarkan nyala berbeda bila dibakar.

            Anaknya paling besar, Santi, yang kuliah di kedokteran itu pernah mempersoalkan kebiasaan aneh papanya. Dia pernah menyarankan untuk pergi ke psikiater, karena kebiasaan itu perlu dicari penyebabnya dan kalau perlu dilakukan langkah terapi. Tentu saja pak Anwar murka,

            “Kau pikir aku sakit jiwa disuruh ke psikiater segala, cuma gara-gara aku suka bakar sampah?”

            “Tapi kebiasaan Papa sungguh tak lazim, Papa tidak sadar gunjingan para tetangga? Belum lagi dampak yang ditimbulkan, asap dan bau yang menganggu pernapasan? Apa sih untungnya melakukan hal itu? Sampah itu bisa saja diserahkan pada petugas kebersihan, tak harus kita yang memusnahkan. Itu namanya kurang kerjaan, Pa!” Santi sudah gregetan melihat kebiasaan buruk papanya. Ia tahu dalam ilmu psikologi ada banyak jenis gangguan jiwa. Salah seorang Mama temannya suka menumpuk barang-barang apkir hingga menyita banyak tempat. Beliau suka ngamuk kalau barang-barang itu disingkirkan. Perasaan sayang untuk dibuang. Tapi gejala psikologis yang diderita Papanya? Apa kaitan beliau dengan sampah? Mengapa Papa seperti orang terhipnotis menyaksikan sampah terbakar? Apanya yang asyik  hingga jadi ketagihan?

            “Aku hanya cari hiburan. Tak lebih. Apa perlu alasan khusus melakukan suatu hal yang aku sukai? Lagi pula yang aku bakar itu sampah, kok. Barang yang tak berguna. Mengapa harus dipertanyakan?”

            “Bakar sampah kok dibilang hiburan? Papa ini makin lama semakin aneh. Kalau Papa mau cari hiburan  kan bisa yang lain. Nonton tivi, baca buku, dengar musik. Lha, ini ketagihan bakar sampah!”

            “Masih untung hanya ketagihan bakar sampah. Kalau ketagihan main perempuan bagaimana?” nada suaranya meninggi seiiring naiknya emosi mendengar ucapan anaknya itu. Tak mau kalah, Santi malah menanggapi,

            “Kalau ketagihan perempuan aku bisa paham. Banyak laki-laki seusia Papa mengalaminya. Tapi yang ini, aku benar-benar tak paham.” 

            “Kau tak akan pernah bisa paham, Nak. Lagi pula tak penting bagimu atau bagi yang lain tahu mengapa Papa suka melakukannya.” Pak Anwar tak mau berdebat dengan anak pertamanya itu. Ia berlalu begitu saja.
***
            Dan belakangan ini kebiasaan buruknya semakin menjadi-jadi. Tidak hanya sampah yang dibakarnya. Koran dan majalah bekas tak pelak jadi sasaran. Semua barang-barang tak berguna ia kumpulkan dan ia bakar. Ia pun lebih butuh waktu berlama-lama dengan kegiatan sintingnya itu. Dan bila semuanya selesai baru ia  beranjak tidur. Istrinya pun mulai menyoalkan karena sering ia dapati suaminya baru berada disampingnya menjelang pukul satu dini hari. Ia baru menyadari tiap kali sehabis melakukan itu, wajah pak Anwar terlihat tenang dan damai. Berbeda dengan raut wajahnya tiap kali pulang kantor yang selalu kusut seperti dilanda masalah yang sangat berat. Tapi ia tak berani bertanya langsung, sebab ia tahu suaminya bukanlah orang yang suka bicara, apalagi mengungkapkan isi hatinya. Dua puluh tahun lebih mereka menikah, ia sudah hapal sifat dan perilaku Pak Anwar.
***
            Ketika itu Pak Anwar baru saja tertidur, dini hari jam 1.30. Istrinya sontak terbangun karena asap tebal mengepung kamar. Hawa panas menyergapnya dari segala arah. Ia terlonjak kaget dan langsung histeris. Dengan cepat diguncang-guncangnya dengan kuat tubuh Pak Anwar yang tertidur lelap. Dari luar rumah ia mendengar orang-orang berteriak,

            “Kebakaran! Kebakaran!”

            Laki-laki itu terbangun. Dengan cepat mereka berusaha keluar menyelamatkan diri. Anggota keluarga lainnya juga terbangun dan berusaha keluar dari rumah dengan wajah ketakutan luar biasa.

            Api dengan cepat membakar langit-langit rumah, pintu, kusen jendela dan bagian-bagian lain. Para tetangga dengan cekatan bahu membahu membantu memadamkan api. Tapi semakin berusaha mereka memadamkan, semakin besar kobaran api. Istri dan anaknya menangis histeris melihat rumah mereka dilalap si jago merah. Namun aneh Pak Anwar hanya berdiam diri di tempat. Matanya nyalang tak berkedip seperti orang yang terpesona. Sirene mobil kebakaran yang meraung-raung tak membuatnya sadar akan sebuah peristiwa yang menimpa rumahnya.

            Lidah api melambai-lambai, berwarna jingga keperakan serta bunyi letupan-letupan kecil menimbulkan sensasi tersendiri baginya. Kilauan cahaya  merubah malam jadi terang. Lidah api membumbung tinggi seperti menjangkau langit. Diantara hiruk pikuk orang yang berjibaku melawan api Pak Anwar bergeming.

            Inilah puncak dari kegalauannya selama ini. Inilah sumber dari kegelisahan yang menderanya. Rumah ini pantas terbakar, karena ia adalah sampah busuk yang membuat hidupnya tidak tenang. Rumah yang ia dapat dari hasil kongkalingkong di kantor. Membuat hidupnya merasa kotor dan penuh dosa. Bukankah neraka juga menggunakan cara yang sama untuk membersihkan semua dosa yang diperbuat manusia?

            Di tengah kemelut kebakaran yang melanda rumahnya, tiba-tiba Pak Anwar bersujud dan mencecahkan kepalanya di tanah. Dengan bibir gemetar ia mengucapkan nama Tuhan yang telah mengambil kembali apa yang bukan haknya.
***

NB
Dimuat di harian Padang Ekspres, 26 September 2010
Foto: gettyimages.com





Belati Di Balik Baju


Di tangannya, belati berkarat itu menjadi berkilat. Ketika jari kecilnya menyentuh ujung benda tersebut, terasa tajam menikam, siap merobek apa saja. Dicobanya menoreh  dinding kayu rumahnya. Seketika, torehan dalam pun terbentuk. Belum merasa cukup, ia mengambil kardus dan menusukkannya penuh tenaga. Sekali hentakan, kardus itu pun terbelah rapi.
            Ia menarik napas panjang. Ada raut puas di wajahnya. Tak sia-sia ia mengasah belati itu sepenuh hati.  Ini akan menuntaskan dendamku padamu, keparat! Desisnya.
            Ia menyeka peluh yang berjatuhan di kening. Pengap udara kamar tak sebanding dengan suasana batinnya yang terluka. Diacungkannya belati itu ke udara. Walau hanya bertangan kecil, tapi hasrat yang menguasai dirinya begitu besar.
            Tiba-tiba pintu depan diketuk dengan keras.
            “Odi! Odi! Kamu di mana?” suara perempuan itu terdengar di balik pintu. Dengan cepat ia menyembunyikan belati itu di bawah kasur tipis tempat ia dan ke dua adiknya tidur.  Ia tidak ingin perempuan itu tahu apa yang tengah dilakukannya. Setengah berlari ia ke ruang depan. Seketika pintu terkuak, perempuan yang baru pulang bekerja di tempat konveksi itu pun kontan berteriak.
            “Matamu kenapa lagi? Habis berkelahi?”
            Ia hanya diam dan memalingkan muka.
            “Kamu berkelahi lagi? Ayo, jawab!”   
            Aku tidak berkelahi! Aku habis dipalak! Jeritnya. Tentu hanya di dalam hati. Ia tidak ingin perempuan itu tahu masalah yang sedang ia hadapi. Tak ingin menambah beban pikirannya. Seharian ia banting tulang dengan hasil yang tak mencukupi, tak ingin ia tambah lagi dengan masalah ini. Kasihan dia. Dia tidak perlu tahu.
            Ibunya menarik napas dalam-dalam. Sebelum ia berbalik, lebih dahulu tangan perempuan itu  mencekal lengannya. Langkahnya pun terhenti.
            “Dengarkan Ibu, Nak! Ibu tak suka kau terus berkelahi. Kamu Ibu ijinkan untuk mengamen, bukan untuk berkelahi. Hidup kita sudah susah, jangan kau bikin makin susah!”
            “Aku tidak berkelahi.”
“Kau pasti bohong! Mengapa wajahmu lebam?”
Ia tahu perempuan itu pasti gundah. Akan lebih gundah lagi kalau ia tahu apa yang sebenarnya terjadi.  Makanya ia memutuskan diam saja.
            “Kalau masih saja berkelahi, kau tidak boleh lagi pergi mengamen. Lebih baik di rumah saja menjaga adik-adikmu. Ingat itu!” ujar perempuan itu dengan nada mengancam.
“Ya, aku janji. Ini tak akan terjadi lagi,” Ia berusaha melepaskan tangan ibunya dan masuk ke kamarnya yang sumpek dan pengap.
Ia baringkan tubuhnya di samping ke dua adiknya yang sudah hanyut terlelap, tepat di atas belati yang disembunyikan. Ia berusaha pura-pura tidur menghindari cecar pertanyaan. Tapi siapa yang bisa tidur dengan dada yang bergejolak? Amarah dan dendam di hatinya terus saja membakar, melebihi rasa nyut-nyutan di mata kiri. Tak bisa dibiarkan lagi. Keparat itu harus diberi pelajaran!
***
Tadi siang...
Terik matahari begitu bernafsu menjilati ubun-ubun. Perempatan jalan raya itu tetap gaduh seperti biasa. Hiruk pikuk. Bunyi klakson yang tak henti-henti bagai himne wajib kendaraan yang lalu lalang. Di mana ada keramaian, di sana berkumpul pemburu-pemburu receh. Mereka berputar-putar di sekitar traffic light menyongsong kendaraan yang dihadang lampu merah, berpindah dari satu kendaraan ke kendaraan lain, tak peduli bahaya yang mengancam.
            Yang papa menjual kemiskinannya, yang sakit fisik dan cacat mengandalkan penyakit dan ketakberdayaannya, yang banci menjual kegemulaiannya, yang bermodal kecil menawarkan asongannya. Sementara yang lain mengandalkan suaranya, tak peduli walau samber. Apa pun mereka lakukan agar tak kelaparan nanti malam dan bisa tidur tanpa perut keroncongan.
            Di salah satu sudutnya, seorang bocah kecil, bertubuh kerempeng, tengah mengusir rasa haus yang tadi mendera dengan sekantong plastik minuman dingin yang dijual pedagang es gerobak yang senantiasa nangkring di bawah jembatan layang. Sesekali peluh yang menetes di kening, ia seka dengan punggung tangannya. Haus hilang, lapar tetap bertahan. Sedetik ia pandangi kantong bekas bungkus permen yang berisi receh hasil ngamennya hari ini. Ia mengira isinya lebih dari hari biasa karena tadi ada wanita cantik melempar selembar limapuluh ribu padanya. Hari ini memang agaknya hari baik, makanya ia putuskan untuk membeli dua potong combro kesukaannya di penjual gorengan tak jauh dari tempatnya berdiri. Sisanya bisa ia bawa pulang.
            Tapi sayang, uang di tangannya hanya sebentar bertahan. Tatkala pulang, saat menyusuri labirin di pemukiman yang saling berhimpitan, ia di hadang oleh preman kampung bermuka ceper, berambut gondrong dan bergigi boneng. Walau cungkring tapi berperangai garang, dan tato aneka bentuk menghiasi tubuh bilah papannya. Dan dia pun tidak sendiri, ada beberapa cecenguk lain yang sealiran dan sepaham selalu mengintil ke mana dia pergi. Gerombolan itu lah yang menguras hasil jerih payahnya. Mereka hanya menyisakan lima ribu rupiah saja.
            Sungguh ia menyesali apa yang tadi telah terjadi. Mengapa Tuhan mempertemukan dia dengan si keparat itu? Padahal ia sudah memutar jalan tidak melewati gang yang biasa ia lewati. Tapi nasib sial cepat sekali menghampiri dan membuyarkan keberuntungan yang baru saja direguknya. Si Boneng dan teman-temanya justru berada di jalur yang ia pilih.  Dipalaklah ia untuk sekian kali.
            Keparat itu merasa jembatan layang yang tak jauh dari pemukiman itu masih wilayah kekuasaannya, makanya ia layak dapat bagian. Suka-suka saja ia menetapkan harga. Tapi kenapa kepada bocah-bocah tak berdaya seperti dirinya ia sok kuasa? Mengapa tidak kepada yang lain? Ia selalu berusaha melawan ketidakadilan ini. Akibatnya ia mendapat jatah berupa lebam ini.
            Salah besar kau Boneng, bila menganggap semua bocah adalah sama. Jangan kira aku tunduk begitu saja.
            Pintu kamarnya terkuak lagi. Si Ibu datang membawa segelas teh hangat dan sebaskom kecil air untuk mengompres memar di wajahnya.
            “Sini, Ibu kompres memar di wajahmu,” ujar perempuan itu dengan rasa kasih yang tak terbilang.
            “Tidak usah! Besok juga sembuh sendiri,” elaknya. Tapi si ibu terus saja membasahi sapu tangan dengan air hangat di baskom kecil.  Dilapnya bagian yang melebam di bagian mata kiri. Tak ada lagi kemarahan di wajahnya. 
Ia tak bisa mengelak. Ada kehangatan yang menjalar di dada kecilnya.
            “Kamu dan adik-adikmu sudah makan?”
            “Sudah,” jawabnya singkat. Perempuan itu pun menarik napas dalam-dalam.
            “Maafkan Ibu, seharusnya kamu tak perlu harus mengamen di jalan cuma untuk biaya sekolah tahun depan.”
            “Tak ada yang perlu dimaafkan. Ini semua keinginanku.”
            “Tapi berjanjilah kau tak akan berkelahi lagi. Lebih baik menghindar daripada dapat masalah seperti ini. Ibu tahu kehidupan di jalan keras. Tapi kau tak harus menjadi keras karenanya.”
            Ia terdiam.
            “Uang hasil ngamenmu tak dipakai untuk jajan kan? Kau harus menyimpannya untuk mewujudkan keinginanmu itu.”
            Ia tercekat. Kerongkongannya seperti tersumbat. Ia hanya bisa mengangguk lirih.
***
            Pagi itu ia keluar dari rumah dengan sebilah belati di balik baju. Sebuah masalah harus dituntaskan. Kalau bukan dia, siapa lagi yang bisa memberi pelajaran pada keparat itu? Di belantara kota ini, orang kecil seperti dirinya tak punya tempat untuk mengadu. Semua orang sudah punya masalah sendiri-sendiri. Dan kemarin sudah ia putuskan untuk menyelesaikannya dengan caranya sendiri.
            Ia sudah menimbang-nimbang semalaman. Kalau sampai Boneng celaka, dan akhirnya mati, tentu ia akan ditangkap polisi. Bisa-bisa berbulan-bulan ia dipenjara. Ah, lebih baik dipenjara dari pada hidup di luar tapi tak punya harga diri. Bukankah bapak semasa hidupnya mengatakan kalau orang yang tak punya harga diri sama saja ia sudah mati walau masih hidup? Dia juga mengajarkan,  anak laki-laki tak boleh  berjiwa pengecut. Ia masih ingat betul ucapan itu, karena itulah satu-satunya warisan yang dia tinggalkan.
            Ia bulatkan tekad. Walau terasa berat, ia terus melangkah cepat menyusuri gang di antara rumah-rumah yang saling berhimpitan. Mengunjungi tempat biasa Boneng dan komplotannya gentayangan. Hatinya sudah dirasuki dendam  untuk menuntut balas.
***
            Matahari semakin meninggi. Kesibukan warga kota semakin menjadi. Tapi kali ini ia  tidak mangkal di perempatan  menghadang kendaraan yang melintas dengan krecekan. Semenjak keluar dari rumah, tujuannya hanya satu, untuk bikin perhitungan dengan si Boneng.
            Tapi sampai menjelang tengah hari, keparat itu belum juga bisa ia temukan. Padahal ia sudah mencari ke mana-mana. Di sepanjang rel kereta, bantaran kali, gang- gang sempit Setia Kawan, Pasar, dan sampai terminal, tak tampak batang hidungnya.  Kemana keparat itu?
            Bulir-bulir keringat menetes di jidatnya. Belati di balik baju yang terbungkus kertas koran semakin mengganjal dan terasa basah di perutnya. Ia merasa gerah. Bukan karena matahari tapi karena rasa penasaran. Keparat itu, selalu bersua saat dihindari, tapi justru menghilang saat dicari. Ia berusaha sabar dan menenangkan dada yang berdentam karena dendam. Apakah keparat itu tahu rencananya? Apakah ia punya indera ke enam hingga bisa mengendus ancaman? Tidak mungkin! Tak mungkin dia diberkati anugrah seperti itu. Rupanya buruk, kelakuannya juga buruk. Dia bibit penyakit yang menggerogoti makhluk-makhluk yang lemah.
            Menjelang sore, hasilnya masih nihil. Akhirnya ia putuskan pulang dan melanjutkan pencarian esok hari. Anggap saja hari ini adalah hari mujur keparat itu. Kalau ibunya bertanya ia akan bilang sedang tak enak badan.
***
            Keesokan hari, dengan semangat yang masih sama, kembali ia pergi mencari. Kali ini harus dapat. Pelajaran untuknya harus dituntaskan, kalau tidak, dia akan terus semena-mena.  Ia yang bersusah-susah mencari kenapa harus keparat itu yang menikmati?
            Di ujung gang dekat bantaran kali, ketika hendak menuju ke terminal, ia disapa oleh seorang remaja laki-laki yang sama-sama mencari rejeki di perempatan.
            “Odi, kau nggak pergi ngamen?” tanya Pendi si pedagang koran.
            Ia menggeleng lemah.
            “Sakit? Wajahmu kurang sehat?”
            Ia kembali menggeleng.
            “Trus, mau kemana?”
            “Ada urusan!” jawabnya singkat. Berusaha mengelak dari pertanyaan lebih lanjut. Ia tahu, walau banyak omong, sebenarnya anak itu berhati baik. Tapi ia tak ingin meladeni. Ia punya urusan yang lebih penting untuk dilakukan. Degan gegas ia melangkah.
            “Eit, tunggu dulu! Ada yang mau aku omongin. Kau tahu si Boneng kan?”
            Ia tergeragap keparat itu disebut-sebut.  Tanpa sadar ia meraba belati di balik baju.
            “Keparat itu tadi malam mati. Dua orang temannya, lagi sekarat di rumah sakit. Mereka keracunan. Sekarang kita bakal aman. Tak ada lagi yang malakin anak-anak di perempatan.”
            “Apa?”  ia tersentak. “Keracunan?”
            “Mereka habis minum miras oplosan,” ujar Pendi lagi dengan wajah yang berbinar. “Senangnya! Mampus juga dia akhirnya.”
Anak itu pun meninggalkannya yang terpaku mendengar kabar itu. Antara tidak yakin dan percaya. Benar kah?
            Sungguh ia tidak tahu, ketika malam ia sibuk mengasah belati, si Boneng dan komplotannya juga sibuk berpesta. Mereka meracik minuman buatan sendiri. Rasanya lebih dashyat dari Tequila. Etanol dicampur minuman energi plus gingseng dan obat kuat. Uangnya berasal dari bocah-bocah yang berkeliaran di perempatan. Tak lama setelah minum, perut-perut mereka  meletup-letup seperti dibakar api. Mata melotot mulut pun  berbusa.
            Lama ia termenung di bibir kali. Ternyata ia kalah cepat. Tuhan justru lebih dulu bertindak.
 Akhirnya ia keluarkan juga belati itu dari balik baju. Tanpa pikir panjang, segera ia buang ke dalam kali. Sedetik kemudian benda itu menghilang dalam aliran yang menghitam bercampur sampah-sampah yang mengambang. Ia pun menarik napas dalam-dalam. Merasa ada yang tercerabut di dada. Kesumatnya seakan menguap seketika  (*).


Note: Padang Ekspres 3 Juli 2011, foto: gettyimages.com

Ayah


Dalam hidupku, baru empat kali kulihat ia mengeluarkan air mata. Namun itu bukanlah ekspresi kesedihan yang mengguncang perasaannya, tapi wujud rasa haru atas kebanggaan seorang laki-laki. Pertama, ketika aku lulus kuliah. Kedua, saat adikku, Iwang, mengikuti jejakku, diwisuda. Laki-laki mana yang tidak bangga dengan keberhasilan anak-anaknya menempuh pendidikan dengan prediket cum laude? Ketiga, saat aku menikah. Mata ayah tampak berkaca-kaca ketika aku mencium tangannya sebelum prosesi ijab kabul dilaksanakan. Sang penghulu memintaku untuk memohon restu pada orangtua kami. Aku melihatnya menghapus setetes butiran bening yang keluar di sudut matanya untuk kemudian mengalihkan perhatian dengan tersenyum sebaik mungkin. Dan terakhir, ketika Iwang, kembali mengikuti jejakku enam bulan yang lalu dengan mempersunting pujaan hatinya. Mata ayah, tidak hanya berkaca-kaca, tapi berlinangan. Bagi orang-orang yang melihat pada saat itu, mungkin mengira ayah seorang laki-laki tua sentimentil yang tak mampu menyembunyikan perasaan. Tapi tidak bagi anaknya, aku tahu persis makna yang mengiringi tetesan air mata itu. Air mata seorang laki-laki sejati.

Mungkin kau akan membantahnya dengan premis yang lebih masuk akal. A man doesn’t cry. Tapi aku juga punya alasan sendiri mempertahankan pendapatku. Belasan tahun lalu, ketika peristiwa paling menyedihkan dalam keluargaku terjadi, laki-laki itu sama sekali tidak menangis. Setegar batu karang ia menghadapinya, menenangkan aku dan Iwang agar tidak larut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Di usiaku yang baru sebelas tahun dan Iwang, sembilan, kami ditakdirkan jadi piatu. Dan ayah menyandang status duda di usia yang ke 38. Kematian ibu sungguh mendadak waktu itu. Masih lekat di ingatan, ibu baru saja pulang menghadiri sebuah acara temu ilmiah di Yogyakarta selama seminggu. Ia merasa tidak enak badan dan tahu-tahu meninggal. Perkiraan dokter, ibu mengalami keletihan. Aku dan Iwang terguncang. Tapi ayah begitu kuat dan tabah, bahkan saat jasad ibu dimasukkan ke liang kubur, ayah terlihat tegar. Sedih, sudah pasti, dan itu terlihat di wajahnya. Tapi tak setetespun air matanya keluar. Saat kami berdua sesunggukan di pusara ibu, ayah menuntun kami melafazkan doa-doa agar ibu dilapangkan kuburnya dan diterima di sisiNya. Ketenangannya sungguh luar biasa waktu itu.

Sebagian orang menganggap laki-laki sejati tak perlu menunggu waktu lama untuk mencari pendamping setelah ditinggal mati oleh istrinya. Cinta hanyalah untuk orang yang masih hidup. Tapi ayah memilih kami sebagai ladang cintanya. Ia rela sebagai orang tua tunggal dengan menempatkan diri menjadi ayah dan ibu sekaligus. Sebagai kepala rumah tangga, ia mencari nafkah menghidupi dan mencukupkan segala kebutuhan kami. Sebagai ibu, ia memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan urusan yang kecil-kecil lainnya sampai aku dan Iwang cukup mampu mengerjakan urusan rumah sendiri. Itu adalah tahun-tahun tersulit baginya, tapi tak pernah sekalipun aku melihatnya mengeluh.

Aku juga masih ingat, kedatangan seorang nenek tak berarti kami bisa lepas dari tugas-tugas rumah tangga, walau nenek suka prihatin melihat kami mengerjakan tugas-tugas rumah. Ayah melarang nenek mengambil alih tugas-tugas itu dan sering kali kulihat mereka berdebat, sampai-sampai nenek menyuruh ayah menikah lagi supaya ada yang mengurus kami. Namun ayah selalu bergeming. Sepanjang yang aku tahu, ayah memang tak berkehendak menikah lagi. Tak pernah kulihat gelagat atau pun usahanya mencari istri. Bisa jadi ia belum bisa melepaskan bayang-bayang ibu. Buktinya hampir tiap bulan ia punya ritual mengunjungi makam ibu di tanggal kematiannya. Dulu, aku senang melihat kesetiaan ayah, tapi semakin beranjak dewasa aku melihatnya sebagai seorang lelaki yang mempunyai cinta yang absurd pada orang yang sudah tiada. Sebenarnya kalau ayah hendak menikah lagi, aku dan Iwang tidak keberatan. Tapi ayah tetaplah ayah yang punya pemikiran tersendiri yang tak bisa kumengerti. Mungkin ayah terinspirasi kisah Syah Jehan pada Mumtaz Mahal. Untung saja ayah bukan raja. Kalau tidak, barang tentu ia akan membangun istana di makam ibu.

Dan sekarang di usianya yang senja, ayah hidup sendiri. Walau sudah kami bujuk, ia tak ingin tinggal bersamaku, atau Iwang. Katanya, ia tak mau menjadi beban anak-anaknya.

“Hidupku di sini, di kota ini! Bukannya aku tak mencintai kalian, tapi kalian sudah punya kehidupan sendiri-sendiri.”

“Tapi kalau Ayah bersama kami, akan ada yang mengurus.”

“Aku bisa mengurus diri sendiri. Tidak kau lihat selama ini aku terbiasa mengerjakan apa-apa sendiri?”
“Kalau ada apa-apa bagaimana?”

“Bagaimana apanya?” sorot mata itu begitu tajam seakan-akan menghakimiku punya pemikiran yang tidak-tidak.

“Bukannya aku mengharapkan hal buruk, tapi di sini ayah sendiri, tak ada siapa-siapa.”

“Percayalah! Aku baik-baik saja.”

“Jangan bilang kalau Ayah tinggal bersama kami, Ayah tak lagi bisa ke makam ibu.”
Ayah tergelak mendengar penuturanku. Sejenak ia menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan.

“Asal kau tahu, aku sudah tak melakukannya lagi semenjak hari pernikahan Iwang. Jadi sudah enam bulan ini aku berhenti mengunjungi makam ibumu.”

Alisku nyaris bertaut.

“Kenapa?”

“Tugasku sebagai ayah sudah selesai. Bagiku, membesarkan kalian, menyekolahkan kalian, dan menikahkan kalian bukan saja tanggung jawab tapi sekaligus merupakan hutangku pada mendiang ibumu. Nanti, kalau aku mati dan bertemu dengannya, aku bisa mempertanggungjawabkan amanah yang ia tinggalkan. Semua telah kutunaikan. Sekarang, aku laki-laki bebas. Biarkan aku dengan kesendirianku,” ujar ayah seraya memandangku tanpa kedipan. Aku tercekat.

“Tak ingin Ayah dekat dengan cucu?”

“Semua kakek tentu ingin dekat dengan cucunya! Tapi bukan berarti harus tinggal bersama-sama. Kalau kalian rindu, kalian bisa datang kemari. Dan bila aku merindukan kalian, aku juga bisa mengunjungi kalian. Aku rasa itu yang terbaik.”

Aku terdiam. Bagaimana mungkin aku membiarkannya sendiri sedangkan aku dan Iwang berada jauh darinya? Tak mungkin kami kembali ke sini. Kami punya kehidupan di ibu kota. Pekerjaanku di sana, dan bisa jadi masa depanku juga. Di sini hanyalah masa laluku. Tapi ayah tak berkehendak meninggalkan rumah ini, kota ini, untuk tinggal bersama kami.

Di rumah kecil ini, ayah dan ibu memulai kehidupan mereka hingga lahir aku dan Iwang. Di sini kami dibesarkan. Di kota ini aku bersekolah hingga kuliah. Tak akan pernah terhapus dalam ingatan bagaimana dulu ayah mengantar kami ke sekolah dengan motor Astrea bulannya setiap pagi. Dari SD hingga SMP, kami memang selalu diantar, hingga suatu saat jok motor itu tak mampu lagi menahan bobot kami yang semakin berat. Lagi pula aku sudah mulai merasa malu untuk diantar. Ajaibnya, motor itu sampai detik ini dalam kondisi baik dan terawat dan masih dikendarai ayah kemana pun ia pergi. Ayah tak mau menggantinya dengan motor baru, padahal kalau ingin ia tinggal bilang saja.

Kesepian. Jauh dari anak-anak, tentu merupakan keadaan yang tak menyenangkan sebetulnya. Tak ada orang terdekat yang bisa diajak diskusi masalah apa pun. Dulu, ayah senang sekali membahas topik-topik yang lagi hangat diberitakan media massa, atau betapa serunya begadang nonton bola bersama. Tapi sekarang? Hanya kekerasan hatinya saja mempertahankan kehidupan yang sarat masa lalu ini dan aku tak mampu melunakkannya.
***
“Apa boleh buat kalau memang itu yang diinginkannya,” ujar Iwang dengan wajah pasrah. “Aku juga sudah berulang kali membujuknya, tapi ia tetap saja tidak mau. Kalau ia senang dengan kesendiriannya, kita tidak bisa memaksa.”

“Justru itu yang jadi pikiranku. Mana ada orangtua yang senang hidup sendiri? Jauh dari anak dan cucu tentu akan membuatnya kesepian. Tapi Ayah tak mau mengakui itu karena tak ingin menjadi beban. Bukankah sudah seharusnya begitu?”

“Tapi itulah Ayah. Menurutku, sebaiknya kita ikuti saja apa maunya. Kalau ia tak ingin melepaskan semua kenangan untuk tinggal dengan kita secara bergantian, kita tidak bisa memaksa. Terserah Ayah sajalah.”

“Tega kau membiarkan Ayah hidup sendirian? Sementara kita jauh di rantau?”

“Bukan soal tega atau tidak, tapi soal pilihan Ayah. Kita sebaiknya menghormati pilihannya,” ujar Iwang menyikapi pendirian ayah.

Aku menghela napas dalam-dalam Sepanjang hidupku ini, masih belum bisa mengerti jalan pikiran beliau. Apa yang membuatnya terus bertahan hidup sendirian di kota kecil jauh dari kami anak-anaknya? Kalau ia mau, tentu hidupnya jau lebih enak dan nyaman bersama kami.

“Belum tentu apa yang menurut kita bagus, juga bagus menurut Ayah, “ ujar Iwang seakan menyadarkanku atas pemikiranku selama ini.
***
Malam itu aku tengah asyik bercengkrama dengan putri kecilku. Saat pulang kerja merupakan saat yang paling menyenangkan karena bisa bermain dengan anak hingga melepaskan diri dari rutinitas kerja yang kian hari kian menumpuk. Saat itulah aku menerima telepon dari ayah. Dari nada suaranya aku merasa beliau sehat dan ceria. Tawanya terdengar lepas.

“Ayah baik-baik saja?” tanyaku saat itu. Ayah terdengar tertawa lagi dan berkata ia baik-baik saja, bahkan jauh merasa lebih baik belakangan ini.

“Tak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawabnya terdengar begitu bersemangat di telingaku. “Aku menelponmu karena ada sesuatu yang ingin aku katakan. Tapi sebaiknya kita membicarakan hal ini secara langsung. Tak pantas rasanya aku memberitahumu lewat telepon.”

“Jadi aku harus pulang?”

“Sebaiknya begitu.”

“Pentingkah?”

“Bagiku ini penting.”

“Katakan saja, biar aku tidak penasaran!”

“Hm, aku akan menikah!”

“Apa? ” aku kaget. HP di tangan nyaris terlepas. Sungguh tak menyangka apa yang ia sampaikan. Ayah mau menikah?

“Iya, aku akan menikah. Makanya kau dan Iwang harus pulang. Sekalian nanti kalian akan kukenalkan dengan ibu baru kalian.” Terdengar suaranya begitu santai dan nada bahagia layaknya seorang pria yang mau berumah tangga, begitu mantap di telingaku. Aku tercenung. HP yang aku pegang sekarang benar terlepas dari genggaman.
***
Perhelatan akad nikah sudah dimulai. Rumah kecil ini seakan tak mampu menampung orang yang hadir. Aku dan Iwang duduk satu baris dengan 4 calon saudaraku, anak dari Ibu Lili, calon ibuku, pendamping ayah. Ayah tampak gagah dengan setelan jas biru gelap dan peci hitam. Sesekali ia tersenyum ke arah kami. Sementara Ibu Lili tampak malu-malu dan lebih banyak menundukkan kepala di samping ayah. Usianya juga tidak lagi muda, tapi di mataku tampak sepadan dengan ayah. Sesekali anaknya menggoda ibunya. Sang penghulu yang usianya lebih muda dari ayah juga terlihat agak sungkan, bahkan tampak sedikit tegang. Mungkin tak biasa menikahkan pasangan yang usianya lebih tua darinya. Sebentar-sebentar ia memeriksa berkas-berkas yang ada di tangannya.

“Hmm, baiklah, tampaknya semua persyaratan administrasi sudah lengkap. Apakah bisa kita mulai saja akad nikahnya?” ujar pak penghulu yang kemudian dijawab hampir serentak oleh orang-orang yang hadir.

Lantunan ayat suci mengawali prosesi pernikahan ayah yang dibacakan oleh perempuan muda yang ternyata anak ibu Lili, calon saudaraku. Suasana tampak begitu hening ketika suaranya yang merdu melantunkan ayat suci. Kemudian prosesi langsung berlanjut ke acara inti, tak ada upacara mohon doa restu seperti aku dan Iwang dulu. Seorang laki-laki sepantaran pak penghulu bertindak sebagai wali nikah Bu Lili, yang ternyata adiknya sendiri. Akad nikah itu pun dimulai.

Suasana semakin hening dan khidmat, dan aku rasa jauh lebih khidmat dibanding pernikahanku dulu. Tampak ayah dan lelaki itu saling berjabat tangan.

“Saudara Imran Maulana Bin Abdurrahman, saya nikahkan dan saya kawinkan saudara dengan kakak saya yang bernama Lili Nuryana dengan mas kawinnya berupa seperangkat alat shalat, tunai…” ucap lelaki itu dengan suara bergetar tapi terdengar jelas tanpa salah.

“Saya terima nikahnya dan kawinnya Lili Nuryana binti Ahmad Zarkasi dengan mas kawinnya yang tersebut, tuunaaii!” jawab ayah dengan intonasi yang jelas dan mantap di tengah keheningan orang yang hadir.

Sang Penghulu melirik pada saksi-saksi yang hadir.

“Sah ! Saaah!!” ujar para saksi.

Ketika Penghulu mengucapkan beberapa patah kata, aku tak menyimak lagi. Aku hanya menatap wajah ayah yang tampak dibalut bahagia. Bibirku tiba-tiba bergetar dan dadaku bergemuruh hebat. Tak percaya rasanya ini sungguh-sungguh terjadi. Pikiranku melayang-layang mengenang kembali kehidupan kami di masa silam. Bagaimana ia membesarkan kami seorang diri. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mengurus kami. Tak sekalipun ia memikirkan diri sendiri. Dan sekarang, di saat kami sudah berkeluarga, baru ia memikirkan kepentingannya sendiri. Tiba-tiba aku ingat ucapannya tempo hari:

“Tugasku sebagai ayah sudah selesai. Bagiku, membesarkan kalian, menyekolahkan kalian, dan menikahkan kalian bukan saja tanggung jawab tapi sekaligus merupakan hutangku pada mendiang ibumu. Nanti, kalau aku mati dan bertemu dengannya, aku bisa mempertanggungjawabkan amanah yang ia tinggalkan. Semua telah kutunaikan. Sekarang, aku laki-laki bebas…”


Kutatap wajahnya yang bahagia. Mungkin inilah saat yang ia tunggu dalam hidupnya, memulai kehidupan yang baru. Ketika aku memeluk erat dirinya memberi ucapan selamat, entah mengapa air mataku menggenang dan jatuh. Dulu ia melepas kami dengan air mata, sekarang aku juga melepasnya dengan linangan air mata. Ayah, semoga engkau hidup bahagia….


Foto: Gettyimage.com