Dia
lelaki kesepian dan aku haus akan belaian. Seharusnya kami bisa bersenyawa dan
saling melengkapi. Tapi tidak, justru kami tidak saling berinteraksi meski kami
tinggal di bawah atap yang sama. Dia sibuk dengan dunianya, dan aku larut dalam
duniaku. Tak ada tegur sapa darinya semenjak kami tinggal bersama. Aku tidak
tahu mengapa ia bersikap begitu. Boleh dibilang aku nyaris putus asa untuk
menarik perhatiannya. Dulu aku mencoba menebar pesona, melenggak-lenggok di
depannya, berusaha mendekat dan merajuk, tapi ia hanya menatapku sekilas dan
berlalu.
Kadang
aku membayangkan duduk dipangkuannya dan bersenda gurau. Tapi ia terlalu dingin
dan tak peduli. Puji syukur aku tak diapa-apakan olehnya. Akhirnya aku memang
tak bisa berharap banyak dan tahu diri kalau aku memang tidak menarik
hatinya. Aku memang tidak cantik, malah berkesan kampung dan udik. Dan
satu lagi kekuranganku, aku tuli. Meski aku bisa merasakan indahnya warna-warni
dunia, tapi aku hanya memandangnya dalam kesenyapan. Kau mau tahu mengapa aku
tuli? Baiklah, akan kuceritakan. Tapi kuharap kau tidak memberikan rasa iba
karena itu tiada guna. Lagi pula apa yang bisa kau lakukan untuk membantuku?
Semua sudah terjadi.
Aku
tuli karena takdir. Nasibku memang buruk. Sedari kecil aku sudah dicampakkan
karena tidak diharapkan. Aku hidup hanya mengandalkan naluri. Kesana kemari
mencari sesuap nasi. Suatu saat ada orang jahat, ia menyiksaku hingga sekarat.
Ia menendang dan menghajarku karena karena ketahuan mencuri.
Kejahatan yang kulakukan, tak sesuai dengan hukuman yang aku dapatkan. Aku
harus kehilangan pendengaran. Kepada siapa aku harus mengadu? Aku hanya makhluk
tak berdaya. Masih untung tak kehilangan nyawa. Semenjak itu aku jadi takut
bila bertemu orang. Kau boleh menyebutku Paranoia. Menjauhi keramaian dan
sangat berhati-hati dengan orang-orang. Dunia ini memang kejam, dan aku harus
punya cara untuk bertahan.
Di
saat itulah aku bertemu lelaki itu. Ia sendiri di rumahnya yang jauh dari
pemukiman. Terpencil sendiri tak berteman. Aku tidak tahu apakah ia punya
keluarga atau tidak. Ia laki-laki yang berteman sepi. Baginya rumah hanyalah
gua untuk bersembunyi, atau untuk melepas penat seharian setelah berjibaku di
luar sana melawan dunia. Pergi pagi pulang menjelang malam, bahkan tak jarang
bila matahari sudah lama masuk ke peraduan.
Aku
sering menunggunya di depan pintu. Berharap ia menyapaku, membelai kepalaku.
Tapi seperti yang aku katakan, ia dingin tak peduli seperti orang yang tak
punya hati.
Kebiasaannya
yang lain yang aku tahu adalah menonton tivi sambil selonjoran. Kadang sampai
tertidur di depan tivi. Aku suka mengintipnya dari balik pintu. Lucu sekali
melihat kepalanya yang terkulai dengan mulut yang sedikit menganga.
Ia
bukan lelaki tampan sebenarnya, tak ada yang istimewa. Hidungnya sedikit besar
dengan rambut kasar berombak. Badannya terlalu kurus untuk tingginya yang
semampai. Kalau boleh kutebak usianya bisa jadi sudah setengah baya. Sudah
terlihat keriput di sudut mata dan sebagian uban yang menyumbul dari balik
kepala.
Kadangkala
pikiran usilku suka bertanya. Tidak adakah keinginannya untuk punya keluarga?
Punya istri dan beranak pinak? Kenapa masih hidup sendiri? Ataukah ia lelaki
yang tak percaya diri ataukah lagi pernah disakiti?
Aku
saja kepingin. Tapi bila keinginan itu datang terpaksa aku tahan. Aku terlalu
takut pergi jauh mencari pasangan. Lebih baik berdiam di rumah ini sembari
terus menanti kalau ada yang datang.
Jadilah
aku jadi penunggu rumah paling setia. Tidak pernah ke mana-mana. Sesekali
mengamati orang lewat di depan rumah. Itu pun hanya lewat satu dua. Siang hari
memang selalu terlihat sepi, malam apalagi. Tapi sesungguhnya bagiku inilah
lingkungan teraman untuk ditinggali. Tempat ideal bagi para pecinta sepi.
***
Aku
sedang leyeh-leyeh di teras rumah sore itu. Tanpa aku sadari, tiba-tiba saja
ada sesosok pejantan muncul di hadapanku entah dari mana datangnya. Tubuhnya
tegap, dengan kepala yang kokoh. Matanyanya begitu nyalang menatapku. Mulutnya
menyeringai dan mengucapkan sesuatu. Aku hanya terpana, tanpa bisa
berkata-kata.
Harus
kuakui kalau aku terpesona pada pandangan pertama. Walau penampilannya terlihat
lusuh, tapi auranya begitu kuat menggoda. Mungkin saja ia jantan pengelana yang
kebetulan lewat depan rumah.
Aku
tersipu malu ketika ia terus menatapku dengan sorot menggoda. Ia terus mendekat
dan mendekatiku. Jantungku berdebar-debar ketika ia mengambil tempat di
sampingku tanpa malu-malu. Diajaknya aku bicara sesuatu, tapi aku tak mendengar
dan merespon hanya dengan senyuman.
"Oke...oke...lebih
baik kita bicara dengan bahasa kalbu kalau kau tak mampu mengatakan sesuatu
untukku" gerak
bibirnya jelas kubaca. Dan akhirnya kami bicara dalam diam. Lama saling
berpandangan.
Tapi
ternyata, kebersamaanku dengannya hanya berlangsung sementara. Lelaki itu akhirnya
datang dan melihat aku bersama pejantan baru, ia marah. Lelaki itu mengamuk
dengan melempar sebongkah batu kepada kekasih baruku. Aku hanya bisa pasrah.
Tapi aku yakin jantan pengelanaku akan kembali, karena dari sorot matanya, ia
diliputi gairah. Sebagai betina kesepian tentu saja aku merasa terbakar asmara.
***
Ternyata
dugaanku tak salah. Si Jantan pengelana kembali di malam hari. Seperti seorang
pencuri ia mengendap-endap datang kepadaku yang ketika itu sedang menikmati
udara malam di teras rumah berteman cahaya rembulan. Aku dan dia dengan insting
purbawi mencari tempat yang aman untuk memadu kasih. Kamipun memanjat loteng
diam-diam. Tapi sudah naluri, kami tak bisa diam-diam dalam bercinta.
Geradak-geruduk kami membuat si lelaki paruh baya marah di bawah sana. Tapi
kami tidak peduli, terus bercinta melepas hasrat purba. Pengalaman pertama yang
begitu berkesan. Usai semua itu, si jantan pengelana pergi meninggalkanku.
Kau
tahu, si lelaki paruh baya itu keesokan harinya marah padaku. Mata tajamnya menyorotkan
benci. Apakah ia merasa terganggu ataukah cemburu? Tapi syukurlah ia tidak
menghajarku atau melempar sesuatu. tapi yang jelas semenjak itu ia semakin
dingin. Betul-betul dingin tak peduli.
***
Dua
bulan sudah berlalu. Perutku sudah semakin besar. Aku juga makin gelisah, bukan
karena memikirkan si jantan pengelana yang tidak ada di sampingku bila aku
melahirkan benih yang ditanamnya. Bukan. Aku sudah nyaris melupakan dia. Yang
kupikirkan adalah tempat untuk melahirkan. Si lelaki paruh baya, semenjak
peristiwa tempo hari itu, tidak lagi mengijinkan aku masuk ke dalam rumahnya.
Duniaku hanya sebatas halaman dan teras rumah saja. Teganya ia padaku. Terlalu.
Malam
itu aku kembali tidur-tiduran di depan rumah. Aku sedikit malas bergerak karena
perutku semakin berat. Di antara tidur dan terjaga, aku melihat sesuatu yang
bergerak meluncur pelan masuk menyelinap ke dalam rumah. Badannya panjang dan
hitam. Aku terlonjak. Seketika itu langsung mencium bahaya. Aku bangkit dan
berlari. Itu makhluk berbahaya, tidak saja bagiku, tapi juga bagi si lelaki
setengah baya. Tidak! jangan sampai si lelaki dipatuk makhluk itu!
Aku
coba menghadang. Si hitam panjang mengangkat kepalanya, marah padaku karena
menganggu jalannya. Aku mencoba membuat gaduh, berteriak biar si lelaki itu
terbangun. Kupasang kuda-kuda dan mengibaskan kaki. Si Hitam panjang semakin
mengangkat kepalanya mencoba untuk menggertakku. Tapi aku tidak surut, terus
menghalaunya. Ia pun semakin marah. Aku makin tak peduli. Yang penting ia harus
pergi dari sini. Ini bukan teritorialnya.
Kucoba
terus menghalaunya. Kepalanya makin siaga. Aku terus merangsek dan berteriak.
Ke mana lelaki itu? Mengapa ia tidak terjaga dan keluar melihat apa yang
terjadi? Saat aku mencoba terus maju, ia pun melancarkan serangan. Dengan cepat
aku berkelit, melompat dan menghindar.
Ia
melancarkan serangan lagi, aku terkesiap. Tanpa diduga patukannya mengenai
bagian depan tubuhku. Aku pun meradang dan membalas serangan. kami pun
bergumul.
Ia
membelit tubuhku dan dan mematukku lagi. Aku kalap dan membalas dengan
menggigit tubuhnya yang licin. Saat memberi perlawanan aku terus berteriak
membuat gaduh. Tapi tubuhnya semakin kuat melilit tubuhku. Aku tak kuasa
bergerak dan bernapas dan terus menjerit minta bantuan.
Si
lelaki paruh baya itu akhirnya keluar. Tentu saja ia terlonjak kaget melihatku
bertarung dengan seekor ular. Dengan cepat ia berbalik dan beberapa detik
kemudian kembali dengan sepotong tongkat. Dikibaskannya tongkat itu dengan
cepat ke arah kami yang tengah bergumul. Tanpa menunggu kesempatan ia terus
melancarkan serangan. Dan saat yang tepat, ujung tongkat itu tepat mengenai
kepala si hitam panjang. Belitannya jadi mengendur dan aku berhasil meloloskan
diri.
Si
lelaki itu tanpa henti terus memukul si hitam panjang yang makin tak berdaya.
Bertubi-tubi hingga ular itupun diam tak bergerak dengan kepala yang nyaris
hancur.
Aku
limbung. Pandanganku mengabur. Seperti ada sesuatu yang melumpuhkan seluruh
otot dan aliran darahku. Lelaki itu segera meraih tubuhku dan didekapnya ke
dada.
Sepanjang
kebersamanku dengannya, inilah pertama kalinya ia membelaiku sembari tergugu
dengan wajah penuh penyesalan. Dalam samar kulihat bibirnya bergerak
seakan berkata,
"Kucingku
sayang...jangan mati! Kau jangan mati!" ia terisak.
Kesadaranku
semakin menghilang, sejurus kemudian aku pun tidak ingat apa-apa lagi...
foto: gettyimages.com
0 komentar:
Posting Komentar