Gettyimages.com |
Seorang gadis kecil
tengah menarik tali dua ekor kambing yang lumayan besar. Suara embikan kambing
bersaing dengan deru mesin dan klakson mobil siang itu. Langit menghitam,
mungkin sebentar lagi hujan. Ia harus cepat-cepat menyeret kambing itu untuk
dikandangkan sebelum hujan turun. Baru saja pulang mengaji, Eneng diingatkan
Emak mengambil kambing yang diikatkan di pohon petai cina di pinggir jalan tak
jauh dari rumahnya. Bergegaslah ia, tak ingin kambingnya kehujanan nanti.
Dua ekor kambing itu
adalah pemberian Uwaknya setahun lalu. Diberikan sebagai bekal Eneng masuk SMP.
Hanya itu yang bisa Uwak bantu ketika emaknya Eneng, Winarsih, berkeluh kesah.
Sebagai orangtua tunggal Winarsih tak mampu menanggung biaya pendidikan ketiga
anak-anaknya. Penghasilannya sebagai pembuat kue basah yang dititipkan di
warung-warung sekitar rumah hanya bisa menutupi biaya hidup sehari-hari.
Suaminya entah berada di mana, sudah empat tahun tidak pulang-pulang semenjak
pergi ke Batam mencari kerja. Tak ada kabar berita sama sekali. Mungkin sudah
kawin pula ia di sana. Untunglah si Uwak memberi jalan keluar. Eneng diberi dua
ekor anak kambing. Kalau ia bisa merawatnya, kambing itu akan tumbuh besar dan
bisa dijual saat masuk SMP. Makanya Winarsih selalu wanti-wanti pada Eneng
untuk memeliharanya baik-baik. Itu adalah aset berharga,yang dulunya kecil
sekarang sudah besar, harganya pun tentu mahal pula.
Tiap Hari Eneng menjaga
dan merawatnya. Bahkan ia memberi nama kedua kambing tersebut. Ronaldo dan
Mesi. Eneng tak peduli omelan Japri, karena memberi nama seperti nama pemain
bola kesayangan si Abang. Apa urusannya sama bola? Toh, di mata Eneng, si
Ronaldo dan Mesi juga amat berharga. Japri pun meledeknya dengan tambahan
embel-embel kambing di belakang nama Eneng. Embel-embel itu muncul karena Emak sering
kali berteriak di kala pagi dan sore.
“Neeeeng!”
“Iya, Mak!”
“Kambing!”
Itu maksudnya, Eneng
harus mengeluarkan kedua kambingnya dari kandang di belakang rumah pada pagi
dan memasukkannya ke kandang di kala petang. Karena kebiasaan Emak itulah Eneng
dijuluki Eneng Kambing.
Bagi Eneng memang
susah-susah gampang mengurus kedua kambingnya. Ia bisa saja melepaskan si
Ronaldo dan Mesi mencari makan sendiri. Tapi itu beresiko. Ia pernah dilabrak
Haji Poni karena kedua kambing itu merusak tanaman hiasnya. Pernah juga Bu
Sarti tetangga sebelah marah-marah karena si Ronaldo dan Mesi buang hajat di
halaman rumahnya. Entah bagaimana caranya kedua kambing itu bisa masuk
pekarangan Bu Sarti yang memang judes mulutnya. Makanya si Ronaldo dan Mesi
lebih sering diikat dengan tali yang cukup panjang di dekat pohon petai cina
atau di belakang rumah tak jauh dari
kandang.
***
Kedua kambing itu terus
saja mengembik seperti protes kenapa harus cepat dikandangkan. Keduanya mencoba
melepaskan diri dan sedikit meloncat-loncat hingga Eneng berusaha mempererat
pegangan tali supaya tidak lepas. Akibatnya, tubuh kurusnya terdorong-dorong
karena hentakan tali. Si Ronaldo yang berbadan lebih besar dan punya tenaga
lebih kuat mencoba kabur, tapi tali yang melilit lehernya menghalangi
gerakannya. Kambing itu mengembik kuat. Eneng sedikit kewalahan. Ia pun
mengambil ranting kayu dan memukulkannya pada si Ronaldo.
“Bandel kamu ya? Masih
belum puas makan seharian? Ayo cepat masuk ke kandang. Sebentar lagi hujan, Ayo
cepat!” ujar Eneng pada kambingnya. Alhasil, si Ronaldo akhirnya menurut
walaupun masih mengembik kencang.
Tetes hujan pertama pun
jatuh di wajah Eneng. Ia semakin kuat menghela tali di tangannya. Kedua kambing
itu terseret dan mencoba berlari. Dalam sekejap tetesan hujan semakin banyak
turun, seakan berpacu jatuh ke bumi. Eneng mempercepat langkahnya, tak ingin
kedua kambing itu basah karena hujan.
Akhirnya ia berhasil
memasukkan kambing itu ke kandang tatkala hujan turun dengan derasnya. Ia merasa
lega. Walaupun ia sendiri basah, yang penting kambingnya selamat dari siraman
hujan. Bagaimanapun juga, kambing tetaplah kambing yang tak bisa terkena air.
Kalau nanti sakit perut dan parah, Eneng juga yang akan rugi. Bisa sia-sia
usahanya selama ini. Bisa-bisa tidak bisa melanjutkan sekolah ke SMP beberapa
bulan lagi. Kedua kambing itu adalah masa depan Eneng.
Ujian akhir memang
dalam hitungan minggu lagi. Setelah itu ia akan menjelma menjadi anak SMP.
Tentu saja seragamnya juga akan berganti menjadi putih dan biru dongker. Untuk
itu Eneng semakin giat belajar belakangan ini, tidak mau jauh dari buku-buku
pelajaran. Eneng yakin ia akan bisa masuk SMP yang ia idamkan, dan juga tidak
khawatir dengan biaya sekolahnya. Rasanya, harga dua ekor kambing itu cukup
menutup biaya sekolahnya nanti di tambah beli anak kambing yang baru untuk
dipelihara lagi.
Eneng ingat, beberapa
waktu lalu kambingnya sudah ditawar orang. Tapi ia tidak mau melepasnya. Bukan
apa-apa, ia hanya khawatir kalau kambing itu dijual lebih awal, uangnya malah
terpakai untuk keperluan lain sama Emak.
***
Maghrib baru saja
lewat. Eneng sudah menyelesaikan kewajiban shalatnya. Baru saja ia melipat
mukena dan siap-siap belajar, tiba-tiba lampu mati. Gelap langsung menyelimuti
rumah kecil berdinding papan tak bercat itu. Sementara di luar hujan masih saja
turun, seperti tidak ada tanda-tanda akan berhenti. Memang tidak deras lagi,
namun lebih dari sekadar gerimis. Sementara udara dingin karena hujan yang
cukup lama terus menerobos setiap celah yang ada di rumah itu.
“Neeeeengg!” terdengar
lagi si Emak memanggil.
“Iya, Maaak!”
“Cepat kau hidupkan
lampu teplok! Gelap ini semua.”
“Iya…iya…” Eneng segera
menuruti perintah Emak. Bergegas ia ke ruang tengah mengambil lampu teplok yang
hanya satu di rumah itu, kemudian mencari geretan di dalam keremangan suasana.
Sementara Emaknya masih berjibaku di dapur menyiapkan adonan kue, terdengar
mengomel-ngomel karena pekerjaannya terganggu gara-gara mati lampu. Si Japri,
abangnya, entah kemana. Ah, dasar anak laki! Jam segini masih kelayapan.
Sementara adiknya si Anin menemani Emak di dapur.
“Kau tak
usah belajar dulu, nanti bisa sakit matamu gelap begini,” ujar Emak tatkala
Eneng meletakkan lampu minyak itu di tengah meja. Cahaya lampu meski tidak
begitu terang, tapi masih bisa diandalkan untuk menerangi suasana dapur.
“Besok
ulangan Matematika. Lagipula ada dua batang lilin, kok.”
“Jangan dipakai
sekaligus. Entar kalau listriknya lama baru nyala, gimana? Emak nggak ada uang
beli lilin lagi.”
“Terus
gimana?
“Tunggu
listrik sampai nyala. Sekarang kau bantu Emak buat adonan ini jadi bulatan
kecil-kecil seperti biasa. Mak mau masak sayur krecek dulu.”
Eneng hanya bisa menuruti perintah Emaknya. Perutnya juga
sudah lapar dari tadi. Di keremangan lampu teplok masing-masing sibuk dengan
urusannya.
“O iya,
Neng. Tadi Pak Haji Kardi yang tinggalnya dekat masjid, mau mengadakan acara
Aqiqah cucu pertamanya. Gimana kalau kambing piaraanmu dijual ke dia saja. Emak
juga sudah ngomong ke beliau. Dia mau beli kambingmu seharga sejuta tujuhratus
limapuluh ribu. Dua ekor tiga setengah juta. Lebih dari lumayan itu, Neng, buat
biaya sekolah kamu nanti. Lagipula tak usah repot-repot lagi kita mencari
pembeli.”
“Kapan
acaranya, Mak?”
“Seminggu
lagi, di hari ke empat belas usia cucunya. Kita jual ke dia saja ya?”
Eneng tak langsung menjawab. Kalau ia menyetujuinya, berarti
si Ronaldo dan si Mesi bakal disembelih seminggu lagi dan jadi santapan orang
banyak. Sungguh tak tega memikirkan hal itu, soalnya kedua kambing itu sedari
kecil sudah dipeliharanya. Ada keterikatan emosional antara ia dengan Ronaldo
dan Mesi. Tapi, bukankah ia butuh uang untuk sekolahnya nanti?
“Bagaimana,
kamu setuju nggak?” tanya Emak menyadarkan Eneng.
“Terserah
Emak aja. Yang penting uangnya nanti nggak dipakai untuk keperluan yang lain.”
“Kamu itu
ngomongnya kayak orang nggak percayaan saja sama Emak!” si Emak rada sewot
mendengar ucapan Eneng.
Eneng hanya
bisa cengengesan.
***
Emak baru saja bangun
pagi itu. Fajar belum muncul karena azan subuh baru saja berkumandang. Saat mau
mengambil air wudhu di sumur belakang rumah, emak menjerit kencang membangunkan
seisi rumah.
“Neeeeeennggg!
Kambiiiinggg!!” ujar perempuan itu histeris.
“Kambingmu!
Kambiing kamu!”
Eneng terlonjak dari
ranjangnya. Dengan rambut acak-acakan dan tanpa sempat menggeliat atau mengucek-ucek
mata seperti kebiasaannya bangun pagi, ia langsung bergegas ke belakang rumah
di mana ia mendengar teriakan Emak tidak seperti biasanya. Ada apa dengan
kambingnya?
Di belakang rumah
persis di depan kandang kambing, dilihatnya Emak menangis sesunggukan.
Dilihatnya pintu kandang yang terbuka, gemboknya seperti dibuka paksa. Dan
tidak ada Ronaldo dan Mesi di dalamnya. Yang ada hanyalah bau kambing menyergap
hidungnya.
Dadanya tiba-tiba
sesak. Seperti ada sesuatu yang dari dalam meremas jantungnya. Sama sekali ia
tidak menduga apa yang telah terjadi.
“Kambingmu,
Neng, dicuri orang! Kambingmu hilang!” ujar Emak menyadarkannya.
Eneng tergugu di ambang pintu kandang. Lututnya terasa lemas
dan goyah. Impiannya seperti tercerabut secara paksa. Maling telah sukses
mencuri masa depannya tadi malam.
Ya, tadi malam ketika hujan turun dengan lebatnya, seisi
rumah terbuai dalam tidur yang teramat nyenyak. Cuaca dingin membuat mereka
merapatkan selimut sehingga tak ada yang menyadari ada yang menyelinap masuk ke
kandang kambing dan mencuri si Ronaldo dan Mesi. Apalagi lampu juga mati,
sehingga menjadikan malam yang begitu sempurna untuk si Maling.
0 komentar:
Posting Komentar