Sepertinya sekarang ini
tiada hari Minggu tanpa pesta/ hajatan perkawinan atau yang lazim disebut
baralek. Dalam satu ruas jalan atau satu kawasan pemukiman, bisa jadi terdapat
satu atau lebih rumah yang menggelar hajatan ini. Belum lagi kawasan lain. Tak
percaya? Silakan jalan-jalan keliling kota di hari Minggu. Dengan mudah dilihat
adanya tenda-tenda pesta dan umbul-umbul (marawa) yang dipasang sebagai
penanda.
Masih ingat nggak, ini siapa yang baralek? |
Sebagai makhluk sosial
yang berinteraksi, kita terkadang mendapat lebih dari satu undangan pesta
perkawinan yang jatuh pada tanggal dan bulan yang sama, entah itu dari sahabat,
kerabat, atau relasi. Semakin luas ruang lingkup dan pengaruh seseorang, semakin
sering mendapat undangan perkawinan. Rupa-rupanya hari baik bulan baik
menggelar pesta perkawinan, berlangsung seluruh Sabtu/Minggu sepanjang tahun,
kecuali bulan Ramadhan. Secara guyonan, stok pemuda/pemudi yang mau menikah
berlimpah ruah di negeri ini. Secara serius bisa diartikan, menikah merupakan
tanggung jawab sosial bagi setiap individu yang memenuhi syarat untuk
meneruskan generasi berikutnya demi pelestarian umat manusia. Bukankah dalam
agama juga diperintahkan untuk segera menikah bila sudah mampu baik biologis,
psikologis, dan finansial?
Lain Bengkulu lain
Semarang, lain dahulu lain sekarang. Pesta/ baralek pun turut mengalami
perkembangan zaman. Perkembangan ini terjadi akibat bergesernya sudut pandang.
Tulisan ini hanya akan membahas perbedaan beberapa elemen yang ada dalam acara
baralek di mana dahulu tidak biasa, sekarang menjadi kelaziman, dan sebaliknya,
dahulu suatu kelaziman sekarang kalau dipraktekkan mungkin menjadi suatu
keanehan.
Dahulu dalam mengundang
tetangga, kerabat, handai taulan untuk datang baralek, pihak yang punya hajat menggunakan
bahasa lisan, kaum ibu menyodorkan sirih, kaum bapak menyodorkan rokok. Apabila
sirih dikunyah dan rokok dihisap oleh yang menerima, berarti mereka dengan
senang hati menerima undangan tersebut. Seiring Zaman, budaya nyirih sudah
ditinggalkan karena ibu-ibu sekarang lebih senang ngemut permen, dan
bapak-papak tak lagi banyak merokok,
maka mengundang pun beralih cara. Sirih berganti permen. Cara lisan berganti
tulisan yakni dengan menggunakan kartu undangan.
Kalau dahulu alek
diadakan di rumah gadang. Tetangga dan kerabat dekat pun berdatangan membantu
mempersiapkan jamuan/ hidangan. Mereka saling bantu memasak, menyiangi bawang,
menggiling cabai, memotong sayuran dan lainnya. Terjadi interaksi satu sama
lain dalam suasana kekeluargaan. Di sana terlihat mana yang ikhlas mana yang
pemalas. Sekarang sudah berubah. Budaya gotong royong sudah terkikis dengan sikap individualis. Tak
mau merepotkan apalagi direpotkan. Baralek di gedung menjadi pilihan. Kalau tidak
di hotel, ya, di gedung pertemuan. Kalau diadakan di rumah, jasa katering pun
menjadi andalan, lengkap dengan pramusajinya sekalian. Perjamuan tidak lagi
dengan secara bajamba, di mana hidangan tersusun di lantai dialasi kain putih
panjang, dan makan menggunakan tangan. Sekarang lebih praktis, secara prasmanan
atau french dinner. Ambil sendiri, duduk di meja kursi yang telah disediakan
dan makan menggunakan sendok dan garpu.
Era rumah gadang memang
sudah berlalu. Rumah sekarang memang banyak yang kecil-kecil sejenis tipe 21 atau 36. Kalau penghuni rumah
tipe ini mengadakan hajatan, penempatan pelaminan jadi masalah karena tempat
bersanding mempelai jelas makan tempat. Orang pun mengakali dengan men-setting pelaminan
di luar ruangan. Dahulu letak pelaminan mesti di dalam rumah dan menghadap
pintu depan. Ini punya filosofis tersendiri. Artinya, mempelai pria sebagai
pendatang diterima sebagai urang sumando di rumah itu, akan tetapi ia hanya
boleh terlibat untuk urusan luar, bukan untuk urusan internal keluarga besar.
Pandangan sikapnya sama saat ia bersanding di pelaminan menghadap ke luar.
(foto 2) Pesta perkawinan Anak zaman Sekarang |
Tapi sekarang ini,
pelaminan di halaman rumah atau di garasi pun menjadi lumrah. Selumrah
mengokupasi jalanan untuk mendirikan tenda. Khalayak umum diminta maklum, kalau
perlu memutar jalan.
Warna-warna ornamen
pelaminan dan pakaian kedua mempelai pun dahulunya hanya didominasi oleh
warna-warna tertentu alias ada pakemnya. Berhubung sekarang zaman keterbukaan,
terbuka terhadap inovasi dan ekspresi, pilihan warna dan bentuk berdasarkan
preferensi bahkan kreasi sendiri. Dahulu, sunting di kepala Anak daro,
menggunakan anakan batang pisang yang diikat ketat dengan rambutnya. Pada
batang pisang tersebut ditancapkan sunting yang terbuat dari logam. Tak sedikit
rambut yang rontok akibat pemasangan ornamen tersebut. Sekarang tinggal bongkar
pasang. Gampang.
Tentu tak asyik, kalau
pergi kondangan hanya datang, makan dan salaman dengan pengantin, kemudian
pulang. Hiburan harus ada. Hiburan yang paling lazim yakni orgen tunggal.
Sekarang tidak terlihat lagi alat musik tradisional seperti perangkat
talempong, saluang, dan sejenisnya. Dengan orgen tunggal, semua jenis musik
bisa dimainkan. Pop, dangdut, melayu, kasidah, dan sebagainya. Selain dari
penyanyi yang memang sudah disediakan oleh grup orgen, para undangan pun bisa
menyumbang lagu unjuk kebolehan.Kapan lagi bisa pamer suara merdu di depan
orang banyak?
Bingung memberikan kado
apa? Tak usah repot-repot. Bukan zamannya lagi memberikan kado spesial.
(foto3) Makan Bajamba |
Pada zamannya, kado
adalah kenang-kenangan untuk kedua mempelai dalam rangka memulai hidup baru.
Jadi isinya kebanyakan adalah peralatan rumah tangga. Tapi karena banyak yang
nggak kreatif dan selektif dalam memberi, sering dijumpai isi kado yang sama hingga jadi mubazir.
Sekitar akhir 80-an dan
awal 90-an Anda mungkin pernah mendapat kartu undangan pesta perkawinan yang
bertuliskan,
“Tanpa
mengurangi rasa hormat kedua mempelai, alangkah baiknya tanda kasih yang diberikan
tidak dalam bentuk karangan bunga, ataupun berbentuk benda.”
Semenjak itu era kado
mulai berakhir. Sekarang cukup dengan uang yang dimasukkan ke dalam amplop, dan
setelah mengisi buku tamu, tinggal memasukkannya dalam kotak sumbangan yang
telah disediakan. Kotak ini ada yang seperti meja yang ditutup kain, dan ada
yang berdesain miniatur rumah adat Minang. Acara buka kado usai pesta pun berganti
menjadi penghitungan hasil saweran dengan atmosfer tak kalah mendebarkan. Kira-kira
balik modal nggak ya?
Para undangan pun akan
mendapat souvenir kecil sebagi tanda terima kasih. Nah, ini serunya. Souvenir
ini bisa bermacam-macam. Bisa kipas, sumpit, keramik kecil, tempelan kulkas,
tempat tisu dan sebagainya. Bahkan ada sovenir yang hanya berupa permen dan
tusuk gigi. Mungkin maksud yang punya hajatan, agar tamu undangan tak
repot-repot mencari tusuk gigi setelah makan-makan.
Satu lagi yang sudah
menjadi trend dalam pesta perkawinan zaman sekarang adalah papan karangan
bunga. Banyaknya papan karangan bunga menunjukkan siapa yang punya hajat.
Semakin banyak koneksi dan relasi, akan semakin banyak papan karangan bunga
yang diterima. Pernah lihat, kan, pesta perkawinan papan karangan bunganya
meluber memenuhi kiri–kanan jalan? Kalau banyak begitu, pasti tak akan dibaca
atau diperhatikan lagi oleh tamu yang datang. Soalnya sudah bingung
duluan. Kalau satu karangan bunga
harganya 500 ribu, lima puluh karangan bunga bisa ditaksir senilai 25 juta. Hm,
mubazir? Tergantung! Tergantung sudut pandang dan kepentingan.
Ya, begitulah acara
baralek yang setiap Minggu selalu saja ada di sudut-sudut kota ini. Supaya Anda
tidak salah tuju, sebaiknya pantengin dulu foto pre-wedding pengantin yang
berukuran besar yang terpampang di depan pintu masuk, benar tidak orangnya?
Sungguh tidak lucu setelah mengisi buku tamu dan menghabiskan hidangan dan mau
bersalaman dengan pengantin, baru menyadari ternyata anda salah alamat.
Merayakan pernikahan
momen yang penting dalam lintasan sejarah hidup anak manusia. Hajatan digelar
untuk pemberitahuan pada khalayak bahwa sepasang insan telah terikat tali suci perkawinan. Ucapan
selamat dan doa restu pun disampaikan, semoga kedua pengantin membentuk
keluarga Sakinah Mawadah dan wa Rahmah. Apapun pergeseran-pergeseran yang
terjadi semata-mata karena perbedaan sudut pandang manusia yang mengisi zaman itu. Karena itulah, ada
yang bilang, kalau hajatan perkwinan zaman dahulu disebut baralek, sekarang
disebut pesta. Prosesi baralek penuh dengan simbol/ makna, sedangkan pesta lebih
bersifat pragmatis yang terkadang
hedonis. Ajang pamer segala sesuatu. Ini sesuai dengan ungkapan, silang nan bapangka karajo nan bapokok.
Pokoknya mesti pamer, entah itu pakaian, perhiasan, gandengan, status, dan
sebagainya.
sumber foto:
0 komentar:
Posting Komentar