Mak
Gombong kaget saat ia mau mengumpulkan telur itik peliharaannya. Yang ia dapati
bukan telur, tapi belasan buah pinang yang berwarna oranye bertebaran di dalam
kandang. Sejenak ia tertegun. Sejak kapan itik bertelur pinang? Tak mungkin ini
terjadi, pikirnya. Seseorang pasti telah sengaja mencuri telur dan dan
menggantinya dengan buah pinang. Alangkah geramnya nenek tua itu. Orang itu
tidak hanya mencuri tapi juga sengaja mengerjainya. Kurang ajar! Mak Gombong
marah besar. Segera ia menuju rumah pak kepala kampung. Ia akan mengadukan
tindakan pencurian ini.
Mak
Gombong memang terkenal galak, terutama bagi anak-anak. Beliau tidak segan
memarahi siapa saja yang masuk ke pekarangannya yang luas, yang ditanam
beraneka macam pohon. Ada cempedak, mangga, rambutan, jambu, sirsak, dan sawo.
Pekarangan rumahnya yang berpagar bambu itu sudah seperti kebun saja. Di rumah
yang cukup besar itu, ia tinggal sendiri. Walaupun sudah tua, tapi ia masih
sehat dan kuat. Anak-anaknya sudah berkeluarga dan tinggal di kota. Tapi Mak
Gombong tidak kerasan tinggal di kota. Hari-harinya diisi dengan berkebun dan
memelihara ternak. Ada itik, ayam, dan
beberapa ekor kambing. Semua ia lakukan sendiri.
Berita
pencurian itu dengan cepat menyebar di seantero kampung, tapi tak seorang pun
bisa menduga siapa pelakunya. Selama ini
kampung mereka aman-aman saja, tak pernah ada pencurian. Tapi pencurian kali
ini sungguh aneh. Mengapa hanya telur itik yang dicuri? Mengapa si pencuri
mengganti telur-telur yang dicuri dengan buah pinang? Pekerjaan siapa ini? Pak
kepala kampung tidak bisa mengusutnya. Selain tak tahu persis berapa jumlah
telur yang dicuri, Mak Gombong menganggap ini tindakan menjahilinya.
“Coba kalau si pencuri mengganti telur itik itu dengan yang lain. Dengan emas
misalnya, pasti ceritanya akan lain,” ujar seorang warga kampung di warung kopi
saat Adin lewat di depan warung itu.
“Jadinya, itik bertelur pinang, dong!” celutuk yang lain.
“Seperti dongeng saja!”
“Mak Gombong pasti tidak akan melaporkan pada pak kepala
kampung.”
“Ha...ha..ha...” warung kopi itu ramai dengan suara orang
ketawa.
Adin juga ikut tersenyum. Dengan langkah gegas ia segera
berlalu. Hatinya puas sekarang. Terbayang betapa murkanya nenek tua yang galak
itu menyadari itik-itik peliharaannya tidak menghasilkan telur, tapi buah
pinang.
Dua hari yang lalu ketika ia bersama kedua temannya, Heru
dan Janu, baru saja pulang menonton pertandingan bola antar kampung. Saat lewat
di depan rumah Mak Gombong, mereka melihat pohon mangga yang sedang berbuah dan siap dipetik. Sungguh
menggiurkan utuk dicicipi. Rumah Mak Gombong kelhatan sepi. Pintu dan jendela
rumahnya tertutup rapat. Suasana sekitarnya juga tidak ada orang. Timbullah
niat mereka untuk mengambilnya. Adin yang naik ke atas pohon, sedangkan kedua
temannya menunggu di bawah. Tapi, selang beberapa saat, belum lagi mendapatkan
buah mangga, mendadak Mak Gombong muncul. Mereka kaget. Janu dan Heru langsung
melarikan diri. Adin tak bisa kemana-mana karena masih di atas pohon.
“Mau lari kemana kau? Dasar pencuri! Ayo turun biar
kupukul kau pakai sapu ini. Berani-beraninya kamu ambil manggaku tanpa ijin!”
“Sa-sa-saya nggak mencuri, kok, Mak. Tadi mau minta tapi
Mak nggak ada.”
“Bohong! Mengambil tanpa sepengetahuan yang punya sama
saja mencuri!” suara Mak Gombong terdengar lantang. Adin ketakutan melihat Mak
Gombong mengacung-acungkan sapu. Dengan cepat ia turun. Tapi ia terpeleset
sebelum menginjak tanah. Kaki kanannya lecet kena batang pohon. Tanpa
mempedulikan rasa sakit ia segera kabur. Kesal sekali ia dengan nenek tua itu.
***
Sore itu, Adin tidak jadi mengaji. Pak ustad berhalangan
datang. Ia langsung pulang ke rumah karena
hari ini Emak bikin kolak pisang. Dengan langkah tergesa-gesa ia tidak menghiraukan ajakan temannya untuk
bermain dulu. Saat lewat di depan rumah Mak Gombong, Adin mempercepat
langkahnya karena tak ingin bertemu dengannya. Rasa takut dan malu saling
menghimpit di dadanya. Mak Gombong sedang berdiri di depan pagar lagi membakar
sampah daun-daun. Adin pura-pura tidak melihatnya.
“Hei, kamu! Sini!” nenek tua itu memanggilnya. Adin
menoleh. Jantungnya bedebar-debar. Kenapa ia dipanggil? Apa Mak Gombong mau
memarahinya lagi? Tau jangan-jangan ia tahu kalau-kalau...? Terbesit
keinginannya untuk lari. Tapi niat itu ia urungkan.
“Mak memanggil saya?” tanya Adin.
“Kamu, kan, yang mencuri buah manggaku?” tanya Mak
Gombong. Rupanya ia masih ingat peristiwa beberapa hari lalu itu.
“Bagaimana, luka di kakimu sudah sembuh?” lanjutnya. Adin
mengangguk pelan. Ia heran melihat Mak Gombong tidak lagi marah.
“Tunggu sebentar, aku ada sesuatu untukmu.” Mak Gombong
masuk ke rumahnya. Tak lama, ia keluar membawa satu kantong plastik berisi
mangga.
“Ini, ambillah. Kamu masih ingin buah mangga, kan?”
“Ha? Nggak salah? Mak Gombong memberinya buah mangga?
Adin tidak percaya. Nenek tua yang selama ini ia kenal galak itu tiba-tiba
berubah baik. Tidak ada kesan galak sama
sekali di wajahnya.
“Tapi, Mak! Sa...sa...saya tidak bisa menerimanya.”
“Dikasih, kok, malah nolak? Jangan aneh. O, iya, kamu
anaknya si Rohana yang tinggal di ujung
jalan sana, kan? Tunggu sebentar, aku mau nitip sesuatu sama ibumu.” Mak
Gombong masuk lagi. Kali ini ia bawa buah cempedak yang ranum. Wanginya
langsung tercium.
“Aku titip ini untuk ibumu.”
Adin tak bisa
berkata-kata. Tiba-tiba ia merasa sangat bersalah atas perbuatan yang ia
lakukan.
***
Keesokannya, Adin balik lagi ke rumah Mak Gombong.
Tekadnya sudah bulat untuk meminta maaf atas kelakuannya. Telur-telur yang ia
curi disimpannya dalam kaleng di belakang rumah. Semuanya ada sebelas butir. Ia
siap saja kalau-kalau Mak Gombong kembali marah.
“Mak, ini saya kembalikan telur itik Mak yang hilang.
Sayalah yang mencuri dan menggantinya dengan buah pinang. Saya minta maaf, Mak,”
ujar Adin menyerahkan telur-telur itu
pada Mak Gombong. Perempuan tua itu kaget. Sorot matanya seperti tidak
percaya.
“Jadi, kamu yang mencurinya?”
“Iya, Mak. Saya melakukannya karena kesal dimarahi waktu
mengambil mangga tanpa ijin. Makanya saya tukar telur itu dengan buah pinang.”
Adin mengakui perbuatannya. Diliriknya Mak Gombong dengan sudut mata. Nenek tua
itu menghela napas dan berkacak pinggang. Sejenak ia diam.
“Pencurian, apapun alasannya tak bisa dibenarkan karena
itu adalah kejahatan. Pelakunya harus diganjar hukuman. Sekarang kamu tinggal
pilih, aku lapor sama orangtuamu atau...” Mak Gombong menuju samping rumah dan mengambil sapu. Adin jadi ketakutan.
“Mak, saya jangan dipukul. Saya mengaku salah dan minta
maaf!”
“Yang mau memukul kamu siapa? Aku hanya ingin kamu bersihkan pekaranganku. Itu hukuman yang
tepat untukmu.” Mak Gombong menyodorkan sapu itu pada Adin. Adin merasa lega.
Dengan cepat disambarnya sapu itu. Dalam hati ia berjanji tak berbuat nakal
lagi(*)
NB: Padang Ekspres, 8
Oktober 2008.
Foto: Gettyimages.com
0 komentar:
Posting Komentar