Di
tangannya, belati berkarat itu menjadi berkilat. Ketika jari kecilnya menyentuh
ujung benda tersebut, terasa tajam menikam, siap merobek apa saja. Dicobanya
menoreh dinding kayu rumahnya. Seketika,
torehan dalam pun terbentuk. Belum merasa cukup, ia mengambil kardus dan
menusukkannya penuh tenaga. Sekali hentakan, kardus itu pun terbelah rapi.
Ia menarik napas panjang. Ada raut
puas di wajahnya. Tak sia-sia ia mengasah belati itu sepenuh hati. Ini
akan menuntaskan dendamku padamu, keparat! Desisnya.
Ia menyeka peluh yang berjatuhan di
kening. Pengap udara kamar tak sebanding dengan suasana batinnya yang terluka.
Diacungkannya belati itu ke udara. Walau hanya bertangan kecil, tapi hasrat
yang menguasai dirinya begitu besar.
Tiba-tiba pintu depan diketuk dengan
keras.
“Odi! Odi! Kamu di mana?” suara
perempuan itu terdengar di balik pintu. Dengan cepat ia menyembunyikan belati
itu di bawah kasur tipis tempat ia dan ke dua adiknya tidur. Ia tidak ingin perempuan itu tahu apa yang
tengah dilakukannya. Setengah berlari ia ke ruang depan. Seketika pintu
terkuak, perempuan yang baru pulang bekerja di tempat konveksi itu pun kontan
berteriak.
“Matamu kenapa lagi? Habis
berkelahi?”
Ia hanya diam dan memalingkan muka.
“Kamu berkelahi lagi? Ayo, jawab!”
Aku tidak berkelahi! Aku habis
dipalak! Jeritnya. Tentu hanya di dalam hati. Ia tidak ingin perempuan itu tahu
masalah yang sedang ia hadapi. Tak ingin menambah beban pikirannya. Seharian ia
banting tulang dengan hasil yang tak mencukupi, tak ingin ia tambah lagi dengan
masalah ini. Kasihan dia. Dia tidak perlu tahu.
Ibunya menarik napas dalam-dalam.
Sebelum ia berbalik, lebih dahulu tangan perempuan itu mencekal lengannya. Langkahnya pun terhenti.
“Dengarkan Ibu, Nak! Ibu tak suka
kau terus berkelahi. Kamu Ibu ijinkan untuk mengamen, bukan untuk berkelahi.
Hidup kita sudah susah, jangan kau bikin makin susah!”
“Aku tidak berkelahi.”
“Kau
pasti bohong! Mengapa wajahmu lebam?”
Ia
tahu perempuan itu pasti gundah. Akan lebih gundah lagi kalau ia tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Makanya ia memutuskan
diam saja.
“Kalau masih saja berkelahi, kau
tidak boleh lagi pergi mengamen. Lebih baik di rumah saja menjaga adik-adikmu.
Ingat itu!” ujar perempuan itu dengan nada mengancam.
“Ya,
aku janji. Ini tak akan terjadi lagi,” Ia berusaha melepaskan tangan ibunya dan
masuk ke kamarnya yang sumpek dan pengap.
Ia
baringkan tubuhnya di samping ke dua adiknya yang sudah hanyut terlelap, tepat
di atas belati yang disembunyikan. Ia berusaha pura-pura tidur menghindari
cecar pertanyaan. Tapi siapa yang bisa tidur dengan dada yang bergejolak?
Amarah dan dendam di hatinya terus saja membakar, melebihi rasa nyut-nyutan di
mata kiri. Tak bisa dibiarkan lagi.
Keparat itu harus diberi pelajaran!
***
Tadi
siang...
Terik
matahari begitu bernafsu menjilati ubun-ubun. Perempatan jalan raya itu tetap
gaduh seperti biasa. Hiruk pikuk. Bunyi klakson yang tak henti-henti bagai
himne wajib kendaraan yang lalu lalang. Di mana ada keramaian, di sana
berkumpul pemburu-pemburu receh. Mereka berputar-putar di sekitar traffic light
menyongsong kendaraan yang dihadang lampu merah, berpindah dari satu kendaraan
ke kendaraan lain, tak peduli bahaya yang mengancam.
Yang papa menjual kemiskinannya,
yang sakit fisik dan cacat mengandalkan penyakit dan ketakberdayaannya, yang
banci menjual kegemulaiannya, yang bermodal kecil menawarkan asongannya. Sementara
yang lain mengandalkan suaranya, tak peduli walau samber. Apa pun mereka
lakukan agar tak kelaparan nanti malam dan bisa tidur tanpa perut keroncongan.
Di salah satu sudutnya, seorang
bocah kecil, bertubuh kerempeng, tengah mengusir rasa haus yang tadi mendera
dengan sekantong plastik minuman dingin yang dijual pedagang es gerobak yang
senantiasa nangkring di bawah jembatan layang. Sesekali peluh yang menetes di
kening, ia seka dengan punggung tangannya. Haus hilang, lapar tetap bertahan.
Sedetik ia pandangi kantong bekas bungkus permen yang berisi receh hasil
ngamennya hari ini. Ia mengira isinya lebih dari hari biasa karena tadi ada
wanita cantik melempar selembar limapuluh ribu padanya. Hari ini memang agaknya
hari baik, makanya ia putuskan untuk membeli dua potong combro kesukaannya di
penjual gorengan tak jauh dari tempatnya berdiri. Sisanya bisa ia bawa pulang.
Tapi sayang, uang di tangannya hanya
sebentar bertahan. Tatkala pulang, saat menyusuri labirin di pemukiman yang saling
berhimpitan, ia di hadang oleh preman kampung bermuka ceper, berambut gondrong
dan bergigi boneng. Walau cungkring tapi berperangai garang, dan tato aneka
bentuk menghiasi tubuh bilah papannya. Dan dia pun tidak sendiri, ada beberapa
cecenguk lain yang sealiran dan sepaham selalu mengintil ke mana dia pergi. Gerombolan
itu lah yang menguras hasil jerih payahnya. Mereka hanya menyisakan lima ribu
rupiah saja.
Sungguh ia menyesali apa yang tadi
telah terjadi. Mengapa Tuhan mempertemukan dia dengan si keparat itu? Padahal
ia sudah memutar jalan tidak melewati gang yang biasa ia lewati. Tapi nasib
sial cepat sekali menghampiri dan membuyarkan keberuntungan yang baru saja direguknya.
Si Boneng dan teman-temanya justru berada di jalur yang ia pilih. Dipalaklah ia untuk sekian kali.
Keparat itu merasa jembatan layang
yang tak jauh dari pemukiman itu masih wilayah kekuasaannya, makanya ia layak
dapat bagian. Suka-suka saja ia menetapkan harga. Tapi kenapa kepada
bocah-bocah tak berdaya seperti dirinya ia sok kuasa? Mengapa tidak kepada yang
lain? Ia selalu berusaha melawan ketidakadilan ini. Akibatnya ia mendapat jatah
berupa lebam ini.
Salah
besar kau Boneng, bila menganggap semua bocah adalah sama. Jangan kira aku
tunduk begitu saja.
Pintu kamarnya terkuak lagi. Si Ibu
datang membawa segelas teh hangat dan sebaskom kecil air untuk mengompres memar
di wajahnya.
“Sini, Ibu kompres memar di
wajahmu,” ujar perempuan itu dengan rasa kasih yang tak terbilang.
“Tidak usah! Besok juga sembuh
sendiri,” elaknya. Tapi si ibu terus saja membasahi sapu tangan dengan air
hangat di baskom kecil. Dilapnya bagian
yang melebam di bagian mata kiri. Tak ada lagi kemarahan di wajahnya.
Ia
tak bisa mengelak. Ada kehangatan yang menjalar di dada kecilnya.
“Kamu dan adik-adikmu sudah makan?”
“Sudah,” jawabnya singkat. Perempuan
itu pun menarik napas dalam-dalam.
“Maafkan Ibu, seharusnya kamu tak
perlu harus mengamen di jalan cuma untuk biaya sekolah tahun depan.”
“Tak ada yang perlu dimaafkan. Ini
semua keinginanku.”
“Tapi berjanjilah kau tak akan
berkelahi lagi. Lebih baik menghindar daripada dapat masalah seperti ini. Ibu
tahu kehidupan di jalan keras. Tapi kau tak harus menjadi keras karenanya.”
Ia terdiam.
“Uang hasil ngamenmu tak dipakai
untuk jajan kan? Kau harus menyimpannya untuk mewujudkan keinginanmu itu.”
Ia tercekat. Kerongkongannya seperti
tersumbat. Ia hanya bisa mengangguk lirih.
***
Pagi itu ia keluar dari rumah dengan
sebilah belati di balik baju. Sebuah masalah harus dituntaskan. Kalau bukan
dia, siapa lagi yang bisa memberi pelajaran pada keparat itu? Di belantara kota
ini, orang kecil seperti dirinya tak punya tempat untuk mengadu. Semua orang
sudah punya masalah sendiri-sendiri. Dan kemarin sudah ia putuskan untuk
menyelesaikannya dengan caranya sendiri.
Ia sudah menimbang-nimbang
semalaman. Kalau sampai Boneng celaka, dan akhirnya mati, tentu ia akan
ditangkap polisi. Bisa-bisa berbulan-bulan ia dipenjara. Ah, lebih baik
dipenjara dari pada hidup di luar tapi tak punya harga diri. Bukankah bapak
semasa hidupnya mengatakan kalau orang yang tak punya harga diri sama saja ia
sudah mati walau masih hidup? Dia juga mengajarkan, anak laki-laki tak boleh berjiwa pengecut. Ia masih ingat betul ucapan
itu, karena itulah satu-satunya warisan yang dia tinggalkan.
Ia bulatkan tekad. Walau terasa
berat, ia terus melangkah cepat menyusuri gang di antara rumah-rumah yang
saling berhimpitan. Mengunjungi tempat biasa Boneng dan komplotannya
gentayangan. Hatinya sudah dirasuki dendam
untuk menuntut balas.
***
Matahari semakin meninggi. Kesibukan
warga kota semakin menjadi. Tapi kali ini ia tidak mangkal di perempatan menghadang kendaraan yang melintas dengan
krecekan. Semenjak keluar dari rumah, tujuannya hanya satu, untuk bikin
perhitungan dengan si Boneng.
Tapi sampai menjelang tengah hari,
keparat itu belum juga bisa ia temukan. Padahal ia sudah mencari ke mana-mana.
Di sepanjang rel kereta, bantaran kali, gang- gang sempit Setia Kawan, Pasar,
dan sampai terminal, tak tampak batang hidungnya. Kemana keparat itu?
Bulir-bulir keringat menetes di
jidatnya. Belati di balik baju yang terbungkus kertas koran semakin mengganjal
dan terasa basah di perutnya. Ia merasa gerah. Bukan karena matahari tapi
karena rasa penasaran. Keparat itu, selalu bersua saat dihindari, tapi justru
menghilang saat dicari. Ia berusaha sabar dan menenangkan dada yang berdentam
karena dendam. Apakah keparat itu tahu rencananya? Apakah ia punya indera ke
enam hingga bisa mengendus ancaman? Tidak mungkin! Tak mungkin dia diberkati
anugrah seperti itu. Rupanya buruk, kelakuannya juga buruk. Dia bibit penyakit
yang menggerogoti makhluk-makhluk yang lemah.
Menjelang sore, hasilnya masih
nihil. Akhirnya ia putuskan pulang dan melanjutkan pencarian esok hari. Anggap
saja hari ini adalah hari mujur keparat itu. Kalau ibunya bertanya ia akan
bilang sedang tak enak badan.
***
Keesokan hari, dengan semangat yang
masih sama, kembali ia pergi mencari. Kali ini harus dapat. Pelajaran untuknya
harus dituntaskan, kalau tidak, dia akan terus semena-mena. Ia yang bersusah-susah mencari kenapa harus
keparat itu yang menikmati?
Di ujung gang dekat bantaran kali,
ketika hendak menuju ke terminal, ia disapa oleh seorang remaja laki-laki yang
sama-sama mencari rejeki di perempatan.
“Odi, kau nggak pergi ngamen?” tanya
Pendi si pedagang koran.
Ia menggeleng lemah.
“Sakit? Wajahmu kurang sehat?”
Ia kembali menggeleng.
“Trus, mau kemana?”
“Ada urusan!” jawabnya singkat.
Berusaha mengelak dari pertanyaan lebih lanjut. Ia tahu, walau banyak omong,
sebenarnya anak itu berhati baik. Tapi ia tak ingin meladeni. Ia punya urusan
yang lebih penting untuk dilakukan. Degan gegas ia melangkah.
“Eit, tunggu dulu! Ada yang mau aku
omongin. Kau tahu si Boneng kan?”
Ia tergeragap keparat itu
disebut-sebut. Tanpa sadar ia meraba
belati di balik baju.
“Keparat itu tadi malam mati. Dua
orang temannya, lagi sekarat di rumah sakit. Mereka keracunan. Sekarang kita
bakal aman. Tak ada lagi yang malakin anak-anak di perempatan.”
“Apa?” ia tersentak. “Keracunan?”
“Mereka habis minum miras oplosan,”
ujar Pendi lagi dengan wajah yang berbinar. “Senangnya! Mampus juga dia akhirnya.”
Anak
itu pun meninggalkannya yang terpaku mendengar kabar itu. Antara tidak yakin
dan percaya. Benar kah?
Sungguh ia tidak tahu, ketika malam
ia sibuk mengasah belati, si Boneng dan komplotannya juga sibuk berpesta.
Mereka meracik minuman buatan sendiri. Rasanya lebih dashyat dari Tequila.
Etanol dicampur minuman energi plus gingseng dan obat kuat. Uangnya berasal
dari bocah-bocah yang berkeliaran di perempatan. Tak lama setelah minum,
perut-perut mereka meletup-letup seperti
dibakar api. Mata melotot mulut pun berbusa.
Lama ia termenung di bibir kali. Ternyata
ia kalah cepat. Tuhan justru lebih dulu bertindak.
Akhirnya ia keluarkan juga belati itu dari
balik baju. Tanpa pikir panjang, segera ia buang ke dalam kali. Sedetik
kemudian benda itu menghilang dalam aliran yang menghitam bercampur
sampah-sampah yang mengambang. Ia pun menarik napas dalam-dalam. Merasa ada
yang tercerabut di dada. Kesumatnya seakan menguap seketika (*).
Note:
Padang Ekspres 3 Juli 2011, foto: gettyimages.com
The Most Popular Slot Machines in NJ (2021) | DrMCD
BalasHapusThe Most 안성 출장마사지 Popular Slot Machines in NJ (2021) · Biggest 사천 출장샵 Selection · 군산 출장마사지 Jackpot 대전광역 출장마사지 City · Paysbig · Red 군포 출장마사지 Dog · DraftKings · Caesars