Apa Sih, Yang Tak Bisa Dilakukan Demi Cinta

Demi cintanya, Jamie Nieto melakukan keajaiban pada saat hari pernikahannya. ia mampu menggerakkan kakinya yang lumpuh!

Pelayan yang Baik Hati dan Laki-Laki Tua Bertangan Buntung

Pelayan restoran cepat saji ini sungguh berhati mulia. Apa yang ia lakukan mendapat pujian dari netizen di seluruh dunia.

Gelandangan yang Menjadi Pahlawan

Meski gelandangan, wanita ini telah menyelamatkan sebuah toko kosmetik dari kemalingan. Ia pun mendapat banyak simpati dari netizen

Dahulu Baralek, Sekarang Pesta

Banyak perbedaan yang kita temui dalam acara baralek atau yang disebut pesta antara Zaman dahulu dengan Zaman sekarang. Apa saja perbedaan itu, yuk, disimak artikelnya.

Anda Pasti Terharu, Mengapa Pemilik Restoran Ini Menutup Usahanya

Dia adalah laki-laki istimewa dan sangat disayangi para pelanggan. Sesuatu tiba-tiba mengubah jalan hidupnya. Yuk, kenalan dengan dengan sosok yang bernama Tim Harris ini

Tampilkan postingan dengan label Cerita Anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Anak. Tampilkan semua postingan

Senin, 07 Maret 2016

Pelajaran Buat Momon




Momon menghela napas panjang dengan raut kecewa. Walau Ayah tak mengucapkan sepatah kata pun, ia bisa menebak kalau Ayah tidak memenuhi keinginannya untuk berdarmawisata ke Padang.

Padahal ia ingin sekali melihat Batu Malin Kundang yang terkenal itu, bermain ombak, atau mengunjungi museum Adityawarman. Sebenarnya ia sudah menabung jauh-jauh hari tetapi uang yang terkumpul tidak mencukupi.

Keesokan paginya, Momon dipanggil Ayah.

“Mon, bantu Ayah ke ladang. Kita akan memetik buah kakao,” ujar ayah.

Sebenarnya Momon malas, bukan karena ladang mereka jauh melintasi dua punggung bukit, tapi kecewa karena tidak bisa ikut acara darmawisata.

Tak lama kemudian mereka berjalan beriringan. Di ladang tampak buah-buah kakao menggantung di dahan rimbun. Sebagian sudah siap petik.

“Tugasmu mengumpulkan dan memasukkannya ke dalam karung,” ujar Ayah. Momon mengangguk pelan. Ayah mulai sibuk memilih-milih buah kakao.

Menjelang tengah hari, satu karung sudah terisi penuh. Ketika sampai di satu pohon yang agak tinggi, Ayah melihat beberapa buah kakao berwarna kekuningan di sela-sela dahan. Ayah menjangkau, tetapi tangannya tak sampai. Ayah berusaha meloncat untuk memetiknya.

Momon melihat sesuatu jatuh dari kontong baju Ayah. Selembar uang limapuluh ribu setengah tergulung. Momon terkesiap, ternyata Ayah punya uang!

Ayah bohong! Kemarin beliau bilang tak punya uang.

“Wah, yang ini besar sekali!” ujar Momon menghampiri Ayah dan menimbang-nimbang buah kakao itu. Tetapi, kaki kanannya menginjak uang itu. Ia berdiri di sana beberapa saat.

Momon cepat-cepat jongkok dan memasukkannya ke kantong celana. Jantungnya berdetak lebih cepat.

Menjelang sore ketika mereka mau pulang, Ayah menyadari uangnya tidak ada lagi. Dirogohnya semua kantong.

“Hilang? Berapa?” tanya Momon pura-pura kaget. “Ayah yakin tadi bawa uang?”

“Yakin. Ayah tadi memasukkan limapuluh ribu ke saku baju. Uang itu untuk bayar becak motor mengangkut kakao ini nanti,” wajah Ayah terlihat bingung. “Jangan-jangan jatuh di sekitar sini. Ayo, bantu Ayah mencarinya.”

Mereka mulai mencari di sekitar ladang. Tentu saja uang itu tidak ditemukan. Momon terlihat sibuk mencari kesana-kemari. Akhirnya Ayah menyerah.

“Mon, mau tak mau, dua karung kakao ini terpaksa kita bawa pulang dengan jalan kaki,” ujar Ayah pada akhirnya.

Wajah Momon langsung berubah. Tak terbayangkan ia berjalan melintasi dua punggung bukit di tambah berjalan dua kilo membawa kakao. Tetapi mengingat darmawisata ia pun menyanggupi.

Ayah memanggul satu karung yang lebih besar, ia  membawa karung yang lebih kecil. Setibanya di kaki bukit dekat pinggir jalan desa, tiba-tiba Ayah berhenti.

“Aduh, perut Ayah sakit sekali!” Ayah meringis kesakitan sembari meletakkan karung di rerumputan. Wajahnya pias menahan sakit. Momon pun jadi kalut. Tidak tahu berbuat apa.

“Mon, Ayah tidak bisa mengangkut karung ini. Jadi begini saja, kau angkat karung ini pulang. Ayah tunggu di sini,” perintah Ayah.

“Tetapi, Yah, karung ini, kan, berat? Momon tak sanggung.”

“Kamu angkut tiga kali atau empat kali jalan. Kamu pasti kuat memikulnya, ujar Ayah lagi. Momon terdiam. Itu berarti ia berjalan lebih jauh.

“Yah, biar lebih enteng, kita belah di sini saja. Bijinya saja yang kita bawa pulang,” Momon memberi usul.

“Tidak, di rumah saja!” Ayah bersikeras.

Tak terbayangkan beratnya tugas yang diperintahkan Ayah. Mau tiak mau harus ia lakukan. Ah, tak apa-apalah demi acara darmawisata, pikirnya.

Menjelang magrib, Momon selesai bolak-balik membawa buah kakao pulang. Tangan dan kakinya terasa pegal. Tetapi, Ayah masih merintih menahan sakit. Momon mulai khawatir.

“Ayah sudah minum obat?” tanya Momon.

“Belum. Andai saja uang Ayah tidak hilang, pasti bisa beli obat juga,” ujar Ayah pelan.

Tiba-tiba Momon merasa sangat bersalah. Betapa pentingnya uang itu bagi Ayah. Kenapa ia begitu tega mengambilnya demi acara darmawisata? Lebih baik ia mengaku saja. Tetapi, ia bimbang. Takut Ayah akan marah besar.

 Setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia pun berkata jujur. Itu lebih baik daripada nanti Ayah menanyakan dari mana ia dapat uang ikut darmawisata.

Ayah menatap Momon dengan raut wajah susah dipahami.

“Yah, aku memang salah. Aku siap menerima hukumannya.”

Tiba-tiba Ayah tersenyum. “Ayo, kita pulang. Sebentar lagi magrib. Soal hukuman, kau sudah melaksanakannya. Ayah sudah tahu kalau kau yang menemukan uang Ayah dan mengantonginya.

            Momon gelagapan. Jadi, Ayah sebenarnya tahu dan pura-pura sakit untuk menghukum kecurangan yang ia lakukan?

Tiba-tiba ia jadi malu hati. Sepanjang perjalanan pulang, Momon hanya menundudukkan kepala, tidak berkata sepatah kata pun.

Ketika hampir di rumah, Ayah mengeluarkan uang lima puluh ribu tadi. “Kamu masih ingin pergi berdarmawisata? Anggap saja ini upahmu mengangkat kakao,” ujar Ayah menyodorkan uang itu.

            “Terimakasih, Yah!” ujarnya. “aku berjanji tidak akan berbuat curang lagi.”

            “berjanjilah kepada Tuhan, Nak. Karena Dia tahu setiap perbuatan yang kamu lakukan.”

Momon tersipu malu.


NB
Dimuat di KOMPAS Anak Feb 2011

Itik Bertelur Pinang


Mak Gombong kaget saat ia mau mengumpulkan telur itik peliharaannya. Yang ia dapati bukan telur, tapi belasan buah pinang yang berwarna oranye bertebaran di dalam kandang. Sejenak ia tertegun. Sejak kapan itik bertelur pinang? Tak mungkin ini terjadi, pikirnya. Seseorang pasti telah sengaja mencuri telur dan dan menggantinya dengan buah pinang. Alangkah geramnya nenek tua itu. Orang itu tidak hanya mencuri tapi juga sengaja mengerjainya. Kurang ajar! Mak Gombong marah besar. Segera ia menuju rumah pak kepala kampung. Ia akan mengadukan tindakan pencurian ini.

Mak Gombong memang terkenal galak, terutama bagi anak-anak. Beliau tidak segan memarahi siapa saja yang masuk ke pekarangannya yang luas, yang ditanam beraneka macam pohon. Ada cempedak, mangga, rambutan, jambu, sirsak, dan sawo. Pekarangan rumahnya yang berpagar bambu itu sudah seperti kebun saja. Di rumah yang cukup besar itu, ia tinggal sendiri. Walaupun sudah tua, tapi ia masih sehat dan kuat. Anak-anaknya sudah berkeluarga dan tinggal di kota. Tapi Mak Gombong tidak kerasan tinggal di kota. Hari-harinya diisi dengan berkebun dan memelihara ternak. Ada itik, ayam,  dan beberapa ekor kambing. Semua ia lakukan sendiri.

Berita pencurian itu dengan cepat menyebar di seantero kampung, tapi tak seorang pun bisa menduga siapa  pelakunya. Selama ini kampung mereka aman-aman saja, tak pernah ada pencurian. Tapi pencurian kali ini sungguh aneh. Mengapa hanya telur itik yang dicuri? Mengapa si pencuri mengganti telur-telur yang dicuri dengan buah pinang? Pekerjaan siapa ini? Pak kepala kampung tidak bisa mengusutnya. Selain tak tahu persis berapa jumlah telur yang dicuri, Mak Gombong menganggap ini tindakan menjahilinya.

            “Coba kalau si pencuri mengganti  telur itik itu dengan yang lain. Dengan emas misalnya, pasti ceritanya akan lain,” ujar seorang warga kampung di warung kopi saat Adin lewat di depan warung itu.

            “Jadinya, itik bertelur pinang, dong!” celutuk yang lain.

            “Seperti dongeng saja!”

            “Mak Gombong pasti tidak akan melaporkan pada pak kepala kampung.”

            “Ha...ha..ha...” warung kopi itu ramai dengan suara orang ketawa.

            Adin juga ikut tersenyum. Dengan langkah gegas ia segera berlalu. Hatinya puas sekarang. Terbayang betapa murkanya nenek tua yang galak itu menyadari itik-itik peliharaannya tidak menghasilkan telur, tapi buah pinang.

            Dua hari yang lalu ketika ia bersama kedua temannya, Heru dan Janu, baru saja pulang menonton pertandingan bola antar kampung. Saat lewat di depan rumah Mak Gombong, mereka melihat pohon mangga  yang sedang berbuah dan siap dipetik. Sungguh menggiurkan utuk dicicipi. Rumah Mak Gombong kelhatan sepi. Pintu dan jendela rumahnya tertutup rapat. Suasana sekitarnya juga tidak ada orang. Timbullah niat mereka untuk mengambilnya. Adin yang naik ke atas pohon, sedangkan kedua temannya menunggu di bawah. Tapi, selang beberapa saat, belum lagi mendapatkan buah mangga, mendadak Mak Gombong muncul. Mereka kaget. Janu dan Heru langsung melarikan diri. Adin tak bisa kemana-mana karena masih di atas pohon.

            “Mau lari kemana kau? Dasar pencuri! Ayo turun biar kupukul kau pakai sapu ini. Berani-beraninya kamu ambil manggaku tanpa ijin!”

            “Sa-sa-saya nggak mencuri, kok, Mak. Tadi mau minta tapi Mak nggak ada.”

            “Bohong! Mengambil tanpa sepengetahuan yang punya sama saja mencuri!” suara Mak Gombong terdengar lantang. Adin ketakutan melihat Mak Gombong mengacung-acungkan sapu. Dengan cepat ia turun. Tapi ia terpeleset sebelum menginjak tanah. Kaki kanannya lecet kena batang pohon. Tanpa mempedulikan rasa sakit ia segera kabur. Kesal sekali ia dengan nenek tua itu.

***
            Sore itu, Adin tidak jadi mengaji. Pak ustad berhalangan datang. Ia langsung pulang ke rumah  karena hari ini Emak bikin kolak pisang. Dengan langkah tergesa-gesa  ia tidak menghiraukan ajakan temannya untuk bermain dulu. Saat lewat di depan rumah Mak Gombong, Adin mempercepat langkahnya karena tak ingin bertemu dengannya. Rasa takut dan malu saling menghimpit di dadanya. Mak Gombong sedang berdiri di depan pagar lagi membakar sampah daun-daun. Adin pura-pura tidak melihatnya.

            “Hei, kamu! Sini!” nenek tua itu memanggilnya. Adin menoleh. Jantungnya bedebar-debar. Kenapa ia dipanggil? Apa Mak Gombong mau memarahinya lagi? Tau jangan-jangan ia tahu kalau-kalau...? Terbesit keinginannya untuk lari. Tapi niat itu ia urungkan.

            “Mak memanggil saya?” tanya Adin.

            “Kamu, kan, yang mencuri buah manggaku?” tanya Mak Gombong. Rupanya ia masih ingat peristiwa beberapa hari lalu itu.

            “Bagaimana, luka di kakimu sudah sembuh?” lanjutnya. Adin mengangguk pelan. Ia heran melihat Mak Gombong tidak lagi marah.

            “Tunggu sebentar, aku ada sesuatu untukmu.” Mak Gombong masuk ke rumahnya. Tak lama, ia keluar membawa satu kantong plastik berisi mangga.

            “Ini, ambillah. Kamu masih ingin buah mangga, kan?”

            “Ha? Nggak salah? Mak Gombong memberinya buah mangga? Adin tidak percaya. Nenek tua yang selama ini ia kenal galak itu tiba-tiba berubah baik. Tidak ada kesan galak  sama sekali di wajahnya.

            “Tapi, Mak! Sa...sa...saya tidak bisa menerimanya.”

            “Dikasih, kok, malah nolak? Jangan aneh. O, iya, kamu anaknya si Rohana yang tinggal di ujung  jalan sana, kan? Tunggu sebentar, aku mau nitip sesuatu sama ibumu.” Mak Gombong masuk lagi. Kali ini ia bawa buah cempedak yang ranum. Wanginya langsung tercium.

            “Aku titip ini untuk ibumu.”

Adin tak bisa berkata-kata. Tiba-tiba ia merasa sangat bersalah atas perbuatan yang ia lakukan.
***
            Keesokannya, Adin balik lagi ke rumah Mak Gombong. Tekadnya sudah bulat untuk meminta maaf atas kelakuannya. Telur-telur yang ia curi disimpannya dalam kaleng di belakang rumah. Semuanya ada sebelas butir. Ia siap saja kalau-kalau Mak Gombong kembali marah.

            “Mak, ini saya kembalikan telur itik Mak yang hilang. Sayalah yang mencuri dan menggantinya dengan buah pinang. Saya minta maaf, Mak,” ujar Adin menyerahkan telur-telur itu  pada Mak Gombong. Perempuan tua itu kaget. Sorot matanya seperti tidak percaya.

            “Jadi, kamu yang mencurinya?”

            “Iya, Mak. Saya melakukannya karena kesal dimarahi waktu mengambil mangga tanpa ijin. Makanya saya tukar telur itu dengan buah pinang.” Adin mengakui perbuatannya. Diliriknya Mak Gombong dengan sudut mata. Nenek tua itu menghela napas dan berkacak pinggang. Sejenak ia diam.

            “Pencurian, apapun alasannya tak bisa dibenarkan karena itu adalah kejahatan. Pelakunya harus diganjar hukuman. Sekarang kamu tinggal pilih, aku lapor sama orangtuamu atau...” Mak Gombong menuju samping rumah  dan mengambil sapu. Adin jadi ketakutan.

            “Mak, saya jangan dipukul. Saya mengaku salah dan minta maaf!”

            “Yang mau memukul kamu siapa? Aku hanya ingin kamu  bersihkan pekaranganku. Itu hukuman yang tepat untukmu.” Mak Gombong menyodorkan sapu itu pada Adin. Adin merasa lega. Dengan cepat disambarnya sapu itu. Dalam hati ia berjanji tak berbuat nakal lagi(*)


NB: Padang Ekspres, 8 Oktober 2008.
Foto: Gettyimages.com

Rabu, 24 Februari 2016

Yang Tak Diundang


Mama mendapati Alia tengah melamun di kamar. Wajahnya kelihatan sedih. Padahal biasanya setiap pulang sekolah, Alia langsung mengganti pakaian dan makan siang tanpa perlu diingatkan.
“Alia, kenapa wajahnmu murung begitu? Kamu sakit?” Mama menyentuh kening Alia. Alia berusaha tersenyum saat menyadari kehadiran Mama.
“Ah, tidak ada apa-apa, Ma,” jawab Alia singkat.
Mama menarik napas panjang, kemudian berkata lagi.
“Alia, wajahmu tak bisa berbohong. Sekarang ceritakan apa kamu punya masalah di sekolah tadi?”
Alia tidak langsung menjawab. Ia bimbang mengatakan yang sebenarnya. Tetapi, apa salahnya kalau ia cerita?
“Mama tahu Regi, teman sebangkuku, kan? Tiga hari lagi ia merayakan ulang tahun. Semua anak di kelasku diundang. Tapi aku tidak,” ujar Alia sedih.
“Kenapa kamu tidak diundang?”
“Justru itu, Alia tidak tahu. Mungkin ia masih marah karena Alia mendapat nilai tertinggi ulangan bahasa Inggris. Regi, kan, anak yang paling jago bahasa Inggris di kelas.”
“Mama lihat, Regi anak yang baik. Masa cuma gara-gara itu kamu tak diundang? Bisa jadi dia lupa. Kamu nggak coba bertanya padanya?”
“Buat apa? Enggak diundang, kok, malah nanya? Aku enggak mau!” cetus Alia dengan suara meninggi. Mama membelai rambut Alia.
“Ya, sudah. Tak usah dimasukkan ke dalam hati. Berbesar hati saja kalau memang tak diundang. Sekarang kamu ganti baju dulu, terus makan. Mama sudah siapkan menu kesukaanmu,” ujar Mama akhirnya.
Wajah Alia masih memberengut. Tetapi, ia turuti saja nasehat Mama dan beranjak dari tempat tidur. Terasa perutnya semakin keroncongan.
***
Hari ini, Regi kelihatan sibuk dengan persiapan pesta ulang tahunnya. Ia mengingatkan teman-temannya agar datang. Dengar-dengar, pestanya pun diselenggarakan oleh event organizer. Maksudnya, dikerjakan oleh sekelompok orang yang ahli dalam membuat acara. Anak-anak semakin penasaran. Seperti apa, sih, acaranya nanti?
Regi memang anak orang kaya. Semua anak senang bergaul dengannya. Ia sering membagi-bagikan makanan, permen, cokelat, atau buku-buku cerita pada teman-teman. Prestasinya pun pantas diacungi jempol. Ia selalu juara kelas.
Alia hanya mendengarkan kehebohan teman-temannya tanpa semangat. Hati kecilnya bertanya-tanya. Benarkah Regi tidak mengundangnya hanya karena Alia dapat nilai tertinggi ulangan bahasa Inggris tempo hari? Alia masih ingat ekspresi kekecewaan di wajah Regi saat ia hanya mendapat nilai 83. Waktu mengetahui Alia dapat nilai 100, raut tak senang jelas terpancar di diwajahnya. Alia tak menyangka kalau Regi tak sebaik yang ia kenal.
Malam itu, Alia duduk gelisah di depan TV. Tak satu pun acara di TV menarik perhatiannya. Sebentar-sebentar, saluran TV dipindahkannya dengan menggunakan remote. Mama yang tadinya memperhatikan, datang menghampiri.
“Kamu masih memikirkan ulang tahun Regi, ya?”
“Ah, kenapa mesti dipikirin!” ujar Alia asal saja.
Alia bangkit dan beranjak menuju kamar. Ia tak ingin Mama membahas itu lagi. Semakin membuat Alia bersedih. Dari tadi, pikirannya terus melayang membayangkan suasana pesta di rumah Regi. Pasti semua temannya hadir. Tadi siang di sekolah, mereka sudah janjian untuk datang sama-sama.
Di kamar, Alia memandangi kado yang telah ia siapkan seminggu lalu. Alia menyorongkan kepalanya di balik bantal, mencoba menghilangkan rasa sedih di hatinya. Tak lama, akhirnya ia tertidur.
“Alia, ada yang datang, nih,” suara Mama memanggil. Alia tersentak. Ia mengucek-ucek matanya dan berjalan menuju pintu.
“Siapa?”
“Lihat saja sendiri,” Mama pun berlalu.
Alia penasaran, bergegas ke ruang tamu. Di sana, ia melihat Regi. Masih memakai baju pesta. Cantik sekali. Tetapi, raut khawatir tampak dari wajahnya.
“Alia, kamu sakit? Sedih melihatmu tidak datang ke acaraku.”
Alia memandang Regi dengan tatapan tak mengerti. Sejenak ia bingung dengan ucapan Regi itu. Lama ia baru bisa menjawab.
“Maaf, Regi, aku... aku, kan, tak diundang.”
“Tak mungkin! Semuanya aku undang, kok. Apalagi, kamu, kan teman sebangku aku.”
“Aku pikir, kamu masih marah padaku karena aku dapat nilai tertinggi ulangan bahasa Inggris tempo hari. Makanya, aku tak diundang,” ujar Alia.
Mendengar hal itu, Regi terlihat kaget.
“Alia, masa aku marah gara-gara itu? Aku cuma kecewa tidak bisa konsentrasi saat belajar. Waktu itu, aku terlalu memikirkan acara ultahku ini,” jawab Regi. “Maafkan aku ya, Alia. Mungkin aku yang lupa memeriksa semua undangan. Ini aku bawakan sesuatu untukmu.”
Dengan tulus, Regi menyerahkan bingkisan ulang tahun dan kue-kue pada Alia. Raut muka Alia pun berubah jadi sedikit malu.
“Justru aku yang minta maaf karena telah berburuk sangka,” Alia merangkul teman sebangkunya itu.
“O ya, aku telah menyiapkan kado untukmu. Tunggu sebentar, ya.” Alia berlari ke kamarnya.
Di luar, Mama, Papa, dan supir Regi tersenyum melihat tingkah keduanya.


Note: 
Naskah saya ini dimuat di majalah Bobo No. 32/ Th 38/ 2010

Selasa, 23 Februari 2016

Pepita si Tukang Sapu


Di suatu negeri, hiduplah seorang  gadis kecil bernama Pepita. Ia hidup sebatang kara. Setiap hari ia berkeliling menawarkan jasa sebagai tukang sapu. Sering ia dibayar hanya dengan sepotong roti, sebutir apel, atau ada juga yang mengusirnya. Sebagian mereka begitu pelit mengeluarkan uang, walau pekarangan rumah mereka banyak yang kotor. Penduduk negeri itu terlalu sibuk mengurus pertanian sehingga tak ada waktu untuk membersihkan pekarangan.
            Hari itu, Pepita sudah hampir seharian berkeliling, tapi belum satu pun halaman rumah yang ia bersihkan. Akhirnya ia memutuskan istirahat di pancuran air yang berada di ujung desa. Ketika hendak mencuci muka, ia menemukan sebuah tongkat hitam. Pepita memungut dan menyimpannya dalam kantong yang selalu ia bawa.
          Keesokan harinya, ketika kembali ke tempat itu, Pepita melihat seseorang mondar-mandir seperti mencari sesuatu. Ia bertopi lebar dan memakai jubah hitam panjang hampir menyentuh tanah.
           “Engkau mencari sesuatu?” tanya Pepita. Orang itu kaget dan cepat menutup wajahnya dengan sapu tangan.
            “Kau pasti seorang penyihir,” Pepita menebak.
            “Jangan menuduh sembarangan!”
            “Tapi penampilanmu seperti seorang penyihir.”
            “Ya, aku memang penyihir. Apa kau mau kusihir jadi kodok?”
            “Kau tak bisa melakukannya tanpa tongkat sihir.  Kau pasti sedang mencari tongkat sihirmu yang hilang,”  lalu Pepita mengeluarkan sesuatu dari kantongnya.
            “Aku yakin ini pasti milikmu. Nah, ambillah!”
            Penyihir itu girang bukan main. Ia melompat-lompat dan mengelus tongkat sihirnya seperti menemukan sesuatu yang sangat berharga.
            “Aku menemukannya kemarin. Apa kau sekarang akan menyihirku?”
            “Ah, tentu tidak! Kau anak yang baik. Aku sangat berterima kasih. Siapa namamu?”
            Mereka pun berkenalan. Penyihir bernama Azora itu memberi Pepita sesuatu sebagai ungkapan terima kasih.
            “Sapu? Apakah aku bisa terbang dengan sapu ini?” tanya Pepita lugu.
            “Tentu tidak. Tapi sapu ini sangat berguna karena ini adalah sapu ajaib. Kau bisa membersihkan halaman dalam sekejap.”
            “Aku tak bisa menerimanya. Aku bisa disangka menggunakan sihir,”  Pepita menolak pemberian itu. Akhirnya Azora membisikkan sesuatu. Gadis kecil itu mengangguk dan wajahnya berubah gembira.
            Di alun-alun, orang-orang ramai berkumpul. Seorang utusan Raja Demos sedang membacakan pengumuman penting. Penduduk negeri itu diperintahkan untuk membersihkan pekarangan mereka. Raja rupanya murka melihat penduduknya malas membersihkan rumah. Barang siapa tidak mentaati peraturan itu akan dikenai hukuman. Pepita menarik napas panjang. Ia pun segera pulang. Ia akan menuruti kata si penyihir. Mulai besok ia akan menjual sapu.
            Ternyata setiap orang yang membeli sapu Pepita merasakan sesuatu yang tidak biasa.  Mereka jadi bersemangat. Lihatlah, sekarang mereka jadi rajin hingga tempat tinggal mereka bersih dan rapi. Ketika Raja Demos kembali meninjau rumah penduduk, beliau tampak gembira. Raja pun mengadakan pertemuan dengan penduduk desa untuk memberi penghargaan.
            “Ini semua berkat sapu yang kami pakai, Paduka,”  ujar salah seorang yang hadir. “Sapu buatan seorang gadis kecil bernama Pepita.”
            “Tapi Paduka, pastilah ia seorang penyihir. Kalau tidak, kenapa sapu-sapu yang ia jual terasa lebih enteng sehingga kegiatan menyapu lebih cepat dan mudah?” sahut salah seorang pria setengah tua yang dikenal sebagai pembuat sapu. Semenjak Pepita menjadi pembuat sapu, sapu buatannya jadi tidak laku. “Orang yang membeli sapu Pepita pasti telah kena sihir,” ujarnya  meyakinkan Raja Demos.
            Raja rupanya terpengaruh dan menyuruh utusan untuk memanggil Pepita. Ketika Pepita menghadap Raja, ia pun dimintai keterangan.
            “Yang Mulia, saya hanya seorang penjual sapu. Tempo hari saya mendapat sebuah sapu ajaib dari seorang penyihir bernama Azora karena saya menemukan tongkat sihirnya yang hilang. Setiap helai ijuknya saya ambil dan saya gabung dengan ijuk biasa untuk dijadikan sapu. Bukan kah itu cukup membantu? Lihatlah, sekarang banyak pekarangan rumah yang jadi bersih. Penduduk jadi rajin membersihkan pekarangan rumah mereka.”
            Semua yang hadir terdiam. Masing-masing dalam hati merasa beruntung memiliki sapu buatan Pepita.
            “Apakah Yang Mulia menghukum saya karena itu?”
            “Kamu anak siapa? Mana keluargamu?” tanya Raja lagi.
            Pepita menceritakan siapa dia sebenarnya. Raja pun tersentuh. Ternyata ada anak kecil yang harus bekerja untuk menghidupi diri sendiri. Sebagai seorang Raja, mengapa selama ini ia tidak tahu?
            “Aku punya seorang anak yang sebaya denganmu. Namanya Putri Anabela. Mau kah

kau menjadi teman bermainnya di istana?” ujar Raja Demos memegang pundak Pepita. Pepita mengangguk. Mulai saat itu ia tinggal di istana menemani Putri Anabela. Apa yang dikatakan penyihir itu ternyata menjadi kenyataan. Pepita pun hidup bahagia.

Note: Naskah saya di Bobo edisi 47/th.39/2012