Di
suatu negeri, hiduplah seorang gadis
kecil bernama Pepita. Ia hidup sebatang kara. Setiap hari ia berkeliling
menawarkan jasa sebagai tukang sapu. Sering ia dibayar hanya dengan sepotong
roti, sebutir apel, atau ada juga yang mengusirnya. Sebagian mereka begitu
pelit mengeluarkan uang, walau pekarangan rumah mereka banyak yang kotor.
Penduduk negeri itu terlalu sibuk mengurus pertanian sehingga tak ada waktu untuk
membersihkan pekarangan.
Hari itu, Pepita sudah hampir
seharian berkeliling, tapi belum satu pun halaman rumah yang ia bersihkan.
Akhirnya ia memutuskan istirahat di pancuran air yang berada di ujung desa.
Ketika hendak mencuci muka, ia menemukan sebuah tongkat hitam. Pepita memungut
dan menyimpannya dalam kantong yang selalu ia bawa.
Keesokan harinya, ketika kembali ke
tempat itu, Pepita melihat seseorang mondar-mandir seperti mencari sesuatu. Ia
bertopi lebar dan memakai jubah hitam panjang hampir menyentuh tanah.
“Engkau mencari sesuatu?” tanya
Pepita. Orang itu kaget dan cepat menutup wajahnya dengan sapu tangan.
“Kau pasti seorang penyihir,” Pepita
menebak.
“Jangan menuduh sembarangan!”
“Tapi penampilanmu seperti seorang
penyihir.”
“Ya, aku memang penyihir. Apa kau
mau kusihir jadi kodok?”
“Kau tak bisa melakukannya tanpa
tongkat sihir. Kau pasti sedang mencari
tongkat sihirmu yang hilang,” lalu
Pepita mengeluarkan sesuatu dari kantongnya.
“Aku yakin ini pasti milikmu. Nah,
ambillah!”
Penyihir itu girang bukan main. Ia
melompat-lompat dan mengelus tongkat sihirnya seperti menemukan sesuatu yang
sangat berharga.
“Aku menemukannya kemarin. Apa kau
sekarang akan menyihirku?”
“Ah, tentu tidak! Kau anak yang
baik. Aku sangat berterima kasih. Siapa namamu?”
Mereka pun berkenalan. Penyihir
bernama Azora itu memberi Pepita sesuatu sebagai ungkapan terima kasih.
“Sapu? Apakah aku bisa terbang
dengan sapu ini?” tanya Pepita lugu.
“Tentu tidak. Tapi sapu ini sangat
berguna karena ini adalah sapu ajaib. Kau bisa membersihkan halaman dalam
sekejap.”
“Aku tak bisa menerimanya. Aku bisa
disangka menggunakan sihir,” Pepita
menolak pemberian itu. Akhirnya Azora membisikkan sesuatu. Gadis kecil itu
mengangguk dan wajahnya berubah gembira.
Di alun-alun, orang-orang ramai
berkumpul. Seorang utusan Raja Demos sedang membacakan pengumuman penting.
Penduduk negeri itu diperintahkan untuk membersihkan pekarangan mereka. Raja
rupanya murka melihat penduduknya malas membersihkan rumah. Barang siapa tidak
mentaati peraturan itu akan dikenai hukuman. Pepita menarik napas panjang. Ia
pun segera pulang. Ia akan menuruti kata si penyihir. Mulai besok ia akan
menjual sapu.
Ternyata setiap orang yang membeli
sapu Pepita merasakan sesuatu yang tidak biasa. Mereka jadi bersemangat. Lihatlah, sekarang
mereka jadi rajin hingga tempat tinggal mereka bersih dan rapi. Ketika Raja
Demos kembali meninjau rumah penduduk, beliau tampak gembira. Raja pun
mengadakan pertemuan dengan penduduk desa untuk memberi penghargaan.
“Ini semua berkat sapu yang kami
pakai, Paduka,” ujar salah seorang yang
hadir. “Sapu buatan seorang gadis kecil bernama Pepita.”
“Tapi Paduka, pastilah ia seorang
penyihir. Kalau tidak, kenapa sapu-sapu yang ia jual terasa lebih enteng
sehingga kegiatan menyapu lebih cepat dan mudah?” sahut salah seorang pria
setengah tua yang dikenal sebagai pembuat sapu. Semenjak Pepita menjadi pembuat
sapu, sapu buatannya jadi tidak laku. “Orang yang membeli sapu Pepita pasti
telah kena sihir,” ujarnya meyakinkan
Raja Demos.
Raja rupanya terpengaruh dan menyuruh
utusan untuk memanggil Pepita. Ketika Pepita menghadap Raja, ia pun dimintai
keterangan.
“Yang Mulia, saya hanya seorang
penjual sapu. Tempo hari saya mendapat sebuah sapu ajaib dari seorang penyihir
bernama Azora karena saya menemukan tongkat sihirnya yang hilang. Setiap helai
ijuknya saya ambil dan saya gabung dengan ijuk biasa untuk dijadikan sapu.
Bukan kah itu cukup membantu? Lihatlah, sekarang banyak pekarangan rumah yang
jadi bersih. Penduduk jadi rajin membersihkan pekarangan rumah mereka.”
Semua yang hadir terdiam.
Masing-masing dalam hati merasa beruntung memiliki sapu buatan Pepita.
“Apakah Yang Mulia menghukum saya
karena itu?”
“Kamu anak siapa? Mana keluargamu?”
tanya Raja lagi.
Pepita menceritakan siapa dia
sebenarnya. Raja pun tersentuh. Ternyata ada anak kecil yang harus bekerja
untuk menghidupi diri sendiri. Sebagai seorang Raja, mengapa selama ini ia
tidak tahu?
“Aku punya seorang anak yang sebaya
denganmu. Namanya Putri Anabela. Mau kah
kau
menjadi teman bermainnya di istana?” ujar Raja Demos memegang pundak Pepita.
Pepita mengangguk. Mulai saat itu ia tinggal di istana menemani Putri Anabela.
Apa yang dikatakan penyihir itu ternyata menjadi kenyataan. Pepita pun hidup
bahagia.
Note: Naskah saya di Bobo edisi 47/th.39/2012
0 komentar:
Posting Komentar