Mama
mendapati Alia tengah melamun di kamar. Wajahnya kelihatan sedih. Padahal
biasanya setiap pulang sekolah, Alia langsung mengganti pakaian dan makan siang
tanpa perlu diingatkan.
“Alia,
kenapa wajahnmu murung begitu? Kamu sakit?” Mama menyentuh kening Alia. Alia
berusaha tersenyum saat menyadari kehadiran Mama.
“Ah,
tidak ada apa-apa, Ma,” jawab Alia singkat.
Mama
menarik napas panjang, kemudian berkata lagi.
“Alia,
wajahmu tak bisa berbohong. Sekarang ceritakan apa kamu punya masalah di
sekolah tadi?”
Alia
tidak langsung menjawab. Ia bimbang mengatakan yang sebenarnya. Tetapi, apa
salahnya kalau ia cerita?
“Mama
tahu Regi, teman sebangkuku, kan? Tiga hari lagi ia merayakan ulang tahun.
Semua anak di kelasku diundang. Tapi aku tidak,” ujar Alia sedih.
“Kenapa
kamu tidak diundang?”
“Justru
itu, Alia tidak tahu. Mungkin ia masih marah karena Alia mendapat nilai
tertinggi ulangan bahasa Inggris. Regi, kan, anak yang paling jago bahasa
Inggris di kelas.”
“Mama
lihat, Regi anak yang baik. Masa cuma gara-gara itu kamu tak diundang? Bisa
jadi dia lupa. Kamu nggak coba bertanya padanya?”
“Buat
apa? Enggak diundang, kok, malah nanya? Aku enggak mau!” cetus Alia dengan
suara meninggi. Mama membelai rambut Alia.
“Ya,
sudah. Tak usah dimasukkan ke dalam hati. Berbesar hati saja kalau memang tak
diundang. Sekarang kamu ganti baju dulu, terus makan. Mama sudah siapkan menu
kesukaanmu,” ujar Mama akhirnya.
Wajah
Alia masih memberengut. Tetapi, ia turuti saja nasehat Mama dan beranjak dari
tempat tidur. Terasa perutnya semakin keroncongan.
***
Hari
ini, Regi kelihatan sibuk dengan persiapan pesta ulang tahunnya. Ia
mengingatkan teman-temannya agar datang. Dengar-dengar, pestanya pun
diselenggarakan oleh event organizer.
Maksudnya, dikerjakan oleh sekelompok orang yang ahli dalam membuat acara.
Anak-anak semakin penasaran. Seperti apa, sih, acaranya nanti?
Regi
memang anak orang kaya. Semua anak senang bergaul dengannya. Ia sering
membagi-bagikan makanan, permen, cokelat, atau buku-buku cerita pada
teman-teman. Prestasinya pun pantas diacungi jempol. Ia selalu juara kelas.
Alia
hanya mendengarkan kehebohan teman-temannya tanpa semangat. Hati kecilnya
bertanya-tanya. Benarkah Regi tidak mengundangnya hanya karena Alia dapat nilai
tertinggi ulangan bahasa Inggris tempo hari? Alia masih ingat ekspresi
kekecewaan di wajah Regi saat ia hanya mendapat nilai 83. Waktu mengetahui Alia
dapat nilai 100, raut tak senang jelas terpancar di diwajahnya. Alia tak
menyangka kalau Regi tak sebaik yang ia kenal.
Malam
itu, Alia duduk gelisah di depan TV. Tak satu pun acara di TV menarik
perhatiannya. Sebentar-sebentar, saluran TV dipindahkannya dengan menggunakan remote. Mama yang tadinya memperhatikan,
datang menghampiri.
“Kamu
masih memikirkan ulang tahun Regi, ya?”
“Ah,
kenapa mesti dipikirin!” ujar Alia asal saja.
Alia
bangkit dan beranjak menuju kamar. Ia tak ingin Mama membahas itu lagi. Semakin
membuat Alia bersedih. Dari tadi, pikirannya terus melayang membayangkan
suasana pesta di rumah Regi. Pasti semua temannya hadir. Tadi siang di sekolah,
mereka sudah janjian untuk datang sama-sama.
Di
kamar, Alia memandangi kado yang telah ia siapkan seminggu lalu. Alia
menyorongkan kepalanya di balik bantal, mencoba menghilangkan rasa sedih di
hatinya. Tak lama, akhirnya ia tertidur.
“Alia,
ada yang datang, nih,” suara Mama memanggil. Alia tersentak. Ia mengucek-ucek
matanya dan berjalan menuju pintu.
“Siapa?”
“Lihat
saja sendiri,” Mama pun berlalu.
Alia
penasaran, bergegas ke ruang tamu. Di sana, ia melihat Regi. Masih memakai baju
pesta. Cantik sekali. Tetapi, raut khawatir tampak dari wajahnya.
“Alia,
kamu sakit? Sedih melihatmu tidak datang ke acaraku.”
Alia
memandang Regi dengan tatapan tak mengerti. Sejenak ia bingung dengan ucapan
Regi itu. Lama ia baru bisa menjawab.
“Maaf,
Regi, aku... aku, kan, tak diundang.”
“Tak
mungkin! Semuanya aku undang, kok. Apalagi, kamu, kan teman sebangku aku.”
“Aku
pikir, kamu masih marah padaku karena aku dapat nilai tertinggi ulangan bahasa
Inggris tempo hari. Makanya, aku tak diundang,” ujar Alia.
Mendengar
hal itu, Regi terlihat kaget.
“Alia,
masa aku marah gara-gara itu? Aku cuma kecewa tidak bisa konsentrasi saat
belajar. Waktu itu, aku terlalu memikirkan acara ultahku ini,” jawab Regi. “Maafkan
aku ya, Alia. Mungkin aku yang lupa memeriksa semua undangan. Ini aku bawakan
sesuatu untukmu.”
Dengan
tulus, Regi menyerahkan bingkisan ulang tahun dan kue-kue pada Alia. Raut muka
Alia pun berubah jadi sedikit malu.
“Justru
aku yang minta maaf karena telah berburuk sangka,” Alia merangkul teman
sebangkunya itu.
“O
ya, aku telah menyiapkan kado untukmu. Tunggu sebentar, ya.” Alia berlari ke
kamarnya.
Di
luar, Mama, Papa, dan supir Regi tersenyum melihat tingkah keduanya.
Note:
Naskah saya ini
dimuat di majalah Bobo No. 32/ Th 38/ 2010
0 komentar:
Posting Komentar