Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta,
Risma membawa segudang harapan. Bu Zuraida orang kaya di kampungnya, menawari
pekerjaan di rumah adik bungsunya di Jakarta. Mengenai ongkos keberangkatan,
gaji yang bakal ia terima membuat Risma tertarik apalagi setelah mendapat restu
dari ibunya, Risma semakin bersemangat karena ia sama sekali belum pernah
menginjakkan kaki di kota metropolitan itu. Tak tanggung-tanggung, Risma diongkosi
naik pesawat terbang. Delapan belas tahun usianya hanya dihabiskan di kampung
yang sepi membantu orangtua menggarap sawah milik Bu Zuraida dan sesekali
membantu wanita itu di rumahnya. Tapi yang paling membuat Risma bersikeras tak lain adalah ingin berbuat sesuatu untuk
keluarga. Ayah yang selama ini menjadi tulang punggung, dua tahun lalu tak bisa
lagi diandalkan. Hari-harinya hanya dihabiskan di tempat tidur. Kata dokter
Ayah terkena stroke. Tak ada yang bisa mereka perbuat selain pasrah. Semua
barang berharga di rumah lenyap satu persatu untuk biaya pengobatan Ayah. Ibu
lah yang sekarang banting tulang, menghidupi mereka. Masih untung ketiga
adiknya masih bisa sekolah walau pun Risma harus membuang keinginannya masuk SMA
jauh-jauh.
Tapi
Risma tak menyesali semua itu. Tak peduli kalau sekarang ini ia harus terpisah
jauh dengan keluarga. Lagipula waktu itu Risma yakin, walau belum mengenal sama
sekali sosok Bu Henidar, ia percaya, beliau pasti orang baik. Sama halnya dengan
Bu Zuraida.
Tapi
harapan memang tak selalu sebangun dengan kenyataan. Sifat Bu Henidar ternyata
bertolak belakang dengan kakaknya itu. Perilaku dan gaya hidupnya pun jauh dari
yang Risma bayangkan. Sangat modern. Lebih dari itu orangnya ternyata judes dan
galak.
Walau
selama ini Risma sudah melakukan pekerjaannya dengan baik, tapi ternyata belum
cukup. Wanita itu selalu saja merasa tidak puas. Hampir semua pekerjaannya
dicela atau paling tidak dikomentari sinis. Ada saja yang tak berkenan. Masakan
yang keasinan, mencuci tak bersih, pakaian yang disetrika tak licin, rumah yang
berantakan, sampai-sampai ia mencela kalau Risma berbadan bau. Kalaulah tak
ingat orang-orang di kampung, pasti ia sudah meninggalkan wanita itu. Tapi ia
berusaha sabar. Bisa jadi itu semua hanya pelampiasan saja. Bukankah banyak
perawan tua berperangai seperti itu?
Entahlah,
Risma tak habis pikir mengapa wanita itu belum juga menikah. Segalanya ia punya
kecuali suami. Rumah punya, mobil ada dan karirnya pun bagus mengepalai suatu departemen
di sebuah bank terkemuka. Wajahnya pun juga masih cantik dan awet muda. Belum
tampak jejak-jejak kekalahan melawan usia di wajahnya. Tapi mengapa tak ada
laki-laki yang menaruh hati? Apakah ia patah hati? Ah, Risma tak mau berpikir
lebih jauh. Apa urusannya?
Satu
hal yang paling tak ia sukai yakni mengurus hewan peliharaan Bu Henidar. Seekor
anjing jenis Tsih Tzu berwarna putih keabu-abuan. Bulu-bulunya bikin Risma
harus menahan bersin tiap kali mengurusnya. Bagi Bu Henidar, hewan itu adalah makhluk yang paling ia sayangi. Ia
tak segan-segan mengeluarkan jutaan rupiah hanya untuk sebuah kandang seekor
anjing lucu bernama Anabel. Makanannya pun tak boleh sembarangan, harus
mengandung omega 3 biar bulu-bulunya tetap mengkilap terjaga. Setiap bulan ia
pun membawanya ke Happy Pets, untuk
membersihkan dan merapikan bulu dan pemeriksaan kuku. Betapa sejahteranya hewan
itu, tak sebanding dengan derajatnya. Sungguh kontras dengan kehidupan Risma.
Tiap hari harus bangun pagi, membersihkan rumah, menyiapkan makanan, mencuci,
ke pasar dan urusan tetek bengek lainnya dan itu pun ditambah dengan
omelan-omelan.
Suatu
pemandangan yang menggelikan bila melihat Bu Henidar menonton tivi di ruang
tengah. Anabel selalu di pangkuannya dan menyisir bulu-bulunya dengan slicker comb. Ada rasa cemburu yang tak
ia sadari merayap pelan-pelan dalam hatinya. Betapa mesra hubungan mereka.
Memang Anabel tak hanya sekedar hewan peliharaan Bu Henidar. Ia
memperlakukannya layaknya manusia. Seringkali Risma melihat Bu Henidar mengajaknya
anjing itu bercakap-cakap. Dulu ia merasa aneh tapi lama-lama ia menjadi
terbiasa.
***
Tapi
hari ini Risma merasa senang, pasalnya Bu Henidar pergi ke luar kota selama
tiga hari. Kepergian wanita itu membuat Risma bebas dari rutinitas yang melelahkan.
Selama tiga hari ke depan ia akan menikmati hari-harinya untuk bersantai-santai
dan memanjakan diri.
Dengan
segelas lemon tea dingin dan setoples biskuit yang bertabur coklat Risma duduk
di sofa ruang tengah menatap tivi layar plasma 32 inci. Siang itu suasana
begitu sepi. Di pojok ruangan tampak Anabel lagi tidur-tiduran. Tak ada
suaranya yang khas. Apakah seekor anjing bisa merasakan kesedihan bila
ditinggal tuannya?
Dipencetnya
remote. Tak ada acara yang menarik. Tak lama jarinya berhenti di saluran berita
siang. Tatapannya tertuju pada berita-berita kriminal di tivi. Ada berita
perampokan bersenjata, penemuan mayat bayi, kebakaran, penangkapan bandar
narkoba, kecelakaan lalu lintas.
Tak
lama, ia tertegun melihat berita selanjutnya. Seorang pembantu rumah tangga
tewas disiksa majikan. Hanya dituduh mencuri perhiasan, sang majikan tega menyiksanya?
Betapa mengenaskan. Tiba-tiba pikiran buruk melintas dipikirannya. Bagaimana
kalau ia yang mengalaminya? Ah, tidak! Ia tak akan mengalami hal itu karena
selama ini Bu Henidar hanya suka mengomel saja, tak pernah ia melakukan
kekerasan fisik. Lagi pula Risma tidak pernah melakukan macam-macam. Ia tak
pernah merusak barang-barang apa lagi mencuri.
Akhirnya
ia mematikan tivi. Lebih baik mengerjakan sesuatu yang membuat Bu Henidar senang bila ia pulang nanti. Ia
segera ke teras dan mengambil selang untuk menyiram tanaman. Tapi
perhatiannya kembali tertuju pada Anabel
yang masih saja tak bergerak, tampak lesu. Ia hanya menggeleng melihat tingkah
hewan itu.
Tengah
asyik menyiram tanaman ia dikejutkan oleh tukang pos yang sudah berdiri di
depan pintu pagar. Setengah berlari Risma menghampirinya. Dadanya
berdebar-debar ketika membuka surat dari kampung itu. Tiap kali menerima surat,
selalu saja ia begitu. Dalam surat kali ini, keluh kesah ibu kali lebih panjang
dari biasanya, tapi intinya kembali minta dikirimi uang untuk pengobatan Ayah.
***
Keesokan harinya, Risma mulai panik
melihat perilaku Anabel. Anjing itu sama sekali tak menyentuh makanan yang ia sediakan.
Susunya pun tidak diminum. Ia tampak begitu lemah. Tatkala mencium bau aneh, ia
melihat ekor Anabel penuh dengan kotoran cair. Risma mundur beberapa langkah,
merasa ada yang bergejolak di perutnya. Tapi pikirannya langsung dipenuhi rasa
takut. Anabel adalah hewan kesayangan Bu Henidar, bisa jadi miliknya yang
paling berharga. Kalau anjing itu mati, pasti ia akan menjadi bulan-bulanan Bu
Henidar. Ia nyaris kalut, tak tahu harus bagaimana. Wanita itu masih belum
pulang, rencananya besok baru kembali. Tapi untung ia tak kehilangan akal.
Dengan cepat ia berlari ke ruang tengah, mengangkat gagang telepon dan memencet
tombol. Sejurus kemudian terdengar suara di seberang sana.
“Ada
apa?”
“Kapan
Ibu pulang?”
“Memang
kenapa?” suara Bu Henidar penuh keheranan.
“Anabel,
Bu...”
“Kenapa si Anabel?”
“Ia
sekarat!” kontan ucapan itu meluncur dari mulutnya. “Saya tak tahu apa yang
harus dilakukan. Sebaiknya Ibu pulang.”
Bu Henidar tak ngomong apa-apa lagi.
Yang terdengar hanya bunyi telepon ditutup.
***
Bu
Henidar tampak begitu tegang. Dari kaca spion tengah, Risma bisa melihat
kecemasan terpancar di wajahnya. Dengan kecepatan tinggi ia mengendarai mobil
seakan-akan tak mau kehilangan waktu. Sementara Risma hanya diam di jok
belakang sembari menggendong Anabel dalam balutan kain seperti menggendong
bayi. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya ia mengomeli Risma yang tak becus
mengurus hewan kesayangannya itu. Risma hanya
diam, tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya untuk membela diri.
Di klinik hewan, Anabel langsung digotong
menuju tempat pemeriksaan. Mulai mata, hidung, mulut dan detak jantungnya
diperiksa oleh dokter hewan. Bu Henidar terus membelainya. Jelas terpancar dari
wajahnya rasa takut kehilangan. Tak terasa
setetes air mata mengalir di pelupuk mata Risma. Betapa beruntungnya
hewan itu. Nyawanya seakan begitu berharga. Terbayang ia penderitaan Ayah.
Seharusnya beliau juga mendapat perawatan yang layak, ditangani oleh dokter
ahli. Tapi nyatanya ia hanya dirawat di
rumah dengan ala kadarnya.
“Untung
Ibu segera membawanya ke sini,” ujar dokter yang menangani.
“Apa
yang terjadi, Dok?” tanya Bu Henidar dengan wajah yang diliputi kecemasan.
“Anjing
ini kena Distemper!”
“Lho,
kok bisa? Padahal sudah divaksinasi.”
“Nah,
itu keberuntungan ibu yang ke dua. Kalau tidak, saya khawatir hal yang lebih
buruk bisa saja terjadi.”
Bu
Henidar hanya pasrah. Tatkala perhatiannya beralih ke Risma, sorot matanya
segera berubah.
“Kau
lihat? Baru kutinggalkan, kau sudah buat masalah. Apa sih yang bisa kau lakukan?”
Risma
hanya diam. Ia kehilangan kata-kata.
***
Selama
empat hari Anabel dirawat, Bu Henidar uring-uringan. Mulutnya tak kunjung diam,
ada saja yang jadi bahan omelannya. Tapi untunglah pada hari yang ke lima
Anabel sudah bisa dibawa pulang. Akhirnya mereka bisa berkumpul lagi. Sepanjang sore yang cerah itu ia asyik menyisir bulu-bulu Anabel dan memasang pita
pada bulu yang menjuntai di atas kepalanya. Anjing itu kelihatan lebih sehat,
suara guguknya yang khas mulai terdengar. Saat itulah Risma berusaha menemuinya
untuk mengutarakan maksud hati.
“Apa?
Kau pikir aku mau meminjamimu kali ini? Enak saja! Pekerjaanmu saja nggak
becus.”
“Tapi
saya butuh sekali, Bu, untuk biaya pengobatan ayah saya.”
“Sudah
kubilang, tidak! Utangmu bulan kemarin belum lunas, berani-beraninya pinjam
uang lagi.”
“Tolonglah,
Bu. Saya butuh sekali. Kalau Ibu tak percaya, ini surat yang saya terima
beberapa hari yang lalu,” Risma terus memelas. Ia tak punya harapan lain selain
Bu Henidar.
“Dasar
bebal! Sepersen pun tak akan kupinjamkan!”
“Saya
rela bulan depan tidak digaji.”
Bu
Henidar masih bergeming. Terus saja membelai Anabel di pangkuannya.
“Apapun
akan saya lakukan demi membantu orang tua.”
“Termasuk
memerasku? Kau itu ya, makin lama makin bertingkah. Dikasih hati minta
jantung.”
“Tolonglah,
Bu!”
Risma
kehilangan akal melunakkan hati wanita itu. Tapi ia tak akan menyerah. Di
tengah keheningan, untuk mencari kata-kata yang tepat membujuk Bu Henidar,
Tiba-tiba telepon berdering. Bu Henidar menyuruhnya mengangkat telepon itu.
“Uni
Risma ada?” terdengar suara di seberang sana. Risma tertegun, suara itu sangat
dikenalnya, suara Amri, adiknya.
“Iko Amri, yo?”
“Iyo,Ni! Ayah wak, Ni... Ayah indak ado lai,
barusan alah bapulang, pulanglah Uni...” ujar Amri dengan suara bergetar,
terbata-bata. Walau pun singkat, suara
di telepon itu membuat Risma terlonjak. Gagang telepon terlepas dari
genggamannya. Serta merta tangisnya pecah. Butiran air mata menghambur di sela
pipinya.
“Hei,
kau kenapa?” tanya Bu Henidar kaget melihat Risma meraung. Tapi Risma tak
menjawab, ia hanya menatap lirih pada Bu Henidar dan anjing yang ada
dipangkuannya.
***
Dua
minggu kemudian ketika wanita lajang itu sedang berada di kantornya, ia
menerima pesan singkat dari Bu Zuraida. Sepertinya ia paham mengapa Risma tak
mau balik lagi ke Jakarta. Pesan itu berbunyi;
“Menyayangi hewan itu baik, tapi menyayangi
sesama jauh lebih baik”
Bu
Henidar mengerinyitkan kening, mencoba memahami apa maksud sms itu(*)
***
NB:
Cerpen ini dimuat di Harian
Padang Ekspres, 9 Januari 2011. Foto: gettyimage.com